30.8 C
Jakarta

Terorisme Papua dan Krisis Budaya Damai

Artikel Trending

KhazanahPerspektifTerorisme Papua dan Krisis Budaya Damai
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menko Polhukam Mahfud MD secara terbuka mengatakan, bahwa aksi kekerasan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua dapat dikategorikan teroris. Terorisme adalah setiap perbuatan yang memakai kekerasan yang dapat menciptakan suasana teror atau rasa takut secara meluas, dan memakan korban, serta merusak terhadap lingkungan yang strategis.

Segelintir patriot di kalangan TNI-Polri satu-persatu tewas akibat aksi brutalnya. Hampir tiap hari mereka menciptakan kegentingan dan teror yang membuat masyarakat sipil terancam, dan resah. Kali ini, Papua memang dihadapkan dengan pelbagai tindakan radikal-teror yang makin subur, dan meluas. Lalu, apakah keamanan teritorial ini tidak lagi berjalan stabil?.

Pertanyaan tersebut menjadi indikator bahwa terorisme merupakan ancaman serius dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Alih-alih mereka sengaja menabur arus deras terorisme sebagai bentuk rasistansi atau perlawanan kelompok kriminal bersenjata terhadap negara, mereka sengaja melakukan aksi teror untuk merusak stabilitas keamanan di Papua.

Aksi teror mereka merupakan sinyal ajakan perang terbuka melawan negara, dalam hal ini pemerintah. Kelompok separatis-teroris di Papua bukan pertama kalinya, sejak sebelumnya mereka kerap kali terjadi. Bahkan, kelompok radikal-teror tersebut semata-mata hanya menghendaki TNI-Polri supaya turun gunung menjaga keamanan dan mencegah ancaman.

Realitasnya, mereka adalah kelompok yang selalu ingin menunjukkan eksistensinya sebagai satu-satunya kaum teroris yang sangat berbahaya. Bagi mereka, Papua sebagai kawasan strategis untuk menampilkan aksi-aksi radikal-teror. Pasalnya, motif munculnya kelompok teroris berorientasi kepada bangsa yang krisis kemanusiaan dan perdamaian.

Problematika Budaya Damai

Peter Soederberg mengatakan, dalam buku As’ad As-Sahamrani (Menyingkap Terorisme Dunia: 2005), teror adala praktik kekerasan untuk mencapai target-target politis. Hal itu hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai ungkapan kemarahan terhadap pemerintah resmi karena menganggap negara tidak memenuhi tuntutan-tuntutan suatu kelompok.

Dalam perspektif politik, kelompok teroris di Papua memang sengaja tidak memakai nama atau istilah kelompok tertentu, tapi tujuannya menciptakan teror. Oleh karena itu, sikap politik hukum pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada saat ini merupakan putusan yang sangat tepat, karena aksi mereka sebenarnya melebihi dari kriminal, yaitu terorisme.

Presiden Joko Widodo pun mengambil sikap tegas memerintahkan Panglima TNI, dan Kapolri untuk mengatasi arus paham radikal yang merusak budaya damai di Papua. Negara kian berhadapan langsung dengan kelompok-kelompok radikal, sehingga menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam menjaga keamanan, dan kedamaian di kawasan rawan ini.

BACA JUGA  Neo-HTI: Spirit Propaganda Khilafah yang Mesti Dilawan

Ia meminta TNI-Polri, dan BNPT untuk melawan segala bentuk aksi radikalisme-terorisme. Hal ini merupakan tantangan mereka baik dalam melawan meliputi kontra narasi, deradikalisasi, dan penindakan. Karena kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Papua adalah suatu pertanda bahwa kawasan ini mengalami defisit kesadaran atas urgensinya kedamaian.

Krisis budaya damai tersebut menunjukkan perilaku kelompok mereka yang ekstrem, dan ekslusif. Kini, di tengah peran TNI-Polri setidaknya dapat membantu negara meminimalisir perlawanan dari kelompok-kelompok separatis, radikalis, dan teroris. Opsi tambahan yang harus pemerintah ambil adalah dengan menggaungkan budaya damai.

Revitalisasi

Inisiatif Presiden Joko Widodo yang meminta TNI-Polri, dan institusi lainnya untuk berkolaborasi merupakan sinyal positif bahwa aksi kekerasan (terror) akan berakhir di wilayah rawan, khususnya di Papua. Oleh karena itu, revitalisasi budaya damai sangat penting bagi aparatur negara, dan tokoh adat di sana untuk meredam potensi aksi radikal-teror tersebut.

Peran pendidikan konvensional dan pendidikan Islam di Papua setidaknya menjadi batu pijakan dalam menggaungkan budaya damai. Kultur ini merupakan ijtihad yang harus pemerintah upayakan guna menciptakan toleransi, dan kedamaian. Di sisi lain, kontribusi paham agama yang ingklusif tentu memperkuat transformasi kehidupan sosial yang harmonis.

Membangun budaya damai harus bermula sejak dini di sekolah, atau melibatkan tokoh agama, dan tokoh adat untuk menyuarakan sadar menolak aksi kekerasan. Dimensi lain adalah pendekatan dialog lintas adat tentang kedamaian, dan kemanusiaan. Dialog seperti ini memang mampu menjauhkan konflik adat, dan menggeser perilaku radikal pada perilaku yang santun.

Tanah Papua menjadi peluang masa depan keemasan Indonesia, jika saja ada rasa aman dan tentram yang berkesinambungan antara sesama anak bangsa yang hidup dan menetap di atas negeri Bumi Cenderawasih itu. Kekerasan atau pun aksi teror perlu segera berakhir, agar menjadi fase kehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas bebas dari eskalasi terorisme.

Peran Tokoh agama dan tokoh ada di Papua sangat penting dalam membangun budaya damai melalui pendidikan Active Non-Violence”. Terakhir, kita perlu berterimakasih kepada pemerintah karena telah mendorong TNI-Polri memberantas terorisme di Papua. Paling tidak, tokoh agama Islam, Hindu, dan Kristen di sana terus aktif membumikan budaya ini.

M. Aldi Fayed S. Arief
M. Aldi Fayed S. Arief
Mukim di Bintaro, Jakarta Selatan, Pegiat Kajian Keislaman di Lingkar Pena Mahasiswa (LPM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Alumni Pondok Pesantren at-Taqwa Pusat Putra, Bekasi.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru