31.8 C
Jakarta

Trilogi Cinta (Bagian XLIV)

Artikel Trending

KhazanahOpiniTrilogi Cinta (Bagian XLIV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Malam itu di Sahabat Kopi.

Diva sudah datang lebih awal, sedang Shaila dan temannya belum tampak batang hidungnya. Pandangan diedarkan. Kelihatannya belum ada tanda mereka datang. Biasanya Shaila jalan kaki, apalagi tempat kosnya tak jauh dari kafe itu.

Sambil nunggu Shaila, Diva duduk seorang diri. Daftar menu masih tergeletak di atas meja.

“Satu air putih, Mas.” Ucap Diva pada pelayan kafe yang berseliweran dari tadi mengantarkan pesanan pengunjung.

Sahabat Kopi tak kalah ramai dengan kafe di pesantren. Diva membatin sembari terbayang nama Nadia, sosok yang pernah menjadi ibu kedua di pesantren dulu. Sudah lama tidak saling komunikasi setelah Diva lama hidup di tanah rantau. Pengin bertemu dan memeluknya erat.

Tak lama seorang pelayan menyodorkan satu botol air putih. Setelah berucap terima kasih, pelayan ini meninggalkan meja Diva berpindah ke meja pengunjung yang lain.

Tutup botol air diputar dan diteguklah air putih itu. Malam itu rasanya menyenangkan. Tidak merasakan kegelisahan yang beberapa hari kemarin menyeka pikirannya. Sejatinya, hidup dihadapi dengan santai agar tidak terasa berat.

Diva menulis tentang Hermeneutika untuk dikirim ke media, sembari menunggu Shaila.

Hermeneutika berasal dari Bahasa Yunani, Hermenium yang berarti penjelasan, penafsiran, dan penerjemahan. Ada yang berkata penyebutan Hermeneutika berasal dari kata Hermes yang dalam mitologi Yunani dikenal sebagai sosok yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa dan bertugas pula menjelaskan maksudnya kepada manusia.

Shaila belum datang. Screen ponsel dilihatnya. Masih jam delapan malam. Diva kembali melanjutkan tulisannya.

Mengenal lebih jauh tentang siapa itu Hermes secara tidak langsung mengajak para pakar berselisih pendapat. Bila sebelumnya disebut sebagai penyampai wahyu dan penjelas maksudnya kepada manusia tentu dia termasuk utusan (seorang rasul) sekaligus penafsir. Muhammad Thahir Ibnu Asyur berpendapat Hermes adalah Nabi Idris.

Tidak penting terkesan berlarut-larut dalam perdebatan tentang status Hermes. Sebab, hal yang terpenting adalah status Hermeneutika itu sendiri apa pantas dijadikan Ilmu Tafsir atau tidak? Bila mengingat status yang menjelaskan dan menafsirkan maksud wahyu tentu kehadiran Hermeneutika tidak jauh berbeda dengan Ilmu Tafsir yang dipakai oleh peminat studi Al-Qur’an pada umumnya.

“Sorry, Mbak.” Suara itu menyeka konsentrasi Diva menulis. Dua mata saling berpandangan. Diva dan orang yang tidak dikenal.

“Sendirian?” Pertanyaan itu terdengar aneh.

Diva menggeleng sembari berkata, “Nunggu temen belum datang.”

“Sorry, kirain sendiri, soalnya aku bareng temen cari meja kosong.”

Lelaki yang berambung ikal dan berbadan tinggi sepertinya kebingungan cari tempat duduk bareng perempuan yang sedang digandengnya. Sayang, Diva tidak mengizinkan duduk di meja yang sama. Karena, meja itu hanya memuat tiga orang: Diva, Shahila dan temannya.

Tak lama orang itu seketika meninggalkan meja yang dari tadi Diva menulis. Tulisan tentang Hermeneutika belum selesai. Dan, dilanjutkan.

Saya lebih senang Hermeneutika disejajarkan dengan Ilmu Tafsir. Sebab, dilihat kerjanya Hermeneutika menjelaskan maksud teks yang sedang diteliti. Persoalan Hermeneutika terkesan lebih terbuka dibandingkan Ilmu Tafsir itu termasuk perbedaan yang amat tipis. Karena itu, penerapan teori Hermeneutika dalam penafsiran teks Al-Qur’an adalah sesuatu yang sangat baik dan mendukung untuk memahami maksud Al-Qur’an yang beragam.

Sampai detik ini belum kelihatan batang hidung Shaila. Sesaat sebuah mobil warna putih masuk tempat parkir. Diva memelototi mobil itu. Sepertinya tak asing mobil itu! batinnya.

BACA JUGA  Metode Ilmiah Ibnu Al-Haytsam untuk Menangkal Hoaks, Bisakah?

“Shaila!” Diva kaget melihat Shaila bareng dengan Pak Fachri, dosen muda nan cakep.

Segudang tanya bercokol dalam benaknya. Kok bisa bareng Fachri? Shaila dan Fachri pacaran?

“Hai, pasti lama nungguin ya.” Shaila menyapa lebih dulu saat sudah tahu Diva sedang berada di meja kafe dari tadi.

Diva terdiam.

“Sorry, tadi jalan macet. Biasa Jakarta.” Di Jakarta, terlebih di Ciputat, macet seakan menjadi rutinitas setiap hari.

Diva, Shaila, dan Fachri memang sudah saling kenal.

“Silahkan duduk, Pak.” Diva berkata dengan nada sungkan kepada Fachri.

Fachri duduk tak jauh dari tempat duduk Shaila, sekalipun satu meja. Shaila menjelaskan, “Pak Fachri ini yang ngajakin aku ketemu di kafe ini.”

“Terima kasih, Pak.”

Fachri membatin. Diva dan Shaila bagai pinang dibelah dua. Mereka sama-sama berparas cantik, sekalipun mereka punya karakter yang berbeda dan terlahir dari rahim ibu yang berbeda juga.

Tak terucap sepatah kata pun seakan sunyi, sekalipun keramaian pengunjung memenuhi lingkungan kafe ditambah keramaian transportasi yang wara-wiri sedari tadi.

“Order yuk.” Fachri meminta Shaila mencatat menu yang akan dipesen.

“Kopi hitam tambah Sosis Spesial.” Sebut Fachri.

“Diva?”

“Shaila duluan.”

“Aku pesannn,” desis Shaila lirih sambil buka daftar menu, “Juz mangga pasti segar.”

“Masa satu aja?” Ledek Fachri.

“Sudah kenyang, Pak.” Panggilan “Pak” seakan kurang enak terdengar di telinga Fachri. Tapi, bagi Diva, sebutan itu menandakan Shaila belum punya hubungan spesial dengan Fachri.

Hati seakan sedikit tergores rasa cemburu. Tapi, harapan masih terbentang luas, sehingga gores luka dapat terobati.

“Div? Pesen apa?”

“Samain dengan pesenanmu.”

Tak lama seorang pelayan kafe datang dan menerima catatan order.

Malam ini rasanya luka lama sudah sembuh tak terasa kembali. Hanya sekejab itukah sembuh itu aku rasa? Kenapa luka lama berganti menjadi luka baru saat takdir mempertemukan aku dan dia. Dia Fachri yang hadir begitu saja dan sulit aku menafsirkan.

Suasana suka seakan aku paksakan dengan senyum di depan sahabatku sendiri, Shaila, dan di depan guruku sendiri, Fachri. Begitulah realitas kehidupan. Senyum itu belum tentu jadi isyarat kebahagiaan seseorang. Andai saja mereka tahu tentang hati ini, tentu luka itu tidak akan terasa. Shaila, kamu tetap sahabat terbaikku, sekalipun takdir menyatukan kamu dan dia.

Tak terasa malam sudah berganti pagi. Jarum jam sedang menunjuk angka satu. Ngobrol dengan Fachri yang terkenal alim seakan meneguk pengetahuan di tengah samudera yang luas. Tidak ada habis-habisnya. Fachri selalu menjadi sahabat bagi siapapun, termasuk mahasiswanya sendiri, bahkan sikapnya yang paling disenangi mahasiswa adalah tidak killer. Kepribadian Fachri yang ekstrovert terkesan nyambung banget ngobrol dengan Diva, tapi Shaila tetap mengimbangi percakapan mereka.

Sebelum meninggalkan kafe, Fachri bilang, “Ini sudah pagi. Yuk, aku antar ke kosmu.”

Sembari menyusuri pagar parkir mobil, Fachri membatin: Shaila.

Shaila menjawab dalam hati: Cukup mengagumimu, Fachri. Biarlah sahabatku Diva yang ada bersamamu.

Diva merasakan percakapan yang sama dengan hati pula: Tapi, aku tidak mau membuatmu terjatuh dalam luka yang sama, Shaila, kerena caraku mengagumi dia yang salah.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru