29.1 C
Jakarta

Wawancara Ustaz Hasanuddin Sang Jagal, Eks-Napiter Poso yang Jadi Amir Kafilah Perdamaian

Artikel Trending

KhazanahResonansiWawancara Ustaz Hasanuddin Sang Jagal, Eks-Napiter Poso yang Jadi Amir Kafilah Perdamaian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tahun 2006, setengah dekade sebelum Santoso mendeklarasikan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), ada peristiwa mencekam. Tiga siswi SMU Kristen Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) dimutilasi. Dua tahun sebelumnya, yakni 2004, Kepala Desa Pinedapa, Kecamatan Poso Pesisir, Karminalis Ndele (48) ditemukan tewas dengan kepala terpenggal. Kepalanya ditemukan warga di Kelurahan Sayo dengan terbungkus plastik. Sementara kepala Karminalis dibawa ke rumah sakit, tubuhnya belum ditemukan.

Ternyata itu adalah cikal-bakal konflik Poso yang tidak berkesudahan hingga hari ini. Hasanuddin, terdakwa pemenggalan tersebut, mengaku bertanggung jawab, tetapi ia menyangkal dituding sebagai otak di balik semua aksi itu. Ia mengaku, otaknya adalah Sanusi, anggota penting teroris Jemaah Islamiyah (JI) yang kabur setelah kasus pemenggalan di SMU Kristen Poso. Sanusi adalah teroris yang ditembak mati di Kota Marawi, Filipina, pada 21 November 2013 lalu.

Kini, baik Sanusi dari JI maupun Santoso dari MIT sudah sama-sama mati. Namun demikian, terorisme di Poso tidak juga berakhir, di bawah pimpinan Ali Kalora. Hasanuddin yang sudah bebas dari penjara pun hijrah, tidak lagi menjadi amir teroris, dan justru menjadi Amir Kafilah Pejuang Perdamaian Poso. Ustaz Hasan, sapaan akrabnya, aktif mengisi diskusi seputar penanggulangan terorisme dan pesan perdamaian untuk Poso—agar selesai dari konflik terorisme yang sudah berusia satu dekade lebih.

Ada sejumlah pertanyaan di mata publik. Apakah Ustaz Hasan adalah eks-MIT atau bukan, apakah aksinya bermotif sama dengan MIT, dan bagaimana ia melihat konflik Poso saat ini. Beberapa waktu lalu, Tim Redaksi Harakatuna berhasil melakukan wawancara dengan Ustaz Hasan. Wawancara berlangsung hampir setengah jam. Berikut wawancara Tim Redaksi Harakatuna dengan Ustaz Hasanuddin sang jagal, eks-napiter Poso yang hari ini menjabat sebagai Amir Kafilah Perdamaian:

Bagaimana pengalaman Anda selaku orang yang pernah tergabung dunia teror, bahkan terlibat pemenggalan. Benarkah dugaan bahwa Anda tergabung sebagai pejuang MIT di Poso?

Baik. Perlu saya luruskan. Saya belum pernah bergabung dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Karena waktu MIT berdiri, saya masih dalam penjara. Tetapi, anggota dan ketua MIT seperti Santoso dan beberapa teman lainnya itu bagian dari kami, dulunya, sebelum mereka mendirikan MIT. Jadi Santoso sebelum mendirikan MIT itu bagian dari kami di Pesantren Al-Amanah (pesantren di Poso yang berafiliasi dengan pesantren Al-Islam, Ngruki, Jawa Tengah binaan Abu Bakar Baasyir, red.). Betul bahwa teman-teman melakukan kegiatan tersebut (pemenggalan, red.), di antaranya pernah menyembelih siswi SMU Kristen, ya. Kemudian pernah juga menyembelih kepala desa Pinedapa, tetapi bukan dilakukan oleh MIT. MIT itu kan sekarang, dulu bukan MIT. Istilahnya MIT itu ya cuma imbas dari masa lalu saja. Organisasi teroris sebenarnya komunitas begitu. Waktu itu tidak seperti sekarang yang ada JAT, JAD atau apa. Tidak ada. Tapi orang mengatakan bahwa kita berafiliasi ke JI, katanya. Motifnya juga berbeda, karena pemenggalan waktu itu sebagai balasan kepada orang-orang Nasrani yang telah membantai kaum Muslimin. Begitu. Jadi pembalasan, motifnya. Antara tahun 2001 sampai 2006, terakhir 2007, kegiatan itu.

Melihat perkembangan terbaru, bagaimana keadaan Poso hari ini menurut Anda?

Iya kenapa Poso belum selesai, yang pertama, karena adanya propaganda MIT untuk menarik orang-orang dari berbagai tempat. Dari Bima, Ambon, dan lainnya, masuk juga. Keberhasilan itu tentunya lewat media sosial yang hari ini menjadi ajang perekrutan maupun ajang propaganda. Satu dari sisi itu. Yang kedua, dari sisi aparat ya. Menyelesaikannya tidak maksimal sebagaimana saat masih ada Santoso dulu. Ketika ada Santoso jumlahnya yang paling banyak 42 orang saja di gunung, mereka mampu mendapatkan Santoso. Tapi justru ketika sudah tinggal 7 orang waktu itu, ya akhirnya bertambah berkurang, bertambah berkurang, sampai hari ini ada 9 orang. Tapi kenapa belum selesai-selesai? Nah, itu propagandanya jalan terus, rekrutmennya jalan terus, ditambah aparat belum maksimal dalam penanganannya. Nanti tentunya ini harus diklarifikasi dengan pihak aparat. Mereka serius, misalnya sampai ada yang tertembak. Tapi belum maksimal. Misalnya begini. Saat ada Santoso itu ratusan bahkan mungkin ribuan personel kemarin dikerahkan. Mestinya hari ini kalau memang 1000 belum cukup ya harus dikirim 2000 atau 3000 sampai dipandang cukup gitu. Karena buktinya masa Santoso bisa didapat dengan jumlah personel yang banyak.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Jadi menurut Anda, terkait penanganan terorisme di Poso, itu penanggulangannya harus memakai cara-cara militer. Tidak ada cara lain?

Ada cara lain. Ini harus dijadikan dua fokus ya. Satu, fokus di Gunung Biru. Itu ranahnya, domainnya militer, domainnya aparat keamanan. TNI, Polri. Kemudian, kedua, domain yang di bawah, yang tidak di gunung. Bagaimana cara memutus mata rantai. Nah ini mestinya memutus mata rantai ini tugasnya semua masyarakat, semua stakeholder yang terlibat dalam penanganan ini. Misalnya siapa melakukan apa. Misalnya Kemenag melakukan pembinaan. MUI melakukan pembinaan. Ormas-ormas Islam melakukan pembinaan. Makanya kemudian adanya penanganan itu harus jelas agar tidak tumpang-tindih. Ada BNPT, ada Densus 88, ada Kemenag, ada MUI, macam-macam harus jelas tupoksinya.

Beragam operasi dari aparat sudah dilakukan. Mulai Satgas Tinombala hingga Madago Raya, tetapi terorisme di Poso tidak pernah lenyap. Bagaimana menurut Anda sebenarnya eksistensi teroris MIT dan gerilya terorisme di Poso hingga hari ini?

Ya ada dua fokus itu tadi, antara yang di gunung atau yang di kota atau pun di kampung-kampung dan desa. Operasi militer itu basisnya di gunung (Gunung Mauro, Tambarana, Poso Pesisir Utara, serta di daerah Gunung Biru, Tamanjeka, red.).

Bagaimana idealnya Poso ke depan, melihat konflik yang berkepanjangan, bagaimana Anda menyikapinya menuju selesainya konflik tersebut?

Ya kita sudah ini, apa, mendirikan Kafilah Perdamaian Poso dengan teman-teman. Lewat Al-Khairat, Wisdom Institute. Pembinanya Pak Lukman S. Tahir (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Palu, red.). Seperti kata Pak Lukman Tahir, pola operasi perlu diubah. Satgas Tinombala atau Madago Raya jangan hanya fokus pada pemburuan, tapi juga pemutusan jaringan. Satu hal lagi yang menjadi harapan ialah bagaimana pemerintah dapat melibatkan mantan napiter dalam kegiatan pembangunan sesuai dengan kemampuan mereka.

Apa saja yang dilakukan Duta Perdamaian untuk Poso sejauh ini?

Nah, Kafilah Perdamaian yang jumlah awalnya sebanyak 5 orang mengajak teman-teman mantan napiter tambah 10 jadi 15 orang. Kini, secara keseluruhan anggota Kafilah Perdamaian sebanyak 104 orang, namun yang telah menyatakan siap dan bersedia rutin mendatangi keluarga MIT baru 6 orang, termasuk saya. Kemudian kita juga melakukan kampanye-kampanye perdamaian, anti-radikalisme, di pelajar-pelajar, di mahasiswa, di masyarakat, baik di Poso maupun di Palu. Itu kita lakukan beberapa kali. Selain Kafilah Perdamaian, kita juga aktif misalnya ada siapa pun, seperti NGO (Non-Governmental Organization, red.), kita aktif memberikan sumbangsih pemikiran oleh misalnya Pemda setempat, atau pun kemudian pihak-pihak dari Jakarta. Ya kita aktif di situ sebagai orang yang pernah merasakan dan melakukan bagian dari yang dikatakan radikalisme atau terorisme tadi.

Bagaimana harapan Anda untuk pemerintah maupun masyarakat di Poso terkait terorisme MIT itu sendiri?

Ya harapan saya, memang jangan semua dijalankan dengan hard approach ya, dengan cara kekerasan. Saya masih berharap ada cara soft approach, dengan pendekatan melalui keluarganya misal, kita dekati dengan mereka yang di atas gunung lewat keluarga mereka, lewat simpatisan mereka. Memang ini perlu waktu agar kita bisa komunikasi dulu, kita bisa diskusi dengan mereka sebenarnya apa yang dimaukan. Sehingga kesan harus dengan cara dibunuh itu menurut saya harus dihindari dulu. Masih ada waktu, masih ada kesempatan, dengan cara pendekatan persuasif. Itu menurut saya lebih menyelesaikan masalah dibanding dengan cara kekerasan yang justru akan menimbulkan dendam, menimbulkan trauma, menimbulkan antipati dari anaknya, dari keluarganya. Kemudian untuk masyarakat Poso dan sekitarnya, ya, mari kita sama-sama untuk berperan aktif dalam persoalan ini. Yakin bahwa kita mampu, dimampukan, sama-sama bergandengan tangan untuk menciptakan Poso yang lebih baik ke depannya. Jadi itu barangkali.

 


Wawancara ini telah disunting agar lebih jelas dan lengkap (Khr)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru