26.1 C
Jakarta

Ulama, Hoaks, dan Depolitisasi Agama

Artikel Trending

Milenial IslamUlama, Hoaks, dan Depolitisasi Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Baru-baru ini, ulama ekstrem-radikal (Islamic puritanism) kembali menebar hoaks tentang huru-hara kebangkitan “Komunisme” dalam kebijakan pemerintah, dan RUU Haluan Ideologi Pancasila. Term tersebut selalu menjadi topik paling populer diorasikan dibanding kebangkitan “Khilafatisme”.

Siapa pun yang mencoba bermain-main wacana kebangkitan ideologi tersebut, mereka adalah rival politik yang gagal paham ingin menegakkan paham komunis, dan khilafah. Sehingga, hoaks terkait keduanya, sengaja ditujukan kepada pemerintah. Agar timbul suatu kebencian, dan perpecahan di kalangan umat beragama. Utamanya, umat Islam.

Dalam kelompok Islam puritan, ulama-ulama mereka hanya bertumpu pada ide bagaimana kita melawan paham komunis. Tetapi, mengapa mereka juga tidak memberikan spirit perlawanan pada paham khilafah. Padahal, keduanya adalah ancaman serius masa depan negara Pancasila.

Realitasnya, dilansir dari vidio yang berdurasi enam menit lebih tentang pernyataan sikap habaib-ulama, dan tokoh Madura terkait RUU HIP. Menyerukan, “masyarakat, ulama dan cendikiawan muslim, serta para aktivis yang setia pada Pancasila untuk mewaspadai, dan menolak gerakan komunis gaya baru yang memasuki ruang-ruang kekuasaan, dan memberikan jalan penguasaan oleh komunis melalui berbagai regulasi.” (02/06/2020)

Dengan ulama menempatkan kata “kekuasaan”, jelas-jelas sikapnya menunjukkan modus politis. Dan ajakan mereka mampu menguras kecintaan umat Islam terhadap mozaik kebhinekaan sebagai simbol perbedaan, narasi-narasi demikian berpotensi dapat merusak political trust masyarakat pada setiap kebijakan yang diputus oleh pemerintah.

Ironi hoaks dan politisasi agama yang diperani oleh ulama ekstrem-radikal, mereka lahir dari Front Pembela Islam (FPI), dan eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dua kelompok yang mengatasnamakan ormas Islam. Namun, mereka menyeret agama pada ranah persoalan politik.

Tampaknya, motif politisasi agama dan produk hoaks soal kebangkitan ideologi komunis. Adalah cermin buruk ulama berakhlak yang hawa nafsu, dan egonya tidak terkontrol. Sehingga, dikendalikan oleh emosi yang membuat akal sehat dan kebenaran itu tertutup, serta benci negara.

Hoaks dan Politisasi Agama

Semangat ulama dalam menebar hoaks paham komunis, dan politisasi agama. Tentu, mereka memiliki kelihaian politik untuk meraih misi politis. Entah itu, mereka meminta Presiden Joko Widodo mundur/dimakzulkan, fitnah kebangkitan ideologi komunis, dan dianggap anti Islam.

Di balik sikap tersebut, modusnya selalu terbongkar yaitu motivasi atau berkinginan menegakkan khilafah. Di sinilah, ulama ekstrem-radikal gegap gempita ketika modus operandinya terungkap. Bahwa, ada upaya hoaks besar-besaran yang itu adalah skenario politik untuk merebut kekuasaan.

Islam memang hadir untuk mengatur persoalan kehidupan yang terkait dengan sosial, budaya, politik, ekonomi, dan hukum. Akan tetapi, praktik ulama seperti demikian mencoreng identitas Islam karena perilakunya sebagai manusia teladan tidak mengamalkan etika sosial dalam bernegara.

Memang tidak ada satu pun negara dan kekuasaan yang berjalan sempurna, dan tidak luput dari kesalahan. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw sebagai manusia yang kita anggap paling sempurna di muka bumi ini cukup sering menghadapi masalah, adu domba, kebencian, hoaks, dan bahkan pemberontakan.

Misalnya, hoaks terkait isu komunis begiitu masif ditebarkan di media sosial hingga diskusi cukup sering muncul dari berbagai kalangan bicara pemakzulan Presiden. Ironisnya, ada yang meminta mundur. Indikator ini bukan hanya aspirasi dan ekspresi daripada sistem demokrasi itu sendiri.

BACA JUGA  Potret Komunikasi Radikal di Indonesia

Kebijaksanaan Ulama

Mengutip pandangan kiai Ma’ruf Amin (2018) dalam majalah Mimbar Ulama, ia mengatakan. “MUI yang merupakan tenda besar umat Islam di Indonesia harus benarbenar bisa merangkul semua komponen umat Islam di Indonesia, di manapun mereka berkhidmah dan beraktifitas. Hal itu karena kata “umat” tidaklah merujuk hanya pada kelompok tertentu saja dan menegasikan yang lain. MUI akan merangkul dan membimbing semua umat Islam di Indonesia, tanpa memandang asal usul dan tempat perkhidmatannya.”

Artinya, ulama yang kini mengebu-ngebu menuduh ada paham komunis dalam kebijakan pemerintah merupakan tindakan tercela. Sebagai ulama, ia adalah teladan umat Islam untuk membangun optimisme di tengah krisisnya toleransi. Paling penting, ulama harus mempersatukan komitmen persaudaraan dan kebersamaan dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.

Dianggap ulama karena memiliki cukup ilmu dan berakhlak, serta mengajak seluruh masyarakat dari berbagai golongan untuk semangat meneguhkan atas kebhinekaan. Rekam jejak ulama yang demikian sangat dibutuhkan disebabkan kebijaksanaannya dalam mentoleransi, dan profesional memandang mana agama dan mana politik.

Pandangan kiai Ma’ruf Amin pun pernah dijalani Nabi Muhammad Saw ketika itu, hidup di kota Madinah. Di mana perumusan piagam Madinah menjadi sumber referensi bagi ulama supaya dapat merangkul semua golongan, dan memberikan pencerahan sebagai solusi kesadaran jamaah.

Ulama ibarat sinar matahari yang memancarkan cahaya dalam wahana kehidupan dunia. Sehingga, ulama dipandang sebagai orang berilmu, dan berakhlak mulia. Untuk mencapai kemuliaan tersebut harus menjauh dari fitnah atau hoaks, dan sikap kebencian pada pemerintah. Sebab itu, merupakan manusia yang memiliki keimanan dan ketakwaan pada ajaran-ajaran Allah.

Depolitisasi

Sebelum menghadapi Pilkada 2021, ulama ekstrem-radikal dari kalangan FPI, dan eks-HTI. Hukumnya wajib mengurangi menebar emosi, dan narasi kebencian pada masyarakat tentang kondisi pemerintahan. Terutama soal isu hoaks komunis, kalau pun kita ingin melawan komunis. Ulama jangan lupa untuk melawan khilafah yang juga bagian dari ideologi terlarang.

Jalan satu-satunya, ulama memiliki tanggung jawab untuk berperan menghentikan isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Sebab itu, ketika agama dan negara (politik) selalu dibenturkan yang terjadi hanyalah permusuhan. Lalu, Indonesia menjadi negara yang terpecah belah.

Peran ulama kali ini, bagaimana hoaks, dan politisasi agama itu akan berakhir. Paling tidak, melalui ceramah-ceramah keagamaan yang toleran, dan ramah dapat memberikan empati pada lapisan masyarakat. Oleh karena itu, dapat mendepolitisasi agama yang juga ditunggangi oleh ulama pula.

Dukungan ulama sangat penting untuk membangun Indonesia kedepannya. Terutama dari kebebasan hoaks, dan ideologi transnasional (khilafatisme, radikalisme, ekstremisme, terorisme). Alhasil, negeri kita menjadi negara yang berani menyampaikan kebenaran. Yang hal itu menuju puncak perdamaian. Inilah Islam yang mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.

Pesan optimis tersebut, sudah seharusnya mendorong kesadaran ulama FPI, dan eks-HTI. Sikapnya yang welas asih, dan ramah. Tentu, dinanti-nanti oleh umat Islam. Bagaimana agar sikap mereka menghasilkan energi positif dan peradaban kemanusiaan yang dapat berdampak pada kemajuan Islam dan negara. Tanpa kemudian harus berkonflik lagi.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru