31.4 C
Jakarta

Titik Nadir NKRI dalam SKB Radikalisme ASN

Artikel Trending

EditorialTitik Nadir NKRI dalam SKB Radikalisme ASN
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada Selasa (12/11) lalu, sebelas menteri meneken penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait radikalisme Aparatur Sipil Negara (ASN), di Hotel Grand Sahid, Jakarta Selatan. Sebelas menteri dimaksud ialah Menpan-RB Tjahjo Kumolo, Mendagri Tito Karnavian, Menkumham Yasonna H Laoly, Menag Fachrul Razi, Mendikbud Nadiem Makarim, Menkominfo Johnny G Plate, Kepala BIN Budi Gunawan, Kepala BNPT Suhardi Alius, Kepala BKN Bima Haria Wibisana, Kepala BPIP Hariyono, serta Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto.

Enam putusan yang dihasilkan berkisar dalam pembangunan sinergitas pemberantasan radikalisme, pembentukan satuan petugas (Satgas), kriteria pelanggaran, serta sanksi-sanksi. Setiap ASN yang disinyalir terjangkit radikalisme akan ditindak Satgas. Sebagai langkah kooperatif, Satgas sudah menyiapkan website khusus pengaduan terkait radikalisme ASN, yaitu situs aduanasn.id. Ujaran kebencian terhadap Negara, SARA, atau sekadar share/repost/retweet, bisa dilaporkan melalui situs aduan tersebut.

Pro-kontra komentar pun berdatangan. Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, SKB tersebut adalah wujud kemuduran (set back). Ia memastikan, SKB akan ditolak oleh kebanyakan anggota DPR, meski pembahasan terkait di Komisi II akan tetap dilakukan. Senada dengan Puan, aktivis HAM dan pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar menuturkan, SKB tersebut laiknya legalisasi ASN kritis sebagai sikap radikal. Ia beranggapan, selain dikekang, ASN tengah di-labelling. “Ini seperti zaman 1965,” ujarnya.

Penting dicatat, ada, setidaknya, sebelas poin tentang kriteria pengaduan ASN yang dianggap mengekang tersebut, yaitu: 1) Ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah secara lisan/tertulis, 2) Ujaran kebencian SARA secara lisan/tertulis, 3) Menyebarluaskannya (upload/share/retweet/repost) melalui media sosial, 4) Menciptakan berita palsu (hoax), 5) Menyebarluaskan hoax seperti poin keempat.

6) Mengadakan kegiatan yang menghina Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah, 7) Mengikuti kegiatan poin keenam, 8) Memberikan likes/retweet/comment terkait poin keenam, 9) Menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah, 10) Pelecehan langsung/media sosial terhadap simbol-simbol, dan 11) ASN melakukan poin 1-10 secara sadar.

Benah Benih Radikalisme Akut

Benah adalah sebuah upaya memberantas, sedangkan benih adalah regenerasi paham radikal, atau awal dari radikalisme. Setiap langkah deradikalisasi selalu terjalin berkelindan dalam keduanya, sehingga kegagalan pembenahan paham radikal bernuansa seakan menjadi kegiatan tambal-sulam belaka. Penting diutarakan, segala taktis agresif pemerintah dalam penanganan radikalisme adalah respon terhadap keakutan tersebut. Banyak bukti yang bisa diajukan.

Eskalasi paham radikal, serta bagaimana kita menakar keakutannya, tidak diukur hanya dari seberapa banyak jumlah bom bunuh diri terjadi. Tidak. Jika demikian, betapa sempit tolok ukur yang dipakai, sedangkan jumlah tragedi bom bunuh diri hanya hitungan jari. Yang dapat digunakan untuk mengetahui eskalasi tersebut terutama ialah semakin tingginya pertentangan terhadap moderasi Islam. Tak sedikit orang beranggapan, umpamanya, bahwa mereka yang moderat adalah orang-orang liberal.

Jadi, ada pandangan stigmatik terhadap ideal Islam. Konsekuensinya ialah ketidakterpengaruhan mereka dengan proyek moderasi Muhammadiyah dan NU, misalnya, dan cenderung memilih organisasi yang tidak berhaluan moderat. Itulah alasan mendasar, kenapa mereka yang terpapar radikalisme lebih memilih hal baru dan berbeda yang seolah-olah mengajarkan kemurnian Islam. Dalam taraf ini, ideologi salafi-wahabi menemukan panggungnya. Itu yang terpenting.

Selain itu, eskalasi radikalisme hingga jadi akut seperti sekarang dapat kita lihat pula melalui menurunnya humanisme, kemanusiaan. Bom bunuh diri include di dalamnya. Dua pintu masuk radikalisme ini; stigmatisasi moderasi Islam atau Islam yang ideal, dan kedok purifikasi ajaran Islam, menjadi tolok ukur seberapa akutnya paham radikal menggerogoti bangsa ini. Juga, sekaligus menjadi indikator seberapa besar deradikalisasi akan berhasil.

Kalau soal apakah ancaman terhadap NKRI teramat besar atau tidak, jawabannya adalah relatif. Dilihat dari persentase, penganut paham radikal masih kategori sedikit. Tetapi, dilihat dari taktis radikalisasinya, tentu ini tidak biasa dibiarkan. Kita pun patut khawatir, bahwa NKRI tengah berada di titik nadir. Itulah sebabnya, merespon SKB radikalisme yang diteken sebelas menteri membutuhkan telaah mendalam. Mengekang atau tidak, di tengah radikalisme akut, kebijakan tersebut tak bisa dikritik begitu saja.

BACA JUGA  Fitnah Keji Aktivis Khilafah Terhadap Toleransi di Indonesia

Menakar Efektivitas SKB

Tetapi benarkah SKB radikalisme ASN akan mengurangi radikalisme itu sendiri? Jawaban instannya adalah: ‘iya, di kalangan ASN. Tetapi untuk radikalisme secara umum, SKB itu tak berguna banyak’. Mungkin sementara kalangan tak sependapat dengan jawaban tersebut. Tetapi siapa yang bisa mendeskripsikan dengan jelas, dibanding kalangan biasa, milenial misalnya, seberapa signifikankah jumlah ASN? Butuh statistik yang riil. Sebab, persentase itu penting ketika mengukur efektivitas.

Bahwa SKB untuk ASN adalah wujud nyata perang total pemerintah mengkonter radikalisme, adalah sesuatu yang tak dapat disangkal. Tetapi bahwa kebijakan tersebut cenderung reduktif, karena faktanya ASN bukan satu-satunya elemen yang bertendensi terjangkit paham radikal, juga benar adanya. Oleh sebab itu, yang mesti dipertanyakan hanya satu: kelak setelah ASN benar-benar steril, apakah generasi milenial juga sembuh dari keterjangkitannya?

Di situlah orientasi radikalisme terpetakan. ASN hanya tubuh, tetapi ideologi radikal bisa bertransformasi ke tubuh-tubuh yang lain. Bukankah patut untuk diperhitungkan, terkait kemungkinan afiliasi ke tubuh lain tersebut. Di situ pula takaran eketivitas SKB mengemuka. Bahwa ternyata, mengawasi ASN adalah pengawasan pada tubuh belaka. Sedang sebagai ideologi, bukan mustahil radikalisme akan terus menjalar di luar kontrol Satgas yang dibentuk pemerintah.

Yang bisa dipandang positif ialah, bahwa bagaimanapun, SKB merupakan langkah menetralisir radikalisme. Setidaknya di satu elemen, yakni ASN. Bagaimana ASN memiliki porsi besar akan paham radikal dengan sendirinya akan terminimalisir. Betapa pun demikian, pengebirian hak asasi ASN di media sosial juga akan lahirkan ketakutan di mata masyarakat, di luar ASN itu sendiri. Sedikit banyak deradikalisasi akan berhasil, meski signifikansi keberhasilan tersebut belum dapat diketahui.

Sementara deradikalisasi melalui SKB berhasil, tidak sedikit ASN akan kecewa, lantaran privasinya merasa dieksploitasi pemerintah. Di sini juga kita patut cemas, bukankah salah satu faktor tindakan ekstrem semisal teror bom bunuh diri adalah kekecewaan itu?. Jadi intinya, SKB tersebut tetap mengandung sisi positif-negatif. Sejauh ia efektif melakukan deradikalisasi, sejauh itu pula kekecewaan banyak kalangan menemukan momentumnya.

Dari SKB ke Self-Deradicalization

Ada yang luput dari perhatian pemerintah, bahkan di tengah gencar-gencarnya upaya mereka memberantas radikalisme, yakni potensi deradikalisasi diri (self-deradicalization). Ini bisa jadi peluang deradikalisasi paling efektif, dengan bertolak pada kesadaran kolektif mereka yang pernah terjerumus radikalisme. Bagaimanapun, pengalaman konkret akan melahirkan kemantapan bertindak tanpa didekte siapapun, termasuk pemerintah. Ini tentu saja lebih manjur daripada kebijakan yang dipaksakan.

Pintu masuk deradikalisasi lumrahnya ada dua; membendung radikalisme—yang kebijakan pemerintah inheren di dalamnya—dan mengintrodusir moderasi Islam secara komprehensif. SKB radikalisme ASN tergolong langkah pertama, sedangkah langkah kedua belum tersentuh, atau tersentuh tapi di dasar-dasar saja. Saking tak terjamahnya, penentangan atas sikap moderat terdengar lebih lantang daripada moderasi itu sendiri. Buktinya, orang lebih suka-mengenal term “hijrah” daripada term “tasamuh”.

Karenanya, yang mesti diprioritaskan adalah pengajaran moderasi Islam, jauh sebelum kebijakan ofensif-represif diambil. Sebagai konsep universal-ideal keberagamaan, moderasi akan menjadi wadah yang menetralisir paham radikal, tanpa yang bersangkutan merasa dicekal haknya. Mengintrodusir moderasi Islam harus melalui laku nyata, bagaimana kita memaknai toleransi, menyikapi keragaman, dan pengajaran tentang betapa buruknya perbuatan teror-radikal.

Dari SKB ke self-deradicalization adalah bentuk progresivitas di satu  sisi, dan optimalisasi deradikalisasi di sisi lainnya. SKB dijadikan rambu-rambu untuk tidak berbuat radikal, sedangkan moderasi Islam diproyeksikan sebagi titik balik eskalasi radikalisme. Melalui kesinambungan tersebut, self-deradicalization akan menjadi sesuatu yang sangat potensial. Potensi tersebut memang tak bisa diukur dengan kacamata praduga semata, tetapi efektivitasnya terhadap deradikalisasi tidak terbantahkan.

Pemerintah tak lagi harus buat kebijakan represif, dan kendati bukan perkara instan, deradikalisasi akan mengalami keberhasilan signifikan. Sudah saatnya radikalisme terbasmi dengan sendirinya, tanpa ada yang merasa dikebiri haknya atau diintimiasi privasinya. Untuk mewujudkan semua ini, kerja sama seluruh pihak; rakyat dan pemerintah, harus terkonsolidasi secara maksimal. Self-deradicalization ini, sekali lagi, bukan perkara mudah. Harus kompak dan serentak, sebab radikalisme adalah musuh bersama.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru