32.9 C
Jakarta

Vaksinasi COVID-19 di Tengah Arus Narasi Radikal

Artikel Trending

EditorialVaksinasi COVID-19 di Tengah Arus Narasi Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah hampir setahun virus Corona mengancam rakyat Indonesia, pemerintah akhirnya melakukan vaksinasi COVID-19. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memberikan Emergency Use Authorization (EUA) atau izin pakai darurat untuk vaksin COVID-19 merek Sinovac. Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang disuntik vaksin, Rabu (13/1) kemarin, sekaligus menandakan dimulainya vaksinasi massal COVID-19.

CoronaVac, vaksin buatan Sinovac Biotech, sebenarnya bukan hanya digunakan di Indonesia. Lima negara lainnya, yaitu Cina, Brasil, Turki, Filipina, dan Ukraina menggunakan jenis Sinovac sebagai vaksinasi COVID-19 mereka dengan tingkat efikasi yang berbeda: Indonesia 65,3 persen, Turki 91,25 persen, sementara di Brasil 75 persen. Perbedaan tersebut dipengaruhi jumlah subjek yang diteliti dan profil subjek. Indonesia 1.600 subjek, Turki 7.000 subjek, sementara di Brasil 13.000 subjek.

“Kemudian di Brasil dan Turki profil subjek mereka fokus pada tenaga kesehatan. Ditambah di Brasil itu pandeminya sangat intensif sekali. Dan mungkin dikaitkan dengan kedisiplinan mereka memakai masker berbeda dengan di Indonesia,” terang Kepala BPOM Penny Lukito dalam siaran pers, Jumat (8/1) lalu, seperti dilansir dari Tirto.

Namun, tidak seperti di Arab Saudi yang disambut antusiasme masyarakat, vaksinasi COVID-19 di Indonesia justru disikapi sementara kalangan dengan sinis dan pesimisme. Ada yang memprovokasi bahwa vaksin tersebut mengandung babi dan virus yang dinonktifkan sementara. Ada juga yang memengaruhi orang lain agar tidak mau divaksin lantaran ragu akan kehalalannya. Bahkan, merekalah yang menuntut Jokowi divaksinasi pertama. Katanya, khawatir rezim ini punya niat jahat.

Narasi-narasi radikal lainnya juga bertebaran, yang kesemuanya menyangsikan efektivitas Sinovac dan niat baik pemerintah. Tidak heran, sertifikasi halal dari MUI pun dilakukan. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas kemudian mengajak seluruh umat beragama untuk tidak ragu disuntik vaksin COVID-19. Yaqut menjamin vaksin COVID-19 halal dan suci berdasarkan fatwa MUI. “Terutama untuk umat Islam,” ujarnya di Terminal Kargo Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Selasa (12/1) kemarin.

Bermain provokasi seputar kehalalan merupakan senjata kaum radikalis untuk mengadu domba masyarakat dengan pemerintah. Iktikad baik pemerintah justru ditanggapi sinis, dituduh sebagai siasat kepada umat Islam. Sementara pengamat pun mengatakan, perbedaan respons masyarakat di Indonesia dengan Arab Saudi disebabkan narasi radikal tersebut. Di negara Raja Salman, HTI atau pun FPI tidak ada, dan masyarakat fokus untuk kesembuhan mereka dari COVID-19.

BACA JUGA  Tutup Pintu Konten Radikal Melalui Sanksi Hukum

Lain halnya dengan Indonesia. Di negeri ini lebih mudah membangun tuduhan dan pesimisme daripada kepercayaan dan optimisme. Apalagi menyangkut keagamaan, seperti halal-haram tadi, bahkan untuk kemaslahatan seperti vaksinasi COVID-19 pun masih dipersoalkan. Lebih jauh jika vaksinasi tersebut merupakan inisiatif pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi. Kaum radikalis sudah siap dengan segala siasat buruknya: memfitnah, sebar hoaks, dan lainnya. Anehnya, masyarakat terpengaruh.

Selama menyangkut Presiden Jokowi, maka narasi buruk akan terus berdatangan dari pembencinya. Mereka yang ingin mengganti pemerintahannya, atau bahkan ingin mengganti sistem kenegaraan, tidak akan diam dengan segala upaya baik pemerintah kepada masyarakat. Untuk menyikapi sesuatu yang bisa kita sebut “residu demokrasi” ini tidak ada lain yang bisa kita lakukan selain mengabaikan narasi-narasi tersebut, dan pemerintah tetap melakukan tuga sebagaimana seharusnya.

Vaksinasi COVID-19 ditujukan untuk meminimalisir penyebaran. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Antipati kita terhadap vaksin tersebut bisa dianggap sebagai pengabaian akan terciptanya kemaslahatan di satu sisi, dan keterpengaruhan kita terhadap provokasi narasi kaum radikalis di sisi lainnya. Lagi pula tidak ada pemerintah yang ingin menjebak rakyat dengan penanaman virus lanjutan melalui vaksin atau kandungan babi. Itu tuduhan yang radikal dan kentara kepentingan politis.

Kaum radikalis tidak akan pernah puas. Setelah narasi radikal mereka tentang keharaman vaksinasi COVID-19 selesai dengan diawalinya vaksinasi dari Presiden Jokowi, mereka malah sebar informasi bahwa yang disuntikkan kepada Presiden itu bukan Sinovac. Mereka meminta Presiden disuntik vaksin kali pertama, dan setelah keinginan tersebut dikabulkan masih saja tuduhan yang buruk dilayangkan. Jadi, selama itu tentang Jokowi, sebaik apa pun, tetap buruk dalam narasi radikala.

Editorial kali ini hendak menegaskan bahwa vaksinasi COVID-19 harus tetap berjalan, dan masyarakat tidak perlu khawatir kehalalan dan manfaatnya. Semua pihak ingin pandemi segera berakhir, dan mencegah penularan melalui vaksin merupakan salah satu caranya. Kita biarkan narasi radikal bertebaran, kendati mengonternya adalah keharusan. Kita abaikan raungan para radikalis yang ingin masyarakat tidak lagi percaya pemerintah. Itu memang siasat mereka. Jika kita memburukkan vaksinasi COVID-19, itu artinya kita sudah terpengaruh agenda politik mereka. []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru