30 C
Jakarta

Terorisme, Media Sosial dan Sikap Keberagamaan Kita

Artikel Trending

KhazanahTelaahTerorisme, Media Sosial dan Sikap Keberagamaan Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Belakangan ini, berita persoalan terorisme, aksi-aksi yang dilakukan selalu muncul di linimasa google yang turut menjadi perhatian para penghamba google yang hampir seluruh masyarakat Indonesia tidak bisa lepas dari ketergantungan media sosial, ataupun google.

Ketergantungan terhadap media sosial menjadi komunitas baru, yakni komunitas online yang merujuk pada platform yang menjadi senjata utama untuk berinteraksi dengan yang lain. Media sosial ini, seiring berjalannya waktu

Persoaan terorisme juga hadir di ruang online dengan berbagai taktik dan strategi untuk tetap eksis yang dibalut dengan selimut “syar’i”,  membuat masyarakat sangat antusius untuk menjadi bagian dari beberapa orang di organisasi yang jelas-jelas bertetengan dengan spirit kenegaraan, kemanusiaan, dan sangat jauh dari spirit keislaman,

Uniknya, berbagai informasi yang datang justru semakin tidak membuat kita tercerahkan. Akan tetapi membuat kita semakin bingung dan dilema dengan berbagai fenomena yang terjadi. Seperti halnya ketika proses deradikalisasi yang terjadi pada Kalapas Gunung Sindur. Disatu sisi, penulis percaya bahwa proses deradikalisasi adalah hal paling utama dilakukan untuk mengembalikan berbagai hal.

Disisi lain, justru fakta ini membuat dilema, bingung dan perasaan tidak menentu. Pertanyaan yang terbesit adalah “Apakah iya benar adanya, orang-orang yang sudah menempuh proses deradikalisasi akan berkhidmat sepenuhnya kepada negara Indonesia? siapa yang bisa menjamin dengan keteguhan hati seseorang.

Namun, hal itu tidak bisa menjadi tolok ukur untuk menolak seseorang menjadi bagian dari Indonesia. Sebab Indonesia bukan hanya miliki satu golongan, kelompok, individu semata, melainkan milik semua.

Media sosial adalah salah satu sumber penanaman bibit terorisme

Dari pergerakan penyebaran ideologi yang nyata, terorisme mulai masuk ruang virtual yang sangat meresahkan. Dalam perekrutan kader-kader teroris, telegram menjadi ruang yang begitu aman dan sangat sering digunakan untuk merekrut anggota, melakukan pembinaan (Kompas.com).

Disisi lain, kasus pengeboman yang diakukan oleh seorang perempuan di Mabes Polri yang dosebut lone wolf beberapa waktu silam. Dapat dilacak di media sosial dengan postingan di instagram milik pribadinya.

Tidak hanya itu, kasus Dania yang sempat ramai beberapa tahun belakangan ini menjadi bukti bahwa media sosial sangat cantik dalam melakukan perannya sebagai wadah penanaman bibit terorisme pada pengguna, baik dari kalangan perempuan, millenial, atau siapapun yang mencoba tertarik dengan narasi agama yang memabukkan dengan tagline “jihad”, berjuang dijalan Allah, dan narasi keagamaan lainnya.

BACA JUGA  Mengapa Perempuan Terlibat dalam Kelompok Teroris? Pahami Faktor Penyebab Berikut Ini!

Nunung:2004 menjelaskan bahwa media massa dan teroris memiliki kepentingan yang sama. Pada tingkat ini, teroris menyusun dan memanfaatkan strategi media mereka dan
di lain pihak, media menempatkan kepentingannya pada aktivitas kelompok teroris.

Para teroris akan semakin gencar menyebarkan ideologi jahat dan tidak berperikemanusiaan tersebut sebagai term yang mengasyikkan untuk terus disebarkan pada khalayak publik dalam ruang maya. Hingga akhirnya ada orang yang terjebak dalam ideologi tersebut, maka itu menjadi sasaran empuk yang terus dipupuk, dibina dengan berbagai ragam hal.

Sikap Keberagamaan yang seharusnya kita teladani

Mudahnya mengakses berbagai informasi di media sosial beberapa tahun terakhir, yang berbanding lurus dengan perkembangan internet yang cukup massif,  membuat masyarakat kita pada hari ini terbilang banyak sekali menerima informasi dan banyak insight pengetahuan baru.

Media sosial yang sudah menjadi salah satu sumber pengetahuan dan informasi didalamnya, menuntut para pembacanya harus bisa bijak dalam menanggapi sesuatu. Hal ini karena ragam persoalan dipecahkan dan menemukan solusinya melalui media sosial.

Salah satu masalah yang krusial adalah pengetahuan agama yang semakin gencar dicari oleh masyarakat yang tidak dibekali oleh pengetahuan agama dari pesantren. Kemudian menjadikan media sosial sebagai satu-satunya sumber pengetahuan agama, tidak jarang membuat orang semacam ini mudah sekali mengkafirkan, menyalahan bahkan menyebut dirinya sebagai orang yang paling benar diantara yang lain.

Persoalan ini bagi hemat penulis menjadi salah satu tangga yang dilewati oleh seseorang sebelum memilih menjadi teroris. Sebab sikap eksklusifitas ini rentan sekali membuat orang-orang jatuh pada pemahaman keagamaan yang membenarkan diri sendiri, anti kritik, bahkan anti disalahkan.

Hal tersebut menjadi masalah yang tidak dapat dihindari dan menjadi racun yang terus menjadi khazanah perkembangan ideologi teroris. Sebab pemahaman benar dan salah, pandangan hitam putih tersebut menjadi bentuk ketidakwajaran ketika terus bersikeras tidak menerima perbedaan dan membenarkan diri sendiri. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru