31.8 C
Jakarta

Wajah Muslim, Yang Ramah dan Yang Marah

Artikel Trending

KhazanahOpiniWajah Muslim, Yang Ramah dan Yang Marah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Mengapa muncul islamofobia, padahal Islam diturunkan sebagai agama kasih sayang? Pertanyaan ini mungkin seringkali kita, sebagai Muslim, dengar dari orang-orang yang memiliki simpatik tinggi terhadap agama yang dianutnya.

Dan ini saya kira bagus. Karena ke depannya setelah mengetahui akar masalahnya si penanya mungkin akan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengubah rule of life-nya, dari yang konservatif menjadi progresif, dari yang suka tergesa-gesa menjadi kalem. Walhasil perbuatannya akan membuahkan hasil hilangnya stigma buruk yang dilemparkan pada umat Islam.

Sebuah klaim terhadap kelompok tertentu akan muncul dengan sendirinya setelah lama bergumul, mengamati, dan mengobservasi cara hidupnya. Orang Barat tidak akan serta-merta mengalami fobia kepada umat Islam. Mesti ada penyebabnya. Jadi sebaiknya kita, sebagai umat Muslim, bercermin dan melakukan evaluasi diri. Apakah ada yang salah dengan dirinya saat bersosial?

Dalam perspektif Karen Amrstrong dalam bukunya, “Islamofobia”, yang diterbitkan oleh Mizan, salah satu penyebab munculnya fobia terhadap Islam adalah banyaknya gejolak anggota terorisme yang mengatasnamakan dirinya sebagai umat Islam. Kelompok tersebut di antaranya diwakili oleh ISIS, Al-Qaeda, dan Wahabisme yang menyebarkan teror kepada agama di luar Islam. Mereka tidak mengenal toleransi beragama. Hal inilah yang menyebabkan adanya sentimen bahwa Islam memiliki wajah yang marah, meski sebenarnya background yang dibawa Islam adalah keramahan.

Di Inggris, teror datang dari sekelompok Islam radikal yang bernama Hizbut Tahrir. Sebuah kelompok yang mencita-citakan berdirinya negara Islam, entah dengan cara apapun. Bahkan hingga menggunakan teror. Akibatnya munculah sebuah islamofobia. Islam ditakuti dan dibenci.

Ada sebuah kisah yang menarik didengar, tebtang betapa takut dan bencinya mereka kepada umat Islam, yang disampaikan oleh Majid Nawaz dalam “Radical : My Journey Out of Islamist Extremism“. Cerita ini juga pernah dikutip oleh AS Laksana dalam sebuah tulisannya di koran Jawa Pos Minggu.

Dua gerombolan pemuda saling berhadapan. Satunya berkulit putih, bermata biru, berkepala plontos. Gerombolan mereka berjumlah sangat banyak. Di antaranya ada yang membawa pentungan besbol dan pisau di pinggangnya, seolah siap perang. Sedang kelompok lainnya hanya beranggotakan tiga orang, Osman, Maajid, dan Nas.

“Hei, Paki!” teriak pimpinan kulit putih kepada mereka bertiga. Paki adalah sebutan kaum rasis Inggris kepada warga kulit cokelat di sana. Dirasa terdesak dan terpojok ke situasi yang tidak menguntungkan Osman akhirnya maju menemui pimpinan kulit putih yang bernama Mickey. Setelah berbincang sebentar Mereka berdua kembali ke kelompok masing-masing. Dan Mickey segera membubarkan pasukannya.

BACA JUGA  Ini Kriteria Profetik Calon Pemimpin yang Wajib Diketahui

Sontak teman-teman Osman pun heran kepadanya dan bertanya, “apa yang kau katakan pada mereka?”. Osman menjawab, “kami adalah seorang Muslim yang tidak takut mati. Kamilah pelaku bom bunuh diri sebagaimana teroris yang meledakkan pesawat. Kami paham bagaimana cara merakit bom. Dan apa yang ada di dalam ransel kami itu adalah bom. Mohon maaf! Kalian sedang berurusan dengan orang yang salah”.

Mungkin kalian yang sentimen akan buru-buru menghardik orang Inggris yang menyudutkan kaum Muslim. Tanpa mau menelaah ulang bagaimana kelompok yang mengatasnamakan Islam itu berulah. Kita bisa melihat aksi Osman yang begitu ditakuti oleh geng Mickey.

Memang benar perlakuan sebagian kelompok tidak bisa mewakili keseluruhannya. Tapi itulah yang terjadi. Kita sudah cukup sulit mengubah pola pikir hanya dengan mengatakan, itu contoh yang tidak benar dari umat Islam. Islam tidak mengajarkan hal seperti itu.

Dalam Bahasa Nurcholish Madjid, pemeluk agama dengan sendirinya akan menjadi cermin dari agama itu sendiri. Dengan demikian salah satu solusi untuk mengubah stereotip itu adalah, Kita harus melakukan aksi nyata yang mencerminkan betapa Islam memiliki wajah yang ramah, bukan marah.

Islam agama toleran dan mampu hidup berdampingan dengan siapapun. Jika demikian mungkin fobia akan segera berkurang. Karena kita mampu hidup dengan mencerminkan nilai-nilai indah islam yang tidak perlu ditakuti sama sekali. Walhasil mereka berbalik menyanjung umat Islam karena ramah.

Agaknya kita perlu berkaca pada walisongo. Awalnya mereka datang ke Nusantara membawa agama yang minoritas, Islam. Namun setelah mereka menunjukkan kebijaksanaan agama Islam dengan berbuat ramah dan tidak mudah menggusur budaya lama, meski menyalahi aturan agama. Masyarakat pun mulai banyak yang tertarik mengikuti ajaran Islam.

Walhasil, Islam dikenal memiliki wajah yang ramah di Nusantara. Itu karena pemeluknya tidak pernah melakukan teror. Kembali lagi ke Eropa, agaknya mereka harus mencontoh perilaku umat muslim yang mampu hidup tentram karena telah bisa membuang rasa egoisme dan tindakan teror. Lalu memperlihatkan wajah ramah Islam. Dengan demikian Islamofobia akan terkikis hingga sampai ke akar-akarnya. Wassalam.

Ahmad Miftahul Janah
Ahmad Miftahul Janah
Penulis buku “Sidul Santri Kucluk” ini merupakan mahasantri abadi Mahad Aly Annur 2 yang sedang mukim dan bersosial di komplek EL PP Al Munawwir

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru