26.1 C
Jakarta

Tumbuhkan Sikap Religius Anak untuk Berantas Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifTumbuhkan Sikap Religius Anak untuk Berantas Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Memberantas radikalisme yang sangat berpotensi melahirkan terorisme menjadi tugas dan tanggung jawab kita seumur hidup. Baik pemerintah maupun masyarakat, mesti bergotong royong untuk memberantas akar-akar terorisme, demi mewujudkan masyarakat yang penuh sikap religius dan harmonis. Sehingga, kita mampu tumbuh-kembang menjadi bangsa yang besar dan menjadi percontohan dunia dalam mewujudkan kehidupan yang damai, sekalipun terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, golongan dan kelompok.

Tentu masih segar dalam ingatan kita, kasus bom di Surabaya pada Mei 2018 lalu yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku teror. Ini menjadi keprihatinan kita bersama, mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa dan aset potensial yang mesti kita lindungi dan kita dukung agar menjadi pemimpin bangsa. Dalam kasus tersebut, anak pelaku teror tak lain merupakan korban ambisi manusia-manusia ‘dewasa’ yang ingin menciptakan ketakutan di masyarakat dengan teror bom.

Menurut Asisten Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Sitgmatisasi (Asdep PABHS) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Hasan, melansir dari Kompas, paham radikalisme dan terorisme biasanya tersebarkan oleh orang terdekat bahkan keluarga.

Dia mengatakan, terdapat orang tua yang mengajarkan radikalisme kepada anaknya dan mengajak anak melakukan tindak pidana terorisme. Kendati, akar dari terorisme bukan semata ideologi, melainkan kemiskinan, tetapi penting kiranya tidak mengesampingkan perlunya pendidikan yang tepat untuk anak, agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang cinta kemanusiaan.

Apalagi, kini, lembaga pendidikan anak telah menjadi sasaran lahan persemaian paham-paham radikal yang menempatkan pemerintah sebagai entitas yang selalu salah karena tidak mengikuti “Hukum Langit”. Melansir Tempo, menurut beberapa pengamat dan orang yang menangani masalah penanggulangan terorisme, terdapat beberapa poin utama penanganan radikalisme.

Pertama, perkembangan indoktrinasi radikalisme kini telah menyasar anak usia lebih dini. Kedua, temuan pakar terorisme menyebutkan, kaderisasi bahkan telah terjadi di tempat pengasuhan bayi dan anak (daycare). Karena itu, ketiga, pendekatan untuk menangkal radikalisme harus kita ubah.

Pantau Pendidikan Anak

Suatu malam, seorang ayah di Yogyakarta kaget dan heran kepada anaknya yang tiba-tiba menangis ketakutan. Setelah ditanya apa masalahnya, si anak menjawab, “Pah, ketika nanti Palestina Israel serang, kita mati enggak?” Tentu saja, si ayah merasa kaget dan bertanya-tanya mengenai asal mula pertanyaan si kecil itu muncul.

Si kecilpun mulai bercerita bahwa dirinya mendapatkan cerita konflik Palestina-Israel dari gurunya di sekolah dasar. Di antara kebiasaan sekolah tersebut adalah tidak libur pada saat hari-hari libur nasional perayaan hari besar agama lain dan tidak ada rutinitas upacara bendera serta pelantunan lagu Indonesia Raya. Dalam situs resmi sekolah dasar tersebut, pihak sekolah mengaku telah memiliki 80 cabang di belasan provinsi di Indonesia.

BACA JUGA  Zakat: Jembatan Solidaritas Umat Anti-Radikalisme

Tentu saja, sekelumit fakta ini tidak bisa kita anggap sepele -terlebih ‘lahan indoktrinasi’ sudah tersebar di berbagai provinsi. Benar bahwa pendidikan menjadi lingkungan paling basah untuk menanamkan benih-benih ideologi atau ajaran tertentu. Terlebih untuk pendidikan anak usia dini dan dasar, penanaman nilai-nilai tertentu akan membekas dalam benak anak, yang jika tersalahgunakan untuk radikalisme-terorisme, akan sangat berbahaya.

Barangkali sudah tidak asing lagi, berita dari media yang mewartakan anak-anak mendadak mengkafirkan orang tuanya hanya karena praktik beragamanya tidak sejalan dengan pelajaran agama di sekolah. Ini merupakan salah satu wajah kelam indoktrinasi radikalisme pada anak di Indonesia.

Didik Sikap Religius

YB Mangunwijaya atau lebih dikenal dengan Romo Mangun telah lama menawarkan solusi “Menumbuhkan Sikap Religius pada Anak-anak”, termasuk di lembaga pendidikan. Terutama di lembaga pendidikan, tawaran ini muncul dari kebingungan kalangan sekolah Katolik mengenai kemungkinan sekolah wajib mengajarkan agama lain jika di sekolah tersebut terdapat minimal 10 siswa yang beragama lain. Alih-alih mengajarkan pelajaran agama, Romo Mangun menawarkan bahwa yang terpenting bukan pelajaran agamanya, melainkan religiusitasnya, nilai-nilainya.

Agama identik dengan aturan-aturan baku, komunitas dan organisasi kelompok berkeyakinan, yang bersifat eksklusif. Sementara, sikap religius lebih dalam dan mendasar daripada agama, karena menyangkut iman, takwa, harapan dan cinta kasih, yang sifatnya lebih inklusif.

Yang mengajarkan anak untuk menjadi pribadi inklusif, mampu merangkul semua golongan, bukanlah agamanya semata, melainkan lebih kepada religiusitasnya. Secara psikologis pun, kapasitas akal-pikir anak lebih ‘alamiah’ menerima ajaran-ajaran mendasar seperti mencintai sesama, menolong orang yang sedang kesusahan, dan berteman dengan yang lainnya -ketimbang menghafal syariat agama.

Penulis menangkap, tawaran Romo Mangun untuk lebih mengedepankan pendidikan yang melahirkan sikap religius adalah semata-mata untuk memandu anak agar tumbuh-kembang menjadi manusia yang manusiawi. Manusia yang selalu memiliki pertimbangan moral dalam situasi apapun, sehingga tidak mungkin religiusitas yang telah terserap ke dalam diri anak memunculkan sikap-sikap keras yang merugikan lingkungan dan masyarakat.

Mustahil, anak-anak dengan didikan sikap religius muncul sebagai aktor teror bom atau apapun itu, yang meresahkan dan merugikan masyarakat.

Imron Mustofa
Imron Mustofa
Penulis. Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru