25.9 C
Jakarta

Tiga Faktor Mengapa Lembaga Filantropi Rentan Terpapar Ekstremisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniTiga Faktor Mengapa Lembaga Filantropi Rentan Terpapar Ekstremisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Selain terbelit beragam skandal, mulai dari korupsi, penyelewengan dana, sampai urusan rumah tangga para pimpinanya, organisasi nir-laba Aksi Cepat Tanggap alias ACT juga diterpa isu aliran dana ke kelompok terlarang. Adapun kelompok terlarang dalam hal ini merujuk pada jaringan terorisme global. Isu ini mencuat pasca Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis laporannya. Laporan juga merekomendasikan BIN dan BNPT untuk menelusuri aliran dana dari ACT ke organisasi terlarang tersebut.

Jika ditarik mundur, isu aliran dana dari ACT ke sejumlah kelompok teroris sebenarnya sudah tercium sejak jauh hari. Sekira dua tahun lalu misalnya, penyaluran bantuan ACT untuk korban perang Suriah dipertanyakan sejumlah pihak.

Pasalnya, ada bukti bahwa bantuan ACT itu justru disalurkan ke kelompok milisi anti-pemerintahan Bassir al Assad yang dikenal sebagai organisasi teroris dan berafiliasi dengan ISIS. Sebuah media massa asing juga merilis berita bahwa truk bantuan ACT justru dipenuhi oleh senjata dan amunisi yang diperuntukkan bagi kelompok pemberontak.

Kini, dugaan itu perlahan mulai terkonfirmasi. Skandal keuangan di tubuh ACT justru membuka kedok yang lain. Yakni bahwa organisasi nirlaba ini ikut andil mendanai kelompok-kelompok teroris di luar negeri. Ironisnya, harus kita akui bahwa ACT bisa jadi bukan satu-satunya lembaga penyalur donasi umat yang terlibat jaringan teroris. Bisa dipastikan, selain ACT ada lembaga-lembaga filantropis lain yang bertindak serupa.

Tiga Faktor Kerentanan Lembaga Filantropi Terhadap Radikalisme

Jika diamati, organisasi filantropis terutama yang berbasis keislaman memang cenderung rentan terpapar gerakan radikalisme-terorisme. Setidaknya ada tiga faktor yang bisa menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, lembaga-lembaga pengumpul dan penyalur dana memang menjadi target utama infiltrasi kelompok radikal-teror. Di lapangan, gerakan radikal tidak semata melakukan indoktrinasi, rekrutmen agggota, serta kaderisasi dengan menyusup ke sejumlah organ kemasyarakatan.

Lebih dari itu, jaringan radikal juga berusaha mencari sumber pendanaan. Salah satunya dengan menyusup dan menguasai lembaga-lembaga filantropis. Strategi ini mulai gencar dilakukan jaringan teroris lokal ketika pendanaan dari jaringan teroris global mulai terhambat akibat tindakan tegas aparat. Kini, mereka gencar menarget lembafa filantropi sebagai sumber pendaan kegiatan teror.

Kedua, adanya kedekatan secara ideologis antara pemimpin-pemimpin lembaga filantropi keislaman dengan kelompok-kelompok berhaluan radikal-ekstrem. Harus diakui bahwa banyak lembaga filantropi Islam yang dipimpin oleh sosok muslim konservatif.

Konservatisme di tubuh lembaga filantropi Islam, apalagi di pucuk pimpinannya ini jelas berpengaruh pada sikap kelembagaan. Maka, tidak mengherankan jika lembaga-lembaga filantropi Islam yang dipimpin sosok konservatif memiliki kedekatan dengan gerakan-gerakan radikal, bahkan menggelontorkan uangnya untuk menyokong aksi kekerasan dan teror.

BACA JUGA  Memaknai Toleransi dan Solidaritas: Kegiatan Jama’ah Yasin sebagai Kontra-Narasi Radikalisme

Ketiga, lemahnya pengawasan baik secara internal maupun eksternal. Hal ini menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas lembaga menjadi kurang bisa dipertanggung-jawabkan. Banyak lembaga filantropi yang justru terjerat skandal keuangan, mulai dari korupsi hingga penyelewengan dana. Bahkan, tidak sedikit yang terlibat jaringan terorisme.

Maka, penting kiranya menjaga lembaga filantropi terutama yang berbasis keislaman agar tetap akuntabel, profesional, dan transparan dalam mengumpulkan dan menyalurkan dana umat. Pemerintah sebagai penyelenggara negara berhak melakukan audit guna memastikan lembaga filantropi tidak mengalami semacam pembusukan dari dalam.

Urgensi Pembenahan Internal dan Eksternal

Terungkapnya skandal keuangan di ACT sekaligus indikasi adanya aliran dana dari lembaga tersebut ke kelompok teroris idealnya menjadi momentum untuk membenahi lembaga-lembaga filantropi berbasis keislaman. Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia dengan potensi filantropi keumatan yang sangat besar. Sayangnya memang selama ini belum dikelola secara profesional dan modern. Ke depan, kita perlu melakukan sejumlah pembenahan, baik dari sisi internal maupun eksternal.

Dari sisi internal, penting kiranya memastikan lembaga filantropi Islam dipimpin oleh sosok yang moderat, dan non-partisan. Moderat dalam artian tidak berpandangan ekstrem dalam beragama. Sedangkan non-partisan artinya tidak terikat atau berafiliasi dengan aliran politik atau ideologi tertentu.

Sikap moderat dan non-partisan pemimpin lembaga filantropi Islam ini penting agar bisa obyektif dan independen dalam menjalankan sebuah organisasi. Dengan dipimpin oleh sosok moderat dan non-partisan, diharapkan lembaga filantropi akan menjadi salah satu elemen pemberdayaan sosial-keumatan.

Tidak kalah penting dari itu ialah perlunya mekanisme pengawasan seperti audit manajemen dan keuangan untuk memastikan lembaga filantropi tetap transparan dan akuntabel. Terutama untuk mencegah adanya kebocoran dana apalagi aliran uang ke lembaga atau organisasi terlarang seperti kelompok teror dan sejenisnya.

Sedangkan dari aspek eksternal, perlu adanya edukasi menyeluruh pada umat beragama agar hanya menyalurkan donasi melalui lembaga yang kredibel dan steril dari afiliasi dengan organisasi terlarang. Edukasi ini penting mengingat masih banyak umat yang kerap tidak paham ihwal seluk-beluk dan profiling lembaga filantropi. Alhasil, ghiroh umat dalam berdonasi justru kerap dimanfaatkan segelintir oknum untuk mendukung agenda ideologis dan politis mereka.

Siti Nurul Hidayah
Siti Nurul Hidayah
Peneliti pada “Center for the Study of Society and Transformation”, alumnus Departemen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru