26.1 C
Jakarta

Yang Paling Penting dari Pemilu Adalah Persatuan dan Kemajuan Bangsa

Artikel Trending

Milenial IslamYang Paling Penting dari Pemilu Adalah Persatuan dan Kemajuan Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam sebuah tulisan tangan Presiden Joko Widodo, perihal visi Indonesia 2015-2085, ada tujuh poin yang menjadi rencana jangka panjang Indonesia. SDM unggul, menjunjung tinggi pluralisme-religius, menjadi pusat peradaban dunia, bebas korupsi, infrastruktur yang merata, menjadi negara mandiri dan berpengaruh di Asia Pasifik, serta menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia. Persatuan dan kemajuan bangsa menjadi prioritas. Tetapi, kenapa sekarang banyak yang sibuk bicara Pemilu saja?

Pemilihan umum (Pemilu), sebagai bentuk perayaan demokrasi, selaiknya tidak mencederai demokrasi itu sendiri. Pemilu harus menjadi kesinambungan kinerja yang kooperatif. Pemilu harus menjadi penyetaraan hak, bahwa generasi awal dan akhir memiliki takaran sumbangsih yang sama dan sama-sama demi kemajuan bangsa. Bukan sebaliknya, Pemilu menjadi ajang kontestasi politik an sich, tarung antarfraksi bahkan antardinasti, yang residu terburuknya adalah perpecahan bangsa.

Secara esensial begitu. Sebab, berdasarkan demografi global, pada 2045, Indonesia menempati peringkat ke-5 penduduk terbesar dunia dan peringkat ke-7 pada tahun 2085 dengan jumlah +300 juta penduduk. Terjaganya hubungan erat antargenerasi menjadi harapan, dan sesuai visi RPJPN, budaya kebangsaan kita mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, beradab, dan berfalsafah Pancasila. Mari berefleksi, cekcok-cekcok Pemilu akan menghambat visi tersebut, bukan?

Bangsa ini besar, dan demografi Indonesia mesti menjadi patokan. RPJPN menuju Indonesia Emas 2045 akan nihil, jika pada setiap momentum pesta demokrasi, kepentingan pribadi tetap didahulukan. Pemilu kemudian menjadi, tidak lebih, dari perebutan pengaruh dan kekuasan. Bayangkan jika RUU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dilanjutkan, dan setiap tahun waktu kita habis oleh pesta demokrasi, dan setiap pesta demokrasi beresidu pertengkaran-perpecahan, kapan bangsa ini akan bersatu untuk maju?

Pemilu; 2022 atau 2024?

Sekarang, tinggal dua fraksi, yang bertahan perihal RUU Pemilu perlu direvisi, yang juga berdampak terhadap UU Pilkada, yakni PKS dan Partai Demokrat. Golkar dan NasDem yang awalnya hendak melanjutkan pembahasan RUU Pemilu pun kini sudah sejalan dengan pemerintah. Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, yang seminggu lalu sempat mendesak RUU Pemilu, berbalik arah dan menginstruksikan berhenti, menarik keputusan sebelumnya.

“Surya Paloh mengarahkan agar Fraksi Partai NasDem DPR RI mengambil sikap untuk tidak melanjutkan revisi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” demikian rilis resmi Partai NasDem, seperti dilansir CNN Indonesia, pada Sabtu (6/2) kemarin.

Pengamat politik yang sekaligus Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi, menduga ada insentif yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada partai-partai yang menolak pembahasan RUU Pemilu. Alasannya, politik merupakan sesuatu yang rasional dan politisi kerap digerakkan oleh insentif yang rasional pula. Insentif paling nyata, menurut Burhanuddin, ialah jatah menteri partai koalisi yang tidak berkurang.

“Jadi menterinya tetap, syukur-syukur ditambah kalau taat. Itu insentif yang jelas, kalau insentif 2024 masih jauh. Jangan lupa, memori pemilih kita kan pendek. Jadi mungkin itu yang membuat insentif tadi lebih berkurang, untuk mengikuti aspirasi publik (ingin adanya revisi UU Pemilu),” terangnya, dikutip dari Kompas.

Sebagai pengamat, Burhanuddin benar, bahwa sebagian kelompok masyarakat ada yang menginginkan RUU Pemilu tetap berlanjut, menghindari tumpang tindih pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 dengan Pemilu 2024. Tetapi ia hanya memandang dari kesusahan teknis. KPU juga menegaskan kekhawatiran yang sama, kendati bagaimanapun mereka mengaku akan tetap berusaha. Burhanuddin lupa, betapa Pemilu tiap tahun yang beragam pagelarannya, tidak menyumbang ke arah kemajuan. Alih-alih bersatu, justru percekcokan ihwal Pemilu/Pilkada terjadi kontinu sepanjang tahun.

BACA JUGA  Kapitalisme: Jurus Aktivis Khilafah untuk Mendegradasi NKRI

Jadi, apakah 2022 atau 2024, jalan paling bagus tetaplah 2024. Pilkada 2022/2023 diserentakkan pada 2024. Kita hanya perlu mengorbankan tenaga karena memang kerja tersebut padat dan berat. Tetapi, yang jelas, kita, dengan demikian, telah membuat keputusan yang tepat dengan meminimalisir residu buruk yang timbul sebelum dan sesudah Pemilu itu sendiri. Juga agar kinerja pemerintah, pusat dan derah, serumpun, satu tujuan, tidak lain adalah demi Indonesia di masa depan.

Indonesia di Masa Depan

Menguatnya demokrasi di daerah dan meningkatnya partisipasi politik, efektivitas lembaga perwakilan, menguat dan meningkatnya peran parpol, revitalisasi Pancasila, UU Politik yang harmonis, dan presidensial yang efektif menunjang terwujudnya demokrasi substansial menuju NKRI yang berdaulat dan menjadi Indonesia Emas di usia kemerdekaan yang ke-100 nanti. Kinerja nasional membutuhkan keterlibatan seluruh elemen dan tiadanya pertentangan antara daerah dengan pusat.

Semua terintegrasi dengan kuat. RUU Pemilu tidak boleh menjadi pemantik tiadanya keharmonisan politik kebangsaan, dan Pemilu itu sendiri secara esensial harus memproyeksikan persatuan dan kemajuan. Bersatu, maju. Sementara ketidakselarasan kinerja daerah dan pusat yang terjadi selama ini benar-benar mesti dibenahi seefektif mungkin, yang salah satunya ialah dengan keserentakan Pemilu. Faktanya, Indonesia di masa depan ditentukan impian jangka panjang dari sekarang.

Kalau perbedaan antarfraksi politik dipicu oleh kepentingan dinasti, tentang siapa yang oposisi dan siapa yang koalisi belaka, hanya berhenti di situ, dan Pemilu menjadi kendaraan dari kepentingan tersebut, bukan menjadi sarana transformasi gagasan antargenerasi, rusaklah masa depan. Alih-alih memperoleh kemajuan, menjadi pusat peradaban, justru yang terjadi boleh jadi, dan semoga tidak, adalah kehancuran. Bahkan PKS dan Demokrat pun tidak menginginkan itu terjadi.

Lepas dari ketidaksejaluran pilihan politik, Pemilu menjadi PR bersama, agar tidak keluar dari urgensitas menciptakan persatuan dan kemajuan bangsa. Yang tidak perlu direvisi, tidak perlu direncanakan revisi. Kesadaran masyarakat dan pemerintah, kesadaran pemerintah daerah dan pusat, harus menjadi investasi jangka panjang dari mengatasi potensi perpecahan, dan menjadi penggerak integratif menuju Indonesia Emas yang kita cita-citakan bersama.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru