29.7 C
Jakarta

Ulama: Pewaris Nabi, Cinta Negeri dan Teladan Penjaga NKRI

Artikel Trending

KhazanahPerspektifUlama: Pewaris Nabi, Cinta Negeri dan Teladan Penjaga NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

2020 bisa dikatakan menjadi tahun yang berat bagi bangsa ini. Bahkan bagi negara mana pun di dunia. Selain karena wafatnya banyak ulama, ini karena pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Tak ada negara yang benar-benar siap menghadapinya. Bagi Indonesia, pandemi sejak awal 2020 dan masih belum mereda di awal 2021 ini adalah pelajaran berharga tentang kebersihan, kesehatan, dan refleksi tentang kepedulian dan solidaritas pada sesama.

Selain tertatih menangani kasus Covid-19 sekaligus berupaya menghidupkan ekonomi yang lesu, bangsa ini juga masih menghadapi problem sosial lain yang tak kalah menguras tenaga. Seperti masih berkembangnya politik identitas yang tak lepas dari sisa-sisa Pilpres 2019, sikap-sikap intoleran yang seakan terus ada sejak Pilkada DKI 2017, kasus terorisme, hingga fenomena, gerakan, aksi-asksi pemantik kegaduhan yang terus dihembuskan oleh sebagian kelompok agama.

Mereka masih saja membawa narasi-narasi provokatif yang mencoba membenturkan antara agama dan negara. Setiap isu aktual ditunggangi provokasi untuk menggiring opini publik berbekal sentimen rasial dan keagamaan. Hal tersebut bisa kita lihat dari masih menggaungnya narasi-narasi seperti “bela agama”, “bela ulama”, munculnya fenomena “azan jihad” dan sebagainya.

Tak jarang, narasi-narasi yang kental isu agama tersebut secara tidak proporsional dibenturkan dengan negara, nasionalisme, kebhinekaan, dan keindonesiaan. Sehingga membuat masyarakat Indonesia yang berkarakter religius dan memegang teguh ajaran agama, menjadi gampang terprovokasi dan terjerumus dalam kegaduhan-kegaduhan yang tidak produktif, bahkan mengancam keutuhan bangsa.

Awal tahun 2021 ini mesti kita jadikan momentum refleksi atas persoalan-persoalan yang terjadi tahun kemarin. Masih berkembangnya politik identitas, intoleransi, dan kelompok-kelompok pemantik kegaduhan yang membawa isu agama, adalah catatan-catatan atau pekerjaan rumah di tahun 2021 ini.

Peran Ulama

Di dalam menangani persoalan terkait isu agama, ulama memegang peran sentral sebagai teladan, panutan, dan guru. Ulama harus menunjukkan kebijaksanaan dan contoh tentang bagaimana menjalankan peran sebagai umat beragama sekaligus bernegara secara harmonis, tidak berbenturan, bahkan sinergis dan saling menunjang.

Ulama di Indonesia harus memahami nilai-nilai keindonesiaan, sehingga mampu menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang sesuai. Ulama di Indonesia mesti paham betul bahwa umat Islam di negeri ini hidup berdampingan dengan umat agama lain sebagai satu kesatuan bangsa, sehingga pesan-pesan dan teladan keagamaan haruslah toleran, ramah, dan bersahabat. Dengan kata lain, ulama di Indonesia bukanlah ulama yang gemar menebarkan provokasi dan kebencian kepada umat lain.

Ulama adalah pewaris Nabi. Segala tindak tanduk, sikap, dan perilakunya mengikuti Nabi. Ulama adalah panutan baik dari segi ketakwaan, akhlak, tindakan maupun tutur katanya. Maka menjadi kontradiktif jika ada ulama yang menunjukkan perilaku dan kata-kata yang tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan dari akhlak Nabi.

BACA JUGA  Bersinergi Merawat Keutuhan NKRI dan Menolak Radikalisme

Di samping panutan dalam hal akhlak, ulama adalah juga panutan dalam hal mencintai negara dan bangsanya. Sebab, hal itu pula yang ditunjukkan Nabi Muhammad Saw.  Nabi Muhammad Saw. begitu mencintai negerinya, yakni Makkah. Menurut Ahmad Muhammad al-Hufy dalam Rujukan Induk Akhlak Rasulullah, sebagaimana dikutip dari republika.co.id (1/8/2019), Nabi Muhammad sangat mencintai Makkah karena di sana tempat Masjid al-Haram.

Selain itu, Makkah adalah  tempat Nabi bermain sewaktu kecil dan dibesarkan. Di sana pula tempat risalah Islam menyebar pertama kali. Akan tetapi, karena tekanan dari kaum musyrik yang sudah melewati batas, akhirnya Nabi dan pengikutnya memutuskan berhijrah ke Madinah.

Ketika meninggalkan Makkah, jelas Ahmad Muhammad al-Hufy, Rasulullah SAW sempat memandangi kota itu dengan raut wajah rindu. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. mengungkapkan kecintaannya pada tanah airnya tersebut. Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu” (HR Ibnu Hibban).

Di Madinah Rasulullah SAW pun berharap bisa mencintai kota tersebut sebagaimana beliau mencintai Makkah. Seperti tergambar dalam doa beliau yang dicatat dalam Shahih Bukhari. “Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah.” (HR al-Bukhari 7/161).

Cinta Tanah Air yang tercermin dari sikap Nabi Muhammad Saw tersebut semestinya juga ada dalam diri setiap ulama. Sebab para ulama adalah pewaris Nabi. Bagi ulama di Indonesia, sudah semestinya mencintai Tanah Air Indonesia sebagai tanah kelahiran, tempat dibesarkan, dan tempat berdakwah.

Cinta berarti mengasihi, mewarat, dan menjaga. Cinta Tanah Air Indonesia berarti merawat dan menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka, ulama yang cinta Tanah Air otomatis akan merawat dan menjaganya. Artinya, ulama di Indonesia yang benar-benar meneladani Nabi adalah ulama-lama yang mencintai NKRI. Dan otomatis, ulama yang cinta NKRI akan terus merawat dan menjaga NKRI.

Ulama yang mencintai negeri dan menjaga NKRI akan menyampaikan dakwah yang menguatkan rasa persaudaraan dan persatuan. Bukan dakwah yang menebar kebencian, permusuhan, dan memecah belah. Wallahu a’lam

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru