29.7 C
Jakarta

Urgensi Tafsir Maqashidi dalam Menafsir al-Quran

Artikel Trending

Asas-asas IslamTafsirUrgensi Tafsir Maqashidi dalam Menafsir al-Quran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam pidato guru besarnya, Prof. Dr. Abdul Mustaqim menyampaikan urgensi penafsiran al-Quran dengan menggunakan pendekatan maqashid. Secara ontologis tafsir maqashidi dapat dipetakan menjadi tiga yaitu tafsir maqashidi sebagai filsafat tafsir, tafsir maqashidi sebagai metodologi dan tafsir maqashidi sebagai produk tafsir. Ketiga hierarki ontologis yang saling berkelindan penting dikemukakan, sehingga body of knowledge dari tafsir maqashidi menjadi clear and distinct.

Prof. Mustaqim berargumen bahwa secara epistemologis, tafsir maqashidi yang menjadi salah satu alternasi dalam meneguhkan kembali moderasi Islam, ketika kita harus berdealektika antara teks yang statis dengan konteks yang semakin dinamis. Tafsir maqashidi adalah bentuk moderasi antara kelompok tekstualis dan kelompok skriptualis, hingga seolah menyembah teks dan kelompok liberalis-substansialis yang mendeskralisasi teks.

Sisi lain teori maqashid sebenarnya juga bisa dikembangkan bukan hanya menafsirkan ayat-ayat hukum, tetapi juga untuk menafsirkan ayat-ayat kisah, amtsal dan teologis. Asumsinya bahwa al-Quran yang terlalu tekstual di satu sisi dan liberal di sisi lain. Tafsir maqashidi dapat didudukkan sebagai falsafah tafsir dalam mendinamiskan penafsirkan al-Quran. Karena proses penafsiran mengabaikan dimensi maqashid tetapi kadang tak terkatakan oleh teks sama dengan memperlakukan teks al-Quran sebagai teks yang mati, tanpa ruh (spirit).

Tugas penafsir bukan hanya mampu menggali makna harfiyah teks, tetapi mempu menangkap maksud yang melampaui apa yang dikatakan teks. Maka dari itu, dengan menggali dimensi maqashid, penafsiran al-Quran akan menjadi lebih hidup, produktif dan dinamis, sehingga tidak terkungkung dalam bingkai tekstualisme.

Jargon al-Quran sebagai kitab yang shalih likulli zaman wa makan menuntut kreativitas penafsir untuk melakukan pembaharuan pemahaman agama dalam menghadapi tantangan perubahan melalui proses ijtihad kreatif. Masalahnya adalah bagaimana seorang mufasir dapat menjaga sikap moderasi dalam menafsirkan teks? antara yang terlalu kaku dalam memahami bingkai teks hingga nyaris menjadi penyembah teks dan yang liberal hingga keluar dari bingkai teks.

Tafsir maqashidi secara sederhana dapat diartikan sebagai model pendekatan penafsiran al-Qur’an yang memberikan penekanan terhadap dimensi maqashid al-Qur’an dan maqashid al-Syariah. Tafsir maqashidi, tidak hanya terpaku pada penjelasan makna literal teks yang eksplisit,  melainkan mencoba menelisik maksud dibalik teks yang implisit, yang tak terucapkan, apa sebenarnya maqashid (tujuan, signifikansi, ideal moral) dalam setiap perintah atau larangan Allah dalam al-Quran.

BACA JUGA  Tafsir Ayat Perang: Melihat Konteks Qs. al-Taubah [9]: 29 dalam Tafsir Buya Hamka

Eksistensi tafsir maqashidi ini cukup urgen (penting) sebagai basis moderasi Islam, di tengah-tengah kontestasi epistemologis  antara  pendekatan tafsir tekstualis-skriptualis-literalis  dan  pendekatan de-tekstualis liberalis. Dua paradigma tersebut, tampak sama-sama ekstrem dan saling berseberangan secara diametral.  Jika kelompok pertama  cenderung  memandang teks sebagai  pokok  dan konteks sebagai  cabang, sehingga terkesan mengabaikan konteks dan maqashid, maka kelompok kedua cenderung  lebih mengutamakan tuntutan konteks, sehingga dapat mengarah kepada pengabaian teks sama sekali, yang penting menuju sebuah kemaslahatan.

Dengan kata lain, kelompok pertama cenderung menyembah teks, dan menutup diri dari model pendekatan hermeneutis, sedangkan kelompok kedua cenderung  de-sakralisasi teks dan sangat longgar dengan pendekatan hermeneutik yang oleh sebagian ulama masih dianggap problematis, atau setidaknya masih diperdebatkan.

Pendekatan heremeneutika memang masih diperdebatkan oleh banyak ulama. Hal ini karena adanya anggapan bahwa heremeneutika bukan berasal dari tradisi Islam melainkan tradisi Barat yang muncul dalam konteks untuk mempersoalkan otentitas Bible. Hal ini tentu berbeda dengan tafsir maqashidi yang lahir dari tradisi Islam sendiri dan tidak mempersoalkan otentisitas al-Quran. Kemudian yang kedua, heremeneutik cenderung untuk memposisikan teks al-Quran secara ontologis sama dengan teks-teks lain. Ini menjadi salah satu alasan penolakan atas heremenutika sebagai pendekatan dalam menafsirkan al-Quran. Dalam hal ini, Prof. Mustaqim memposisikan dirinya sebagai penafsir moderat yang tidak menolak heremenutika malah menjadikan teori-teori hermeneutik yang paralel dengan teori maqashid sebagai pengembangan tafsir dan mengasah nalar kritis yang bisa dipertimbangkan. Namun, heremeneutik yang mempersoalkan otentisitas al-Quran, Prof. Mustaqim tidak mengikutinya.

Hemat kata, menurut Prof. Mustaqim teori hermeneutik yang dapat seperti model Jorge Gracia teori fungsi interpretasi dan pentingnya konteks dan masih sejalan dengan maqashid syariah bisa diakomodasi. Maka dari itu, menurut Prof. Mustaqim penggunaan maqashid dalam menafsirkan al-Quran haruslah lebih diutamakan. Inilah beberapa pesan yang saya dapat dari pidato guru besar Prof. Abdul Mustaqim, guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Siti Robikah, Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif III

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru