26.1 C
Jakarta

Teroris(me) itu Bukan Mujahid dan Bukan Syuhada’

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanTeroris(me) itu Bukan Mujahid dan Bukan Syuhada’
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa hari yang lalu telah tersebar sebuah poster provokatif di jagat media sosial. Poster ini, intinya, mengajak seluruh umat Islam, lebih tepatnya yang berdomisili di Poso untuk menyuarakan aspirasi capai keadilan atas dugaan salah tembak oleh aparat. Kesalahan tembak yang diduga meregang nyawa Qidam Alfarizky (berusia 20 tahun), petani kebun  Firmansyah (berusia 16 tahun), dan Syarifuddin (berusia 45 tahun).

Sudah dapat ditebak, poster ini dibuat oleh laskar teroris yang sampai detik ini masih berkecambah di muka bumi. Mereka menuntut aparat untuk mendapatkan hukuman yang setimpal dengan tindakan yang dianggap oleh mereka sangat picik. Lebih dari itu, mereka berkeyakinan dengan sepenuh hati, bahwa para teroris yang mati, baik di medan tempur maupun di tangan aparat, adalah syuhada’ alias mati syahid. Karena, para teroris itu dianggap sebagai mujahid, laskar yang berjihad di jalan Allah.

Benarkah para teroris itu mati syahid? Selain itu, tepatkah para teroris disebut dengan mujahid? Lalu, siapakah mujahid yang dimaksud dalam Al-Qur’an? Menarik sekali diketengahkan istilah syuhada’ dan mujahid ini, agar tidak disalahgunakan demi menggapai kepentingan sesaat. Sebenarnya banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang jihad. Salah satunya, surah al-Baqarah ayat 218: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Pada ayat tersebut terdapat perintah berjihad. Sementara pakar tafsir, salah satunya Imam al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’any, menyebutkan bahwa jihad di sini adalah berperang untuk menegakkan agama Allah (li i’la’i dinillah). Sesuatu yang menarik dari perintah perang ini adalah tidak disebutkannya objek yang diperangi. Sehingga, kaidah dalam ilmu tafsir, segala bentuk kata kerja transitif yang tidak disebutkan objeknya, mengisyaratkan objeknya bebas. Maka, objek perang pada ayat ini boleh jadi diri kita sendiri atau boleh jadi orang lain.

Berjihad di jalan Allah hendaknya dilakukan dengan etika yang baik. Prof. Dr. Aliy Jumu’ah menyebutkan etika berjihad yang baik dengan 6 syarat yang harus dipenuhi: [1] cara dan tujuannya jelas dan mulia, [2] jihad hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil, [3] jihad harus dihentikan bila pihak lawan telah memilih damai, [4] melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi, [5] memelihara lingkungan, antara lain dengan tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, dan merusak rumah/bangunan, dan [6] menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.

Etika tersebut jelas berlawanan bila dihadapkan dengan aksi-aksi terorisme yang sangat meresahkan masyarakat. Mari kita lihat seperti apa aksi terorisme. Terorisme mengajarkan Islam bukan dengan santun, tapi dengan kekerasan. Siapapun, termasuk orang Islam sendiri, yang tidak sepemikiran dengan para teroris diklaim kafir, sehingga halal darahnya alias dibunuh. Selain itu, terorisme melakukan aksi-aksi yang merusak tatanan bumi, sehingga merugikan banyak pihak yang jelas tidak bersalah. Lebih dari itu, banyak korban yang berjatuhan karena perbuatan picik yang mereka lakukan semaunya sendiri. Terorisme lebih suka main hakim sendiri.

BACA JUGA  Memilih Pemimpin yang Memiliki Sifat-sifat seperti Nabi, Siapa Dia?

Tak perlu saya uraikan kembali dampak aksi terorisme. Sudah banyak media yang memberitakan tentangnya. Sehingga, Najwa Shihab sendiri mengeluh dalam manangani setiap kasus sebagai jurnalis, bahwa problem yang sampai detik ini belum ditemukan titik finishnya adalah terorisme. Terorisme laiknya kuku. Terorisme tetap tumbuh, walau dipangkas setiap waktu. Karena, yang dapat menghentikan aksi radikal ini adalah sang pelaku sendiri. Sudah banyak teroris yang mendapat hidayah, kemudian hijrah memilih jalan kebenaran dengan memegang Islam yang rahmatan lil alamin. Sebut saja, Nasir Abbas yang dahulunya adalah orang Jama’ah Islamiyyah (JI), Haris Amir Falah yang pada mulanya pelaku terorisme, dan seterusnya.

Menegakkan agama Allah memang suatu keharusan. Tapi, ingat, cara yang digunakan bukan sesuatu yang terlarang, seperti aksi-aksi terorisme ini. Tegakkan agama Allah dengan cara yang santun sehingga mampu mengetuk hati orang lain tanpa melukai dan merugikannya. Tugas kita hanyalah penyampai pesan Tuhan, bukan pemberi hidayah. Sedang, yang berhak menyadarkan manusia adalah Allah semata, karena Dia yang memiliki hidayah dan tahu siapa dari sekian hamba-Nya yang patut menggapai hidayah itu. Sebagai pendakwah kita cukup mendoakannya.

Membudayakan penyampaian Islam dengan santun secara tidak langsung menghindari aksi-aksi radikal seperti aksi-aksi terorisme. Penyampaian secara santun telah disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 159: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Nabi Muhammad Saw. pada ayat ini masih diperintahkan untuk berperilaku lemah lembut, gemar memaafkan kesalahan umatnya, mendoakan mereka, serta membangun diskusi jika dihadapkan dengan perselisihan.

Solusi-solusi yang ditawarkan Islam ini sedikit pun belum dilakukan oleh para kelompok teroris. Mereka lebih memilih dorongan ego dan nafsunya sendiri untuk menentukan keputusan. Bila begini, masihkah para terorisme disebut dengan mujahid, pejuang Islam, sedang mereka mengabaikan pesan-pesan perdamaian dalam Islam? Jelas, mereka yang kafir alias menutup dirinya mengamalkan pesan-pesan perdamaian dalam Islam. Sehingga, siapakah yang patut diperangi? Tentu, diri mereka sendiri. Terus, masihkah mereka disebut dengan syuhada’ karena mereka mati dalam peperangan atau melakukan aksi yang “tolol” bin “goblok”, yaitu bom bunuh diri? Saya yakin, mereka bukan syuhada’ dan mereka bakal dijebloskan ke dalam neraka, karena menanggung dosanya sendiri yang menggunung dan dibawa mati tanpa belum berkesempatan bertobat.

Sebagai penutup, mari kita lihat Islam dengan mata yang terbuka. Baca ayat-ayat Al-Qur’an secara menyeluruh, bukan sepotong-sepotong. Sehingga, kita akan menjadi muslim yang kaffah, yang mampu memadukan teks dengan konteks, mempertemukan pikiran dengan hati, dan tidak melupakan jihad dengan perdamaian. Yakinlah, Islam sangat tidak suka melihat kekerasan dan pemaksaan terjadi di alam semesta ini. Sudah jelas disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 256: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru