33.5 C
Jakarta
Array

Terorisme, Sarjana dan Pancasila Sebagai Pandangan Hidup

Artikel Trending

Terorisme, Sarjana dan Pancasila Sebagai Pandangan Hidup
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hasil riset Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (PSBPS UMS) tentang konten radikal menarik kita cermati. Hasil risetnya menunjukkan bahwa sebagian besar konten-konten radikal di media sosial Indonesia dominan disebarkan oleh mereka yang berpendidikan sarjana. Penelitiannya tersebut di platform facebook, instagram, dan twitter.

Sarjana yang notabene adalah mereka orang-orang terdidik, ternyata lebih banyak menyebarkan konten-konten radikal. Penulis berpendapat, bukan saja budaya literasinya yang rendah, melainkan ada aspek-aspek lainnya. Pertama, pengaruh otoritas yang lebih tinggi. Kalau dalam agama Islam, yaitu Ustadz. Hal ini dalam kajian psikologi dinamakan obedient (kepatuhan).

Kedua, paham keagamaan fundamentalis memang saat ini sedang marak. Kelompok ini tidak menerima kompromi terhadap budaya setempat, negara. Islam baginya sebagai solusi utama diterapkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Ketiga, kepentingan global. Kita tahu bahwa sebenarnya terorisme bukanlah ajaran agama, namun di luar sana banyak yang menjadi kepentingan ekonomi dan politik.

Menjangkit Sarjana?

Mas’ud Halimi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan bahwa pemahaman keagamaan masyarakat berada pada tingkat “waspada” (66,3%), sementara pengurus masjid dan guru sekolah madrasah merupakan kelompok yang memiliki tingkat “bahaya” (15,4%) dan tidak kalah mengkhawatirkan mahasiswa merupakan kalangan yang menjadi target sasaran ideologi radikal berada pada tingkat “hati-hati” (20,3%).Penemuan BNPT pada tahun 2013 tersebut menandakan adanya potensi radikalisme di kalangan mahasiswa cukup signifikan. Bahwa anak-anak muda, khususnya mahasiswa menjadi sasaran bagi penyebaran ideologi radikal. Salah satu target penyebaran dan perekrutan aksi radikalisme menurut Mas’ud Halimi adalah kelompokk muda, usia pengantin rata-rata 18-31 tahun. 

Cobalah kita simak fakta dari Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT pada tahun 2016. Data tersebut menyatakan bahwa sekitar 80% dari 600 terduga teroris yang ditangkap adalah remaja berusia 18-30 tahun. Lagi-lagi data ini membuktikan bahwa anak-anak muda menjadi sasaran perekrutan jihad instan untuk mencederai bangsa sendiri. Para anak muda sebenarnya korban dari perekrutan dan indoktrinasi konsep jihad yang kebablasan atau salah kaprah. Anak muda yang sedang mencari identitas diri itu, terpikat oleh janji surga untuk orang-orang yang berjihad, tetapi oleh mentornya tidak dijelaskan makna jihad yang sebenarnya. Mereka tidak mengerti apa yang menjadi sasaran jihad, syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, dalam kondisi apa perintah jihad itu dilaksanakan. Akhirnya, korbannya justru diri mereka sendiri dan orang lain yang tidak berdosa.

Keluguan anak usia muda yang belum mendapatkan pegangan dan pemahaman tentang keagamaan yang dalam, akan mudah terjerumus dari ideologi radikalisme. Mereka mengikuti organisasi-organisasi mahasiswa keislaman tanpa menimbang organisasi tersebut mempunyai afiliasi ke mana. Penelitian ini akan membaca peta gerakan Islam kultural dan Islam fundamental dalam organisasi mahasiswa Islam. Bagaimana organisasi-organisasi mahasiswa Islam dalam menyikapi radikalisme di kampus, serta bagaiamana upaya organisasi mahasiswa Islam di kampus dalam memnbendungnya.

Berakar dari Organisasi Kampus

Terorisme erat kaitannya dengan radikalisme. Fenomena radikalisme beragama juga telah memasuki ranah kampus perguruan tinggi. Beragam penelitian dan pengakuan mereka yang keluar dari jaringan gerakan keagamaan radikal mengisyaratkan bahwa mahasiswa Perguruan Tinggi Agama (PTA) dan Umum (PTU) rentan terhadap rekruitmen anggota gerakan radikal (Azyumardi Azra, 2011). 

Secara garis besar radikalisme disebabkan oleh faktor ideologi dan faktor non ideologi seperti ekonomi dendam dan lain sebagainya. Faktor ideologi sangat sulit diberantas dalam jangka pendek dan memerlukan perencanaan yang matang yang berkaitan dengan keyakinan keagamaan yang sudah dipegangi dengan emosi keagamaan yang kuat. Faktor ini hanya bisa diberantas melalui pintu masuk pendidikan (soft treatment) dengan cara melakukan deradikalisasi secara evolutif dan melibatkan semua elemen.

Faktor ideologi, sebagaimana diungkapkan oleh Saefuddin (2011), merupakan penyebab terjadinya perkembangan radikalisme di kalangan mahasiswa. Secara teoretis, orang yang sudah memiliki bekal pengetahuan setingkat mahasiswa apabila memegangi keyakinan yang radikal pasti sudah melalui proses tukar pendapat yang cukup lama dan intens sehingga pada akhirnya mahasiswa tersebut dapat menerima paham radikal.

Untuk membendung paham radikalisme dan menguatnya kelompok terorisme upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan dialog antar agama. Dialog antara agama dan negara sudah lama terjadi di negeri ini. Dari falsafah hidup orang nusantara, yang beragam dan menghargai perbedaan serta cita-cita bersama maka diwujudkanlah sebuah konsep Pancasila. Bagi Gus Dur, dalam pengantarnya di buku “NU dan Pancasila”, Pancasila sebagai pandangan hidup bisa dilihat dari pandangan tokoh-tokoh sejarah Islam terdahulu saat dihadapkan pada persiapan gagasan fungsi pemerintahan yang memang harus mengabaikan status dan formalitas belaka.

Bagi Gus Dur, Pancasila tidak hanya sebatas dipahami kemudian dibacakan setiap momentum upacara, melainkan dijadikan sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai dalam Pancasila diwujudkan oleh Gus Dur ketika menjadi Presiden Republik Indonesia. Saat mewujudkan nilai Pancasila Gus Dur menerbitkan Kepres No. 6 tahun 2000 dan mencabut Inpres No 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat China.

Penulis adalah mahasiswa Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga, Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru