Harakatuna.com. Ankara – Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “virus Islamophobia” sedang menyebar di Eropa.
“Virus Islamophobia, sama bahayanya dengan virus corona, menyebar dengan cepat. Terutama di negara-negara Eropa,” ujarnya dalam sebuah kesempatan Rabu (12/5/2021) malam seperti laporan daily sabah.
Erdogan juga menggarisbawahi puluhan juta orang Turki yang tinggal di Eropa yang terus-menerus terpengaruh dengan Islamophobia. Mereka seakan-akan berada dalam bahaya menjadi korban kejahatan rasial.
“Eropa, di mana 35 juta Muslim tinggal saat ini, termasuk 6 juta orang Turki, semakin berubah menjadi penjara terbuka untuk saudara dan saudari kita,” katanya.
“Situasi saat ini, yang menjadi begitu suram, menjadi ancaman serius bagi keamanan umat Islam yang tinggal di Eropa,” sambungnya.
Islamophobia Penyakit Akut Berlanjut
Erdogan telah berkali-kali mengecam Barat karena tidak bertindak dalam menghadapi meningkatnya Islamofobia. “Umat Muslim berada di bawah tekanan dengan proyek-proyek seperti Islam Eropa, Islam Prancis, Islam Austria,” kata Erdogan sebelumnya.
Erdogan mencatat bahwa serangan terhadap nilai-nilai sakral umat Muslim tak berharga bagi pemerintah Barat. Mereka berdalih kebebasan berekspresi.
Erdogan menambahkan bahwa institusi Turki harus mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan Muslim dan Turki di negara-negara ini.
Beberapa negara Eropa, terutama Prancis, telah mengambil sikap bermusuhan terhadap Muslim dalam beberapa tahun terakhir.
Pada bulan Januari, sebuah komisi khusus di Majelis Nasional Prancis menyetujui “piagam nilai-nilai republik” Islam yang diperkenalkan tahun lalu oleh Presiden Emmanuel Macron sebagai bagian dari perang melawan “separatisme.”
Prancis juga terlibat dalam perseteruan sengit dengan negara-negara Muslim tahun lalu, termasuk Turki, atas pernyataan dan kebijakan yang dibuat oleh pejabat tinggi Prancis menyusul publikasi ulang karikatur ofensif Nabi Muhammad.
Muslim di seluruh dunia mengecam keputusan majalah satir Prancis Charlie Hebdo untuk menerbitkan ulang kartun, dengan alasan tidak menghormati Muslim dan Nabi Muhammad.
Austria mencoba memberlakukan RUU serupa; namun, pemerintah merevisi undang-undang “anti-teror” yang kontroversial, menggunakan frasa “ekstremisme yang dimotivasi oleh agama” alih-alih “Islam politik”, setelah reaksi negatif dari publik.