31.1 C
Jakarta

Yang Radikal dari Abu Janda adalah Kebodohannya

Artikel Trending

Milenial IslamYang Radikal dari Abu Janda adalah Kebodohannya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kalau ada orang yang tak laik komentar tapi berkomentar, tak laik diminta pendapat tapi diwawancara, maka orangnya adalah Abu Janda. Pria bernama asli Permadi Arya itu dikenal publik sebagai Abu Janda al-Boliwudi, pada kasus Ahok dan al-Maidah, beberapa tahun silam. Namanya mulai jadi sorotan publik bukan karena keahliannya sebagai pengamat. Industri medialah yang membuat ia laku di pasaran.

Belakangan, karena namanya mulai terkenal, ia dikabarkan tergabung dengan salah atu Ormas terbesar, di bagian badan otonom, yakni GP Ansor. Spirit perjuangan Nahdhatul Ulama (NU) dalam membendung Islam garis keras—mereka menyebutnya Islam radikal—jadi panggung sendiri bagi Abu Janda. Karena ia punya pendapat yang segaris, ia banyak diundang jadi pembicara di forum-forum.

Yang diwakili Abu Janda mungkin adalah suara NU, tapi dalam tataran yang lebih luas, ia bahkan mengaku mewakili “kaum moderat”. Agendanya satu, mengkonter sekuat tenaga arus radikalisme. Ia sangat keras ketika berbicara tentang Rizieq Shihab, Anies Baswedan, atau yang terbaru; Abdul Somad. Abu Janda selalu berbicara seolah ia adalah sosok yang inklusif, moderat, dan pengusung toleransi.

Menanggapi Abu Janda, Kenapa Tidak?

Dalam suatu video yang diunggah pada Senin (11/11) lalu, ia menanggapi fatwa MUI yang melarang salam lintas agama. Ia dengan percaya diri mengatakan:

Somad hina Tuhan agama lain dibela. Kita mengucapkan salam kepada agama lain dibilang Allah murka. MUI ini maunya apa? Mau bikin Islam dibenci sama agama lain? Kalau memang itu tujuannya, MUI sudah sukses melakukannya. Maaf, MUI bukan ulama saya. Allah saya bukan pemurka. Allah saya pengasih dan penyayang. Assalamualaikum. Shalom. Om Swastyastu. Namo Buddhaya. Rahayu!

Idealnya, kalau mau jujur, orang seperti Abu Janda tidak usah ditanggapi. Percuma saja. Hanya buang-buang waktu. Saya suka dengan sikap KH. Cholil Nafis ketika seforum dengan Abu Janda, tentang kasus cadar beberapa waktu lalu. KH. Cholil Nafis memahami betul barangkali, sehingga beliau santai-santai saja, meski gaya penuturan Abu Janda tentang cadar seakan menunjukkan ia tahu segalanya.

Kendati demikian, saya pikir diam dan memilih tidak menanggapi juga bukan ide bagus. Orang-orang seperti dia, kalau dibiarkan, tidak hanya mencoreng potret NU di mata masyarakat umum, tetapi juga memanipulasi makna dari moderasi Islam itu sendiri. Akan muncul pertanyaan, semisal: benarkan Islam moderat dan penuh toleransi pada umat lain itu sama seperti yang digemborkan Abu Janda?

Hanya orang-orang naif yang akan menjawab pertanyaan tersebut dengan ‘iya’. Seringkali kebodohan itu berada di sisi pinggir yang lain, pada posisi yang sama dengan keahlian akan sesuatu (expertise). Yang bisa kita jadikan alat untuk mendeteksi kebodohan tersebut ialah cara penyampaiannya. Para cendekiawan yang menggeluti moderasi Islam, akan memiliki pandangan moderat. Tetapi orang yang tak paham agama, akan mengira kebodohannya sendiri juga sebagai pandangan moderat.

Profesor Quraish Shihab yang ahli agama, pandangan keagamaannya akan mencerminkan kebijaksanaan, menampilkan Islam moderat. Ia akan memegang teguh toleransi, sebab tahu betul, bahwa Al-Qur’an mengajarkan demikian. Sebaliknya, kebodohan Abu Janda tentang agama, juga akan menampilkan pandangan moderat, justru lantaran ketidakpahaman itu sendiri.

Allah Dzat yang Sempurna

Mengatakan bahwa Allah swt. Mahapengasih dan Mahapenyayang, atau semua nama dan sifat kasih sayang dari-Nya, adalah sesuatu yang dibenarkan. Bahkan, kita dianjurkan memulai segala hal melalui nama kasih-sayang-Nya, yakni basmalah. Tetapi, mengesampingkan sifat ke-Mahaperkasaan-an Allah adalah bukti kebodohan yang amat sangat, tanda bahwa orang tersebut tidak tahu apa-apa.

Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa ke-Mahapenyantun-an Allah berjalan seimbang dengan ke-Mahategas-annya. Memanipulasi keseimbangan tersebut adalah ibarat mengebiri kekuasaan Allah, dan tentu itu adalah perilaku tercela. Bagaimanapun alasan seseorang hendak mengajarkan belas-kasih, toleransi, dan sejenisnya, sifat-sifat tersebut harus tertakar secara proporsional.

Atas nama kerukunan, lalu menampilkan segala yang terkesan belas-kasih dari Allah, dan sama sekali melupakan sifat murka-Nya. Yang demikian tidak dapat dibenarkan, sebab mereduksi sifat-sifat ketuhanan demi kebutuhan kemanusiaan kita. Apa yang dilakukan Abu Janda tergolong dalam hal ini. Kita bisa melihat betapa arogannya ketika ia bilang seperti yang digaris tebal pada kutipan di atas.

BACA JUGA  Mengakhiri Propaganda Ajaran Radikal di Medsos

Rahman-Rahim dan Jabbar-Qahhar

Dalam Al-Qur’an, ada ayat rahmah, ada pula ayat azab. Porsinya seimbang. Asmaul Husna pun demikian: Allah memiliki sifat Mahapenyantun (al-Rauf), Mahapengasih (al-Rahman), dan Mahapenyayang (al-Rahim). Tetapi Dia juga Mahabesar (al-Mutakabbir), Mahapemaksa (al-Jabbar), dan Mahaperkasa (al-Qahhar). Lalu atas dasar apa Abu Janda mengatakan Allah yang dirinya akui bukan pemurka?

Kecuali jika Allah yang dimaksud bukanlah penguasa alam semesta, pernyataan tersebut mencerminkan kebodohan akut. Andai Abu Janda sering baca Al-Qur’an—dan saya ragu ia mengaji apalagi memahami Al-Qur’an—pernyataan tersebut tidak akan lahir. Buktinya, banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bagaimana ketegasan Allah berlaku: Dia mengampuni yang bertaubat dan menyiksa para pedurhaka.

Kata murka (ghadab) dan derivasinya disebut lebih dari lima belas kali, belum lagi kata laknat (la‘ana). Misalnya, dalam al-Maidah [5]: 60, Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah taghut. Mereka lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.’

Bukankah ayat tersebut cukup untuk meninterupsi pernyataan Abu Janda tentang Allah yang tak pernah murka? Itu yang pertama. Kedua, penting dicatat, sifat belas-kasih Allah tak berhubungan dengan sesuatu yang dilarang-Nya. Ini diibaratkan kekuasaan Allah yang tak berhubungan dengan sesuatu yang mustahil. Jadi, kepada sesuatu yang terlarang, kemurkaan Allah menjadi keniscayaan, sunnatullah.

Abu Janda Tak Tahu Apa-apa tentang Moderasi

Menurut Profesor Quraish Shihab, ada tiga syarat bila kita ingin mengamalkan moderasi Islam, menampilkan Islam moderat. Pertama, mempunyai pengetahuan. Kita akan bisa mengamalkan moderasi, bila pada moderasi itu sendiri kita sudah punya pengetahuan. Tanpa pengetahuan, seseorang tidak akan pernah bisa melaksanakan moderasi Islam. “Ini yang hilang dari kita,” terang Prof Quraish.

Kedua, mengendalikan emosi. Sikap moderat, pengamalan atas moderasi Islam itu adalah titik kebijaksanaan. Menahan emosi adalah salah satu contohnya. Mengaku moderat tetapi memiliki emosi keagamaan yang meluap-luap, secara otomatis menggugurkan klaim moderat itu sendiri. Instabilitas emosi ini cenderung menuduh salah yang lain, sehingga tanpa dirasa terkurung eksklusivisme.

Ketiga, terus menerus berhati-hati, tidak cepat memberikan putusan. Yang terakhir ini merupakan lanjutan dari syarat kedua, bahwa eksklusivisme melahirkan klaim kebenaran. Sedangkan klaim kebenaran berjalan berdampingan dengan kklaim kekeliruan terhadap yang lain. Padahal, moderat itu bersabar atas kebenaran, senantiaasa mencari kebenaran, serta menyadari relativitasnya.

Tiga syarat diajukan Prof Quraish ini tak kita temukan padanannya dalam diri Abu Janda. Andai ia adalah orang yang berpengetahuan, tetapi cara bicara dan bagaimana ia bersikap, mengatakan sebaliknya. Sosoknya emosian, sehingga menanggapi suatu kasus dengan mendiskreditkan yang lain. Abu Janda juga tidak pernah hati-hati, ia selalu blak-blakan, merasa dirinyalah pemangku kebenaran.

Dengan demikian, Abu Janda tak bisa dikatakan sebagai orang yang mengamalkan moderasi Islam. Arogansi sebagai umat paling moderat itu yang justru menyeret dirinya ke arah yang tak moderat lagi. Justru ia radikal, dan yang radikal adalah kebodohannya. Ini jika kita memaknai radikal sebagai “sampai ke akar-akarnya”, seperti dalam diskursus filsafat. Yang sampai ke akar adalah kebodohan Abu Janda itu sendiri.

Namun demikian, seberapapun jengkelnya saya, karena Abu Janda memanipulasi arti moderat, saya tidak akan menghinanya, atau meniru Maher yang memanggilnya Abu Bangsat at-Tololi. Sudah bangsat, tolol lagi. Itu kata Maher, bukan saya.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru