27.6 C
Jakarta

Yang Hilang dari Literasi Kita; Objektivitas

Artikel Trending

KhazanahLiterasiYang Hilang dari Literasi Kita; Objektivitas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menulis. Dunia literasi hari ini cukup mencengangkan. Semua orang bisa menulis. Semua orang bisa membuat opini publik. Tak sedikit dari kita yang pintar membuat narasi. Dalam konteks ini, literasi memiliki dua gigi tajam, negatif dan positif. Ia mampu menelisik segala yang tersembunyi, menyiarkan ke publik. Tetapi sekaligus ia juga bisa mencitra-burukkan apa dan, siapa pun.

Kesadaran literasi publik yang sedemikian menguat seharusnya dibarengi oleh kesadaran positif tentang fungsi positif-negatif itu sendiri. Sehingga, orientasi literasi tidak berat sebelah. Penggunaan ke arah negatif, semisal penggiringan opini, tidak terjadi, atau minimal dapat diminimalisir. Jika tidak demikian, konsekuensinya satu: merosotnya objektivitas.

Seperti disadari bersama, menulis dengan objektif adalah idealisme dunia literasi, yang dengan itu kebenaran tertutur apa adanya. Tidak ada tendensi apa pun, tidak terkontaminasi kepentingan apa pun. Menulis murni jadi kegaiatan menulis. Objektivitas menjadi elemen terpenting, laiknya ruh dalam jasad. Tanpanya, tulisan, sebagus apa pun, menjadi nir-guna.

Bahwa semua literasi naratif memiliki kepentingan, adalah sesuatu yang pasti. Bahwa setiap penulis sudah punya sudut pandang tertentu, sebelum ia di atas mesin ketik, juga suatu keniscayaan. Sungguhpun demikian, bukan berarti setiap tulisan itu, dalam apa pun bentuknya, mustahil mencapai netralitas. Sebab netralitas itu sendiri sifatnya relatif.

Objektivitas sendiri bukan berarti lepas sama sekali dengan yang namanya latar belakang penulis. Tetapi, di atas latar belakang penulis, ada sesuatu yang lebih diupayakan, yakni menuturkannya sebagai sebuah fakta murni. Apa adanya. Berdasarkan refrensi. Berdasarkan hasil observasi, jika itu penelitian. Setiap sudut imbang, jika itu adalah berita.

Dalam dunia literasi, metodologi bukanlah sesuatu yang asing. Ia menjadi rambu-rambu penulis, sejauh apa ia hendak mengeksplorasi data, setajam apa ia mengerahkan analisis. Juga, seperti apa kesimpulan yang hendak dicanangkan. Melalui metodologi, tulisan menjadi imbang. Sayangnya, objektivitas cenderung dikesampingkan. Literasi kita hari ini sarat berlatar kepentingan, baik kepentingan individual maupun kolektif.

Angle Pra-Objektivitas

Angle atau sudut pandang (point of view) tidak hanya ada dalam penulisan berita, melainkan mencakup rupa literasi apa pun. Dalam penulisan berita, biasanya angle dipakai untuk mengemas berita yang menarik, atau memuat satu kasus dalam banyak pemberitaan. Tetapi dalam literasi populer semacam esai dan opini, bahkan juga karya ilmiah, angle juga digunakan untuk memberikan perspektif analisis.

Artinya, secara epistemologis, angle adalah bahan olah, yang dengannya metodologi melakukan kinerjanya. Semakian spesifik sebuah angle, objektivitas sebuah tulisan semakin mudah dibaca. Sebaliknya, semakin umum angle-nya, semakin susah menentukan objektivitasnya. Biasanya tulisan akan mengambang, tidak memiliki ancang konklusi yang bernas.

Sudut pandang (angle) berada sebelum objektif dan subjektifnya sebuah tulisan dapat dideteksi. Biasanya sebelum menulis, setiap orang sudah tergambar di pikiranny apa yang hendak ditulis. Juga data yang hendak ia suguhkan, bahkan kesimpulan yang ia tawarkan. Bagian bahasan subbabnya pun sudah terpikirkan. Dalam tataran itu, angle sudah inheren dalam rancangan idenya.

BACA JUGA  Spirit Literasi: Aku Menulis Maka Aku Ada

Lalu bagaimana dengan pra-pemahaman penulis? Tidak dapat dipungkiri, memang, angle itu sendiri seringkali lahir dari iklim keilmuan individu penulis. Artinya bersifat subjektif. Tetapi sekali lagi, literasi yang tepat berjalan dalam analisis yang presisi. Penulis mampu mengkondisikan iklim pra-pemahamannya dalam rel metodologis. Syarat objektivitas pun terpenuhi.

Pra-objektivitas justru seringkali terjadi seblum pra-pemahaman, karena latar belakang menulisnya dibalut kepentingan. Itu yang terjadi. Sehingga objektivitas tidak pernah dicapai, dan tendensius memperburuk citra literasi itu sendiri. Seandainya semua kesadaran literasi terbebas dengan kepentingan, dampak baik dapat kita rasakan sendiri. Kebenaran tak tertutupi hoaks; nir-objektif. Apalagi berstatus hoaks, tidak pun jika tendensius, kelaikan untuk membacanya runtuh seketika.

Tentu, ini tidak mempersoalkan apakah semua literasi harus mempertontonkan idealisme. Tidak ada yang tanpa kepentingan sama sekali. Menampakkan kebenaran juga termasuk kepentingan. Lalu apakah “ingin menguak kebenaran” juga melibatkan subjektivitas? Tidak. Sebab “kebenaran” itulah idealisme literasi.

Literasi: Menyemai Netralitas, Mencapai Objektif

‘Kebenaran’ adalah idealisme, itu intinya. Tetapi untuk mencapai idealisme, kebenaran itu, seperangkat metodologi tetaplah menjadi keharusan. Netralitas yang dimaksud adalah lawan dari subjektivisme yang bias penulis. Menyemai netralitas setali tiga uang dengan mencapai objektivitas. Setiap tulisan dikatakan berbobot bilamana memenuhi persyaratan ini.

Penting digarisbawahi, bahwa disadari atau tidak, hoaks, ujaran kebencian, atau narasi apa pun yang bertebaran dalam bentuk tulisan, lahir didahului oleh tiadanya objektivitas. Setiap literasi yang tendensius akan disebarkan oleh orang-orang yang segolongan. Tanpa bukti, narasi yang tendensius tersebut akan ditambah-tambah. Dari itulah kemudian, hoaks dan ujaran kebencian lahir.

Menulis memanglah perbuatan yang mulia. Tetapi menulis yang dimaksud ialah menulis dengan kebenaran, tidak ada kepentingan terselubung. Ini berkaitan erat dengan dua sisi literasi yang disinggung di muka: menulis bisa mengungkap kebenaran, sekaligus menutupnya. Tergantung kita, objektif atau tidak. Tergantung kita, idealis atau justru pragmatis.

Hilangnya objektivitas menjadi cobaan dari perkembangan pesat literasi kita hari-hari ini. Kita bisa mengatasi, tetapi jelas berangkat dari kesadaran kita sendiri. Tidak ada gunanya kesadaran literasi meningkat, kalau sekadar digunakan untuk kepentingan tertentu. Bukan menambah kemajuan, justru memperburuk keadaan. Karenanya, peran kita menjadi keniscayaan.

Pada akhirnya, sebenarnya hilangnya objektivitas sudah disadari oleh semua kalangan. Tidak ada yang menampik bahwa meningkatnya kesadaran literasi mungkin didesak oleh kepentingan. Sehingga nuansa literasi itu sendiri sarat kepentingan. Kita tidak bisa menyalahkan siapa pun. Ini berangkat dari kesadaran individual.

Yang terang, sekali lagi, objektivitas adalah bagian substansial dalam semua tulisan, dalam genre apa pun ia menampakkan diri. Sebagai elemen urgen yang malah hilang di tengah arus eskalasi kesadaran literasi, tanggung jawab adalah milik kita. Memenuhi ruang publik dengan literasi yang tendensius bukanlah prestasi. Jika objektivitas tetap absen dari literasi kita, keterampilan menulis tidak memiliki fungsi apa-apa.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru