29.7 C
Jakarta

Terorisme, Media, dan Islamofobia

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuTerorisme, Media, dan Islamofobia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul buku: Jihad dan Terorisme: Membongkar Kesalahpahaman Tentang Jihad dan Kaitannya Dengan Terorisme, Penulis: Fikri Mahmud, Penerbit: Azka Pustaka, Tebal: 287 hlm. Judul resensi: Terorisme, Media, dan Islamofobia, Peresensi: M. Nur Faizi.

Almoudi menjelaskan, jauh sebelum peristiwa 11 September 2001, warga Amerika Serikat telah memiliki persepsi bahwa Muslim adalah teroris. Sedangkan Islam bermakna kekerasan. Dan umat Islam disinonimkan dengan fanatisme [hlm. 2].

Fikri Mahmud sebagai pengarang buku “Jihad dan Terorisme: Membongkar Kesalahpahaman Tentang Jihad dan Kaitannya Dengan Terorisme” berusaha menjelaskan bagaimana persepsi masyarakat umum pada Islam yang kian memburuk akibat aksi teror. Kemudian memaparkan secara gamblang bagaimana sikap Muslim yang seharusnya.

Pada awal bahasan, Fikri Mahmud membahas peristiwa 11 September 2001 yang menjadi awal kemarahan dunia terhadap Islam. Islamofobia menjadi virus yang kian cepat menyebar ke seluruh wilayah Barat. Bahkan seorang pengamat bernama Silas beranggapan bahwa Nabi Muhammad adalah pembawa agama teroris.

“Muhammad was a terrorist. Based upon Muhammad’s actions and teachings, Islam justifies terrorism. Today, Muslim’s use that justification to attack and murder those who differ from them. Muslim terrorists follow in Muhammad’s footsteps,” (Muhammad adalah seorang teroris. Bedasarkan pada aksi-aksi dan ajaran Muhammad, Islam menjustifikasi (membenarkan) terorisme. Hari ini, umat Islam menggunakan justifikasi tersebut untuk menyerang dan membunuh orang-orang yang berbeda dari mereka. Teroris-teroris muslim mengikuti langkah-langkah Muhammad), terang Salas [hlm. 3].

Pernyataan ini bukanlah satu-satunya yang diteriakkan bangsa Barat terhadap Islam. Masih banyak nada-nada sentimen yang dimunculkan dalam ranah kekecewaan terhadap Islam. Wajah Islam tercoreng kian dalam pada perbuatan umatnya yang di luar nalar kemanusiaan. Pengeboman itu meninggalkan bekas buruk dalam ingatan orang-orang Barat.

Pada dasarnya, motif dari tindakan teror didasarkan pada tiga aspek yang selalu berulang. Pertama, sentimen agama, di mana narasi yang terus dimunculkan adanya permusuhan antara Islam, Nasrani, dan Yahudi. Perseteruan ini diawali kritik-kritik pedas tentang ketuhanan. Antar agama saling mencari celah yang bisa dihina, dan nantinya dijadikan senjata untuk memperkuat agamanya. Sistem ini terus diputar, sehingga permusuhan terus terjadi pada generasi lanjutan.

BACA JUGA  Trik Pintar Berdebat Dengan Wahabi

Kedua, adanya konflik sejarah yang terus berlangsung. Antara Islam dan Barat di masa silam sudah terlibat konflik yang luar biasa. Masa Romawi, Gubernur Romawi Syurahbil membunuh utusan Nabi, Haris bin Umayr al-Azadi. Kemudian 15 juru dakwah terkemuka dibunuh juga seketika. Kejadian ini sempat menimbulkan peperangan yang berakhir dengan tanpa adanya pemenang dari kedua belah pihak. Akan tetapi, peperangan ini diakhiri dengan penaklukan kota Romawi oleh generasi selanjutnya.

Penaklukan kota Romawi membawa perubahan besar pada letak geografis umat Islam. Wilayah umat Islam semakin bergeser ke arah Barat, dan pada puncaknya meletuslah Perang Salib yang berlangsung lama. Perang Salib inilah yang membawa dendam pada dua belah pihak. Satu sama lain ingin menuntaskan dendam untuk pahlawan mereka yang dahulu gugur di medan perang.

Ketiga, provokasi yang terus diserukan. Pihak Barat selalu menyudutkan Islam dalam pemberitaan media. Salahnya, respon yang ditunjukkan umat muslim yang terwakili kelompok teror kurang menyenangkan. Mereka menganggapnya sebagai sebuah ancaman, dan harus melakukan tindakan pemusnahan tanpa ampun bagi siapa saja yang menghina. Maka ketika banyak media secara serentak mengabarkan kejelekan Islam, kelompok teror merespon secara cepat dan sadis.

Peperangan yang mereka selenggarakan disebut sebagai jihad. Di mana ada salah satu kelompok teror yang menamai kelompok mereka dengan nama al-jihad al-islami [hlm. 32] yang mengultuskan jati dirinya sebagai kelompok jihadis. Kajian kitab yang mereka kaji juga bermacam-macam, namun disaring sesuai pemahaman mereka sendiri [hlm. 17]. Tidak heran jika makna jihad yang mereka kemukakan bisa disinonimkan dengan penyeragaman.

Untuk mengatasi hal ini, pelurusan sejarah harus kita lakukan. Baik umat Muslim ataupun umat non-Muslim harus menarasikan Islam yang sesungguhnya. Peran media sangat penting dalam publikasi pelurusan sejarah. Maka perdamaian bisa dicapai dengan media yang tidak memihak. Media yang fokus akan perdamaian, bukan mencari keuntungan berdasar konflik yang beredar.

Ketika media seimbang menceritakan kebenaran Islam, maka sedikit demi sedikit persepsi akan damainya agama bisa tercipta. Antar umat beragama tidak akan terlibat pertengkaran brutal. Kemudian perdamaian akan segera tercipta.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru