31.2 C
Jakarta

Tipu Daya Pengasong Negara Islam

Artikel Trending

Milenial IslamTipu Daya Pengasong Negara Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejak pra-kemerdekaan sampai sekarang, debat tentang wacana negara Islam Indonesia (NII) tak kunjung final di kalangan  intelektual, aktivis, hingga ulama. Pada konteks lain, isu implementasi khilafah pun terus-menerus digulirkan oleh pelbagai kelompok yang beraliran radikal, ekspansi gerakannya kembali menyalakan api revolusi dengan semangat emosionalisme.

Beragam kelompok radikal berkeinginan ide negara Islam Indonesia kembali tegak di bawah sistem khilafah, di mana sistem ini berlaku kurang lebih 14 abad, sehingga khilafah di negara Islam telah berakhir sejak diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Ataturk di tahun 1924. Adapun di Indonesia, ide Kartosuwiryo dalam deklarasi NII pada 7 Agustus 1949 tampak melahirkan banyak macam kelompok atau pentolan Islam radikal.

Setara Institute dalam penelitian (dari Radikalisme menuju Terorisme: 2012) memetakan kelompok yang hendak mendirikan darul Islam di Jawa Tengah di daerah Yogkarta. Pertama, kelompok Islam radikal transnasional (Salafi, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin). Kedua, kelompok Islam radikal lokal (Forum Komunikasi Aktivis Masjid Surakarta, Front Pemuda Islam Surakarta, Front Umat Islam Klaten, FJI Yogyakarta, Laskar Bismillah, Laskar Hizbullah, Laskar Hisbah, FPP Surakarta, Laskar Umat Islam Surakarta). Ketiga, kelompok Islam jihadis (Jamaah Islamiyah, JAT, MMI).

Misi mereka sama-sama ingin menegakkan syariat Islam, pola dan kultur kelompok ini tampak berbeda, sedangkan penekanan Salafi di ranah tasfiyah wa tarbiyah yaitu pemurnian akidah, ibadah, dan dakwah. Di sisi lain, Hizbut Tahrir adalah kelompok yang berdakwah melalui institusi atau partai politik menebar kesadaran umat Islam tentang ihwal urgensi khilafah Islamiyah.

Pada hakikatnya, kultur kelompok Islam radikal baik di tingkat transnasional maupun lokal tak ada satu indikator pun yang memakai prinsip toleransi, dan demokrasi. Dalam pikiran mereka, imannya selalu paling sahih dibanding umat Islam lain yang masih tunduk pada hukum negara. Sahih bagi mereka apabila amanah mengamalkan prinsip ekstrem (neo-khawarij), yaitu laa hukma illa lillah. “Tak ada hukum kecuali untuk Allah.”

Menabok Pengasong Negara Islam

Konteks folosofis-Nya, kelompok Islam radikal memahami substansi agama secara tekstual/skriptual, ekslusif, limitatif, dan restriktif. Seolah-olah setiap kekuasaan politik yang melahirkan beragama regulasi hanya milik Allah, dan ketika ada yang bertentang mereka tuduh kafir, murtad, dan ada yang berujung pada ekstremisme kekerasan (terrrorism) seperti yang dialami Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu.

Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur melaporkan dalam buku (Ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia: 2009), bahwa radikalisme Islam bukanlah rahasia umum di kalangan para ahli bahwa melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang bertindak sebagai wakilnya di Indonesia, Rabithah al-‘Alam al-Islami menyediakan dana yang luar biasa besar untuk kelompok-kelompok radikal di Indonesia. berbagai aktivitas dakwah kampus atau lazim disebut Lembaga Dakwah Kampus (LDK), yang menggagas gerakan tarbiyah.

Menurut laporan PAKAR (Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi), selama kurun waktu 2015-2020, setidaknya ada sembilan lembaga amal yang mendukung kelompok teroris, yaitu Infaq Dakwah Center (IDC), Baitul Mal Ummah (BMU), Azzam Dakwah Center (ADC), Anfiqu Center, Gerakan Sehari Seribu (GASHIBU), Aseer Cruee Center (ACC), Gubuk Sedekah Amal Ummah (GSAU), RIS Al-Amin, dan Baitul Mal Al-Muuqin.(sumber: RadicalismStudies.org)

BACA JUGA  Maraknya Konten Ekstrem-Radikal di Media Digital yang Wajib Dimatikan

Tak dapat dipungkiri, jika hari-hari ini kelompok Islam radikalis-teroris kerap kali ikut andil dalam aktivitas sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Agenda yang amat berkualitas dan mudah menarik simpati publik untuk bergabung, hingga difasilitasi. Hal itu menjadi makanan empuk, dan umat Islam tak sadar bahwa dirinya masuk dalam kerangka tipu-tipu yang diperdaya oleh kelompok mereka, agar melakukan aksi radikal-teroristik.

Fenomena demikian harus membuat nurani, dan pikiran kita kembali jernih. Bahkan, patut diduga dan dipertanyakan. Apa maksud di balik agenda kelompok mereka? Kenapa harus merekrut banyak umat Islam dalam mendirikan negara Islam Indonesia (NII)? Dan dari manakah akses pendanaannya? Apakah untuk membeli alat persenjataan ilegal? Atau biaya latihan militer demi mempersiapkan generasi-generasi syuhada’ dan mujahid?

Indonesia Adalah Darussalam

Negara Islam Indonesia alias NII bukanlah ide yang diperjuangkan ormas Islam terbesar baik itu NU maupun Muhammadiyah sekali pun, Darul Islam atau Daulah Islamiyah tak pernah termaktub dalam literatur sejarah. Oleh karenanya, negara bangsa (nation state) sudah menjadi kesepakatan kebangsaan (al-mitsaq al-wathaniyah) yang final berdasar Pancasila.

Kiai Said Aqil Sirajd (2020) sebagai ulama besar dan Ketua Umum PBNU pernah menegaskan di acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar di kantor NU Kota Depok di Pondok Pesantren al-Manar Azhari. Ia berkata, Indonesia itu sebagai Darussalam atau negara yang damai bukan negara Darul Islam. Semua adalah saudara, meskipun berbeda suku, bahasa, dan agama sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika.(sumber: republika.co.id)

Ulama sebagai representatif asprasi umat Islam telah sepakat dengan para pendiri bangsa menetapkan Indonesia adalah negara bangsa yang harus mengedepankan prinsip keberagaman, keislaman, dan keindonesiaan. Semua cita-cita ini bakal terwujud apabila kita umat Islam bersama-sama sigap menangkal radikalisme, dan terorisme. Terutama, menggagalkan wacana negara Islam yang diagendakan oleh kelompok Islam radikal.

Abdul Muqsith Ghazali, dkk (Narasi Islam Damai: 2016), mengutip sebuah hadits, “Semua orang Islam harus tunduk terhadap “kesepakatan” yang telah mereka buat kecuali “kesepakatan” yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (H.R. Thabrani)

Dalam konteks apa pun, umat Islam di negeri ini memiliki tanggung jawa moral yang etis, sehingga ketaatan pada ulama sepenting taatnya pada agama. Oleh sebab itu, hubungan atau relasi Islam dan negara merupakan satu hal yang tak perlu dipertentangkan sampai bertengkar keras. Paling tidak, semua umat Islam berpikir akan lebih pentingnya kedamaian daripada kekerasan itu sendiri, sebab, hal itu adalah esensi nasionalisme.

Tantangan umat Islam di masa kini, selain akan menghadapi wacana negara Islam yang membuat umat mudah diperdaya, ditipu, hingga diadu domba sesama Islam. Akhirnya, muncullah pertikaian yang membuat negeri ini terbelah menjadi banyak kelompok. Islam mendorong kita untuk membangung persaudaraan tak hanya sesama muslim, melainkan dengan dasar persaudaraan kemanusiaan, dan kebangsaan.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru