26.1 C
Jakarta

Wahabisme-Jihadis ISIS; Kongkalikong Deislamisasi (Bagian IV)

Artikel Trending

KhazanahTelaahWahabisme-Jihadis ISIS; Kongkalikong Deislamisasi (Bagian IV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Telah menjadi diskursus kolektif, walau tidak pernah ada mufakat dari semua sekte agama, Islam, bahwa istilah ‘kafir’ adalah stigma parokial bila disematkan kepada manusia selain Islam. Maka, menghindari sematan ‘kafir’ adalah langkah aman dalam menjaga kerukunan umat beragama. Karenanya, pada judul tulisan ini penulis sebut ‘deislamisasi’, kendati istilah ini kurang tepat disandingkan dengan klan ISIS, sebagai ganti dari kata takfiri.

Sebelum beranjak jauh mengurai titik temu ideologi ISIS dan Wahabi dalam kerja-kerja ‘pengkafiran’ yang akan dibahas dalam subbab selanjutnya. Sangat mendasar penulis perlu menegaska bahwa yang dimaksud dengan deislamisasi/takfiri bukanlah kerja karja kasar yang memaksa manusia Muslim menjadi kafir. Tidak demikian, ‘deislamisasi’ adalah seperangkat dogma politis yang mengecap siapapun, bahkan  orang Muslim yang tak sepadan dengan ideologi ISIS dan Wahabi.

Deislamisasi berjalan sebagai meta politik yang digunakan pengasong pan-Islamisme garis kanan untuk menggiring siapapun, termasuk kalangan Muslim pada satu pemahaman keagamaan. Pan-Islamisme sendiri adalah sebentuk lanskap gerakan sosial yang memanfaatkan nama Islam demi kepentingan politis mereka.

Sebagai suatu alat jaring, deislamisasitentu menyasar dan melukai kelompok-kelompok keagamaan di luar mereka. Bahkan, dalam kemungkinan paling tragisnya yang niscaya, siapa pun yang telah dicap non-Islam menjadi mutlak untuk dibunuh, jika terjangkau.

Ini hampir sama kasusnya dengan sederet gerakan orientalis yang menstigma manusia timur sebagai masyarakat terbelakang, out of date, marginal dan permanen miskin. Stigma-stigma demikian pada akhirnya membuat frustasi berkepanjangan. Hingga berujung pada kemandekan dan kematian peradaban sebagaimana yang akan diulas di akhir catatan ini.

Akar Mula Deislamisasi ISIS dan Wahabi

Dari mana datangnya deislamisasi? Sepintas mungkin dapat dijawab dari kebodohan, jahiliyyah. Tapi tidak. Deislamisasi bukan berasal dari kebodohan atas agama, sebab aktor utamanya bukanlah orang-orang jahil yang tak mengerti ilmu agama. Mereka adalah penghafal—bukan pengamal—al-Qur’an dan hadis. Mereka mengaji, tidak pernah mengkaji, ilmu salaf berjilid-jilid. Maka tepatnya, deislamisasi bersumber dan bersifat pembodohan.

Secara historis, deislamisasi dapat ditemukan akar kemunculannya dari leluhur ISIS yang menganut salafi hardcore, yaitu Ayman al-Zawahiri. Ayman al-Zawahiri adalah Amir Jema’ah al-Jihad. Sebagai seorang Amir, al-Zawahiri telah mengeluarkan fatwa dan mengamalkannya sendiri, bahwa membunuh pemimpin Muslim dibolehkan, jika demi tegaknya negara Islam.

Maka tak ayal al-Zawahiri terlibat dalam plot pembunuhan Presiden Mesir Anwar Sadat yang berstatus Muslim. Pembunuhan Anwar Sadat ini dilakukannya dalam rangka menunaikan ambisi untuk mendirikan negara Islam yang teokratis.

Lebih tua dari sang pembunuh Presiden Mesir, terdapat nama Abu Mus‘ab al-Zarqawi, penganut ideologi Salafi-Wahabi sebagai leluhur ISIS. Al-Zarqawi mulai berkenalan dengan Salafi-Wahabi sejak mengenyam pendidikan di lembaga al-Husayn Ben Ali yang bertempat di Amman.

BACA JUGA  Nasib Anak Teroris, Hidup di Antara Harapan dan Trauma

Ia meyakini, bahkan mengamalkan doktrin purifikasi. Menurutnya, demokrasi dan modernitas merupakan produk Barat yang kafir. Maka dari itu jihad memusuhi Barat wajib hukumya. Pun doktrin purifikasi mengajarkan pemurnian agama dari aspek rasio dan ijtihad kontekstual atas Al-Qur’an dan sunah.

Catatan sejarah yang demikian ini, sebagaimana dikutip Najid Arromadloni dalam bukunya, Daulah Islamiyah, menuntun kita pada suatu pengetahuan tentang akar jihadis ISIS yang menghalalkan segala cara, termasuk pembunuhan, demi menggapai kepentingannya yang berawal dari doktrin purifikasi.

Doktrin ini mewajibkan pemurniaan agama. Doktrin ini juga memetakan urusan politik dan ekonomi sebagai perihal thaghut. Doktrin ini mewajibkan jihad untuk mengubah negara demokrasi “thaghut” menjadi negara teokrasi Islam.

Setelah Era al-Zarqawi

Pasca al-Zarqawi, deislamisasi oleh leluhur ISIS dilanjutkan oleh al-Masri. Al-Masri memandang dirinya sebagai jihadis dalam rangka berperang melawan ideologi Barat di seluruh dunia. Al-Masri bekerjasama dengan Umar al-Baghdadi, seorang Salafi Irak yang memimpin ISI. Pada periode awal gerakan al-Baghdadi didukung oleh kelompok Sunni. Tujuannya tak lain hanya untuk pembebasan Irak.

Sepeninggal al-Masri, Abu Bakar al-Baghdadi, komandan ISI juga menganut ideologi takfirisme radikal. Setalah keluar dari Ikhwanul Muslimin, ia menjadi salah satu tokoh penting dalam Jaysh al-Mujahidin. Tak lama di Jaysh al-Mujahidin, al-Baghdadi terilhami dengan pikirannya sendiri untuk memerangi kelompok Sunni yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Dan jihad membunuh orang Sunni ini lebih mulia dari pada memusuhi Barat.

Selain itu, takfiri dan paham jihadis ala ISIS dalam asuhan al-Bahgdadi semakin kental dengan nuansa Salafisme dan Wahabisme yang getol melakukan pemusnahan atas simbol-simbol agama. Al-Baghdadi, sebagaimana tulis Najih Arromadhoni menghancurkan banyak masjid di wilayah mereka dengan alasan karena masjid tidak menerapkan prinsip tauhid versi mereka. Sadisnya, jihadis ISIS sempat berencana untuk menghancurkan Ka’bah di Makkah yang dianggap menjumudkan dan menuai kemusyrikan.

Pada titik khurafatisme, takfiri, tabdi’i, serta dalam banyak penggusuran dan pembantaian umat tak bersalah (teror), Wahabi memiliki titik temu dengan mazhab jihadisnya ISIS. Mereka melakukan kerja-kerja politis dengan kedok teologis untuk menggapai tujuannya masing-masing.

Maka bila ditanya dari mana datangnya deislamisasi? Sejak kapan lahirnya pan-Islamisme radikal? Bagaimana pembunuhan sesama Muslim bisa terjadi? Maka jawabannya cukup dua kata: Salafi-Wahabi dan ISIS.

Sederhananya, deislamisasi terjadi sebab ambisi para jihadis ISIS untuk mendirikan negara teokrasi Islam. Serta ambisi Barat dalam mengeruk minyak tanah negara-negara teluk. Keduanya sama-sama menggunakan kendaraan politik bernama pan-Islamisme. Dan program-programnya adalah pemurtadan, pengkafiran, pembid’ahan, penggusuran bahkan pembantaian sesama Muslim.

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru