25.6 C
Jakarta

Waspada, Ini Ciri Ancaman Radikalisme di Era Digital terhadap Pancasila

Artikel Trending

AkhbarDaerahWaspada, Ini Ciri Ancaman Radikalisme di Era Digital terhadap Pancasila
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Bogor-Ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi landasan Indonesia dalam mewujudkan cita-cita nasional, yaitu mweujudkan keamanan dan kesejahteraan bangsa. Akan tetapi, dalam upaya mewujudkan cita-cita tersebut, negara kita mengalami tantangan dan permasalahan, seperti  separatisme, radikalisme, kriminalitas, gizi buruk anak, hingga kekerasan terutama di era digital.

Di era digitas ini, ternyata nilai pancasila semakin luntur penerapannya dalam kehidupan berdigital. Faktanya, banyak masyarakat yang menginginkan pancasila untuk diubah.

Menurut data CSIS yang dipaparkan oleh Ninik Rahayu, Tenaga Profesional Lemhanas RI 2021, sebanyak 9,5% generasi milenial menginginkan pancasila diganti. Beberapa menganggap bahwa pancasila sudah tidak relevan dengan keadaan bangsa, dan memilih khilafah dibandingkan pancasila.

“Kita punya nilai idil di dalam pancasila dari nilai ketuhanan sampai nilai keadilan. Dalam pancasila itu ada nilai bersama untuk mewujudkan persatuan dan kemanusiaan. Ini adalah pegangan bangsa Indonesia dan seluruh masyarakat,” jelas Ninik, saat menjadi pembicara dalam Webinar Literasi Digital wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, melalui siaran pers yang diterima Industry.co.id.

Oleh karena itu, pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi yang paling pas untuk bangsa Indonesia. Ninik menyebutkan, pancasila menjadi penting bagi kita karena ini sebagai kesadaran kolektif.

Maka, pancasila menjadi pondasi dari semua entitas, seperti hukum dan aturan. Setiap penyimpangan dalam pancasila harus dikoreksi, termasuk penyimpanan atas kesadaran kolektif. Dalam paparan Ninik yang mengutip Durkheim, kesadaran kolektif ini penting dalam menjelaskan keberadaan masyarakat, menghasilkan masyarakat dan menyatukannya.

Ninik menjelaskan, terkait tindakan ekstrimisme, kekerasan, intoleran dan terorisme sebagai tantangan dalam mewujudkan cita-cita pancasila di era digital memiliki tiga kategori di dalamnya, yakni pengikut, pemaham, dan penggerak. Pengikut ini merupakan orang yang ingin mengubah pancasila tanpa mengetahui alasan jelas. Dalam artian, pengikut ini hanya ikut-ikutan dan biasanya terpengaruhi oleh media digital.

Pada pemaham, kategori ini menganggap pancasila sebagai bentuk perlawanan terhadap Tuhan. Menurut mereka, pancasila tidak mementingkan Tuhan. Penggerak ini merupakan orang yang secara aktif menyuarakan anti-pancasila di publik. Para penggerak pada dasarnya memiliki alasan terhadap sikap anti-pancasilaisnya baik secara rasional maupun emosional.

BACA JUGA  KST Papua Kembali Menyasar Tembak Dua Warga Sipil

Ia juga menerangkan terkait pandangan kebhinekaan pada orang-orang yang menolak pancasila. Dalam hal ini, memungkinkan terjadinya tahapan-tahapan sikap sebelum melakukan penyimpangan pancasila dan banyak disebarkan dengan memanfaatkan teknologi digital, di antaranya:

1. Puritan, sikap keagaaman untuk memurnikan agama dari penyelenggaraan kehidupan beragama. Orang dengan sikap puritan tidak akan melihat agama lain itu benar

2. Intoleran, sikap untuk tidak membiarkan pemeluk agama lain berekspresi terhadap ide atau kepentingan berbeda bagi agama mereka.

3. Radikal, yakni sikap mengadopsi pandangan ekstrimisme untuk mempengaruhi perubahan sosial politik yang menolak prinsip demokratis.

4. Teroris, memerangi mereka yang berbeda agama dan simbol kekuasaan dengan merefleksikan ideologi berbeda dan berlawanan.

Mengenai sikap-sikap anti pancasilais tersebut, Ninik mengatakan bahwa perempuan sering menjadi korban terkait aksi ini. Pelaku aksi intoleran, radikalisme, dan terorisme kerap memainkan isu-isu terkait feminisme, keibuan, keluarga, yang beriringan dengan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.

“Untuk itu, dalam menggunakan teknologi digital penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana menggunakan, cara pemanfaatan, dan potensi penyimpangan yang terjadi. Jangan sampai terjerumus kepada tren yang membawa kita dalam perbuatan atau sikap negatif,” tukasnya.

Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (6/8/2021) juga menghadirkan pembicara,  Yahya Cholil Staquf (Katim’Aam PBNU), Adib (Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat), Fajar Eri Dianto (Ketua Umum Relawan TIK Indonesia),  dan Fanny Fabriana.

Gerakan Nasional Literasi di era Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.

Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru