26.3 C
Jakarta

Tidak Perlu Teriak-Teriak Khilafah, Indonesia Sudah Jadi Negara Islam Sejak Dahulu

Artikel Trending

KhazanahOpiniTidak Perlu Teriak-Teriak Khilafah, Indonesia Sudah Jadi Negara Islam Sejak Dahulu
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

An-Nisâ’ (4): 59 menegaskan bahwa umat Islam harus taat kepada Allah, Rasulullah saw., dan ulul amri (pemerintahan yang sah). Beberapa hadis sahih menyebutkan larangan memberontak kepada pemerintahan yang sah. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa setiap Muslim wajib taat kepada pemerintah dalam segala kondisi selama tidak berkaitan dengan kemaksiatan. Bahkan Imam an-Nawawî menegaskan bahwa setiap Muslim tetap wajib taat kepada pemerintah meskipun fasik dan sering berbuat dosa selama tidak mengajak kepada kemaksiatan.(bincangsyariah.com)

Menurut Buya Hamka (H. Abdulmalik Abdulkarim Amrullah), an-Nisâ’ (4): 58-59 merupakan petunjuk Allah dalam mendirikan dan menjalankan pemerintahan. Melalui dua ayat tersebut, Allah memerintahkan umat Islam agar menyerahkan amanah kepada ahlinya. Artinya, urusan pemerintahan tersebut harus diberikan kepada orang-orang yang ahli dan bisa mengemban amanah. Tugas utama pemerintah adalah menegakkan keadilan dan menegakkan hukum secara adil (Tafsir al-Azhar, Jilid 2: 1285).

Amanah dan adil ini merupakan dua kunci utama yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kesuksesan pemerintahan. Sebab, keamanan, keadilan, dan kemakmuran akan tercapai dalam sebuah pemerintahan apabila amanah dan adil dijaga dan dipenuhi (hlm. 1275).

Dalam suhuf Nabi Ibrahim as. disebutkan bahwa Allah mengangkat seseorang menjadi pemimpin (penguasa) bukan untuk menguasai dunia dan menumpuk harta-benda, tetapi untuk mencegah doa-doa orang yang terzalimi. Sebab, Allah sama sekali tidak akan menolak doa orang yang terzalimi meskipun kafir (Imam Nawawî al-Jâwî, Kâsyifah as-Sajâ, hlm. 10). Hal ini menandakan bahwa Allah menghendaki seorang pemimpin mengemban amanah secara baik dan menegakkan keadilan, sehingga tidak ada orang-orang (rakyat) yang terzalimi.

Islam Menghendaki Musyawarah dalam Membentuk dan Menjalankan Pemerintahan

Adapun mengenai bentuk dan sistem negara, Buya Hamka menjelaskan bahwa Allah memberikan kebebasan kepada umat Islam sesuai kondisi dan situasi yang dihadapi dengan catatan tetap memberikan amanah kepada ahlinya. Dalam hal ini, Islam menghendaki musyawarah (syûrâ), baik menyangkut pemilihan kepala negara (khalifah, raja, atau presiden), bentuk dan sistem pemerintahan (seperti khilafah, kerajaan, demokrasi, dan lainnya), maupun menyangkut pelaksanaan pemerintahan (seperti Kehakiman atau Trias Politika). Sebab, al-Qur’an memang tidak menyebutkan pembahasan terperinci mengenai bentuk dan sistem pemerintahan (Tafsir al-Azhar, hlm. 1276- 1286).

Dengan demikian, bentuk, sistem, dan susunan pemerintahan merupakan hak masing-masing masyarakat Muslim. Begitu pula dalam membentuk kepala negara, maka ia bisa saja dipilih atau ditunjuk. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibnu Khaldun bahwa bentuk-bentuk pemerintahan sesuai kehendak masing-masing negara. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda: “kalian lebih mengerti tentang urusan keduniaan kalian (hlm. 1276-1286).”

Oleh karena itu, urusan-urusan pemerintahan itu harus ditempuh dengan cara musyawarah. Dalam hal ini, tentu tidak semua orang sanggup mengikuti musyawarah, tetapi hanya melibatkan beberapa orang ahli (tokoh) untuk mempertimbangkan masalah pemerintahan tersebut. Hasil musyawarah ini harus ditaati oleh seluruh penduduk Muslim yang berada di bawah pemerintahan tersebut. Sedangkan ulul amri (pemerintah) berkewajiban melaksanakan hasil musyawarah tersebut (hlm. 1276-1286).

Konsep syûrâ (musyawarah) ini disebutkan secara nyata dalam al-Qur’an, yaitu: Âli ‘Imrân (3): 159 dan asy-Syûrâ (42): 38. Rasulullah saw. dan al-khulafâ’ ar-râsyidûn (Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Utsman bin ‘Affan, dan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib) mempraktikkan konsep syûrâ dalam menjalankan pemerintahan. Namun, konsep dan praktik syûrâ dalam pemerintahan ini kemudian dirusak oleh Mu‘awiyyah (hlm. 1276-1286).

Setelah pemerintahan terbentuk, maka masyarakat Muslim wajib taat kepada pemerintah yang sah tersebut. Ketaatan kepada pemerintah (ulul amri) ini merupakan kewajiban yang ketiga dalam Islam setelah Allah dan Rasulullah saw. Sementara pemerintah memiliki kewajiban, yaitu mengemban amanah, memberikan amanah (seperti tugas pemerintahan) kepada ahlinya, dan menegakkan keadilan (hlm. 1276-1286).

Selain itu, pemerintah wajib mempertahankan dan melindungi kedaulatan negara dari rongrongan dan serangan musuh. Oleh karena itu, apabila ulul amri memerintahkan para penduduk berperang untuk mempertahankan negara, maka perintah itu menjadi kewajiban agama yang harus ditaati oleh setiap penduduk Muslim. Bahkan setiap penduduk Muslim (laki-laki dan perempuan) fardu ‘ain berperang apabila musuh sudah menyerang negara tersebut (hlm. 1276- 1286).

Dalam konteks keindonesiaan, para ulama dan tokoh bangsa Indonesia lainnya (yang merupakan perwakilan masyarakat Indonesia) sudah bermusyawarah secara sungguh-sungguh dan menghasilkan kesepakatan (ijmak) berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, seluruh penduduk Muslim wajib taat kepada hasil musyawarah para pendiri bangsa itu. Sementara pemerintah wajib melaksanakan hasil musyawarah tersebut secara baik.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Menyelamatkan Demokrasi dari Ancaman Radikalisme

Mendirikan ‘Islamic State’ Tidak Seruwet yang Dibayangkan ISIS dan HTI

Ketika Imam an-Nawawî menyebutkan hadis tentang niat dan hijrah, maka dalam Syarḥ al-Arba‘în an-Nawawiyyah dijelaskan beberapa macam hijrah. Salah satunya adalah hijrah (pindah) dari Negara Kafir ke Negara Islam. Berikut kutipan lengkapnya:

“الخامسة: الهجرة من بلاد الكفرالى بلاد الإسلام فلا يحل للمسلم الاقامة بدار الكفر. قال الماوردى: فان صار له بها اهل وعشيرة وامكنه اظهار دينه لم يجز له ان يهاجر، لانّ المكان الذى هو فيه قد صار دار اسلام.”

“Kelima: hijrah (pindah) dari Negara Kafir ke Negara Islam. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh tinggal di Negara Kafir. Al-Mâwardî berkata: apabila seorang Muslim merupakan warga negara (penduduk) Negara Kafir dan dia boleh menampakkan keislamannya, maka dia tidak boleh hijrah (pindah) dari Negara Kafir tersebut. Sebab, tempat (daerah) yang dia tinggali sudah menjadi Negara Islam (Syarḥ al-Arba‘în an-Nawawiyyah, penerbit al-Hidâyah Surabaya, hlm. 13).”

Dengan demikian, apabila memerhatikan pendapat Imam al-Mâwardî (pakar tata negara Islam) tersebut, maka mendirikan Negara Islam tidak serumit yang dipikirkan dan diperjuangkan oleh Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Apalagi harus menciptakan huru-hara dan menumpahkan darah di mana-mana atas nama agama (Islam), seperti memprovokasi dan memecah belah masyarakat, memberontak kepada pemerintahan yang sah, dan melakukan tindakan-tindakan terorisme.

Sebaliknya, mendirikan Negara Islam ternyata sangat mudah dan bahkan bisa dilakukan oleh perorangan tanpa harus menciptakan huru-hara dan memberontak kepada pemerintahan yang sah. Sebab, sebuah negara atau daerah dikatakan Negara Islam apabila seorang Muslim boleh menampakkan keislamannya dan bisa melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara aman dan merdeka, seperti salat, zakat, puasa, dan haji yang merupakan rukun Islam.

Oleh karena itu, Indonesia sudah termasuk Negara Islam sejak dahulu. Mengingat masyarakat Muslim tidak hanya boleh menampakkan identitas keislamannya di bumi Indonesia, tetapi juga bisa melaksanakan dan mengembangkan ajaran-ajaran Islam (baik melalui organisasi, lembaga pendidikan, maupun dakwah) secara aman dan merdeka.

Bahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengatur dan memfasilitasi pelaksanaan ajaran-ajaran utama Islam, seperti salat, zakat, puasa, haji, lembaga pendidikan Islam (mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini, Pesantren, hingga Perguruan Tinggi), pernikahan, dan lainnya. Di sisi lain, ideologi dan dasar negara Indonesia (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945) sangat sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan hadis (lihat Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945 Perspektif Islam, Edisi Baru, 2013).

Selain itu, negara-negara lain yang secara nyata memperbolehkan seorang Muslim menampakkan keislamannya dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara aman dan merdeka juga memungkinkan disebut Negara Islam. Apalagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan ketentuan internasional berupa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948. Sehingga setiap bangsa dan negara harus menjunjung tinggi dan merealisasikan hak asasi manusia tanpa membedakan ras, budaya, agama, jenis kelamin, warna kulit, status sosial, dan lainnya (lihat Pembukaan United Nations Universal Declaration of Human Rights 1948).

Salah satu hak asasi manusia yang harus dijamin dan dilindungi adalah kebebasan beragama. Pasal 18 DUHAM mengatur secara jelas bahwa setiap orang memiliki hak dan kebebasan menyatakan agama atau kepercayaannya, seperti mengajarkannya, melaksanakannya, beribadah, dan mematuhinya, baik sendiri maupun bersama orang lain di ruang umum atau ruang privat. Ketentuan ini diperkuat oleh International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966. Pasal 18 Ayat (1-4) ICCPR mengatur secara terperinci kebebasan beragama, seperti kebebasan memeluk agama atau keyakinan sesuai dengan kehendak masing-masing, melaksanakan, dan mengajarkan ajaran agama yang dipeluk. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

Oleh: Nasrullah Ainul Yaqin

Penulis, Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru