27.6 C
Jakarta

Terorisme, Generasi Milenial, dan Perlunya Kontra Narasi di Ruang Digital

Artikel Trending

Milenial IslamTerorisme, Generasi Milenial, dan Perlunya Kontra Narasi di Ruang Digital
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dr. Dedik Novi Rahmanto, Pengajar Kajian Terorisme Sekolah Kajian Strategic Global UI dan Satgas Densus 88, dalam diskusi  buku Returnees Indonesia: Membongkar Janji Manis ISIS (2020), yang diselenggarakan di IAIN Surakarta, Rabu, 07 April 2021, menyebut bahwa paham terorisme merangsak masuk kedalam ruang digital. Dunia digital dijadikan propaganda dan indoktrinasi paham khilafah di satu sisi, dan pengkambinghitaman sebuah negara di sisi lain.

Hal demikian, selaras dengan temuan BNPT yakni, kelompok teroris banyak mengisi ruang digital. Para teroris ini tidak perlu saling bertemu dan mengenal bila satu pemikiran. Proganda dan indoktrinasi menjadi niscaya di sana. Generasi milenial harus beraksi karena ketidakadilan, dan musuh Islam makin menjadi-jadi, dan karena itu, kakerasan adalah jalan keluar dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Generasi Milenial dan Krisis Identitas

Tak sadari, generasi milenial tengah menjadi sasaran empuk ideologi terorisme di media digital. Kemelekan pada teknologi dan keinginan yang siap saji menjadi mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru agama yang lebih radikal.

Egoisme dan krisis identitas yang melanda pada generasi milenial memungkinkan mereka rentan terhadap pengaruh dan sebaran ideologi teroris yang, memang sudah dan sedang berjajakan di ruang digital. Juga secara realita empiris seperti yang terjadi di negara Indonesia.

Apabila generasi milenial tidak mampu dan tidak memiliki kemampuan untuk membaca informasi secara utuh dan jeli, maka tibalah mereka kepada penerimaan terhadap ajaran apa saja dari para teroris. Mengangkat pedang, menjadi martir bahkan membunuh manusia tidak berdosa jadi pilihan. Contohnya kita melihat pada kejadian bom pasutri di Makassar dan Mabes Polri, Jakarta lalu.

Di Indonesia, dengan bertambahnya pengguna internet, ajakan dan penyebaran paham terorisme sudah pasti bertambah ngeri. Terpaan internet semakin memudahkan individu untuk bersentuhan dan mendalami konten-konten radikal di dunia maya. Begitu juga jajakan atau sebaran siber dari pihak teroris.

Pada tahun 2021 ini saja, pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta jiwa dan meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa daripada pada tahun 2020 lalu. Dengan total penduduk yang mencapai 274,9 juta jiwa, penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7 persen (Merdeka.com 7/4/2021).

BACA JUGA  Rajab, Bulan Penuh Pahala untuk Memerangi Khilafahisme

Terorisme dan Sebaran Pahamnya

Catatan BNPT, Per 12 Maret 2021, terdapat 321 grup maupun kanal media sosial yang terindikasi menyebarkan propaganda radikal terorisme di mana 145 grup atau kanal di antaranya berasal dari platform Telegram. Sedangkan sepanjang tahun 2020, terdapat 341 konten siber yang terpantau menyebarkan propaganda radikal terorisme di mana sebagian besar merupakan akun underbow organisasi yang telah resmi dilarang seperti HTI.

Terorisme, dalam hal ini, kita, pemerintah, khususnya BNPT perlu sebuah keseriusan lagi menggencarkan mekanisme pencegahan untuk memastikan pemanfaatan internet agar tidak mengarah pada tindakan radikal terorisme. Butuh pemantauan secara terus menerus media sosial dan secara massif utamanya terhadap 4 platform, yaitu, Telegram, Whatsapp, Facebook, dan Tamtam (Harakatuna.com 8/4/2021).

Kontra Narasi Kunci Menangkal Radikalisme dan Terorisme

Kendati, dalam hal itu pula, kita semua, perlu melakukan upaya kontra radikalisasi dan kontra narasi-wacana melalui penyebaran narasi-narasi perdamaian dan toleransi di media sosial. Dengan melibatkan kelompok pemuda sebagai garda utama dan dosen, tokoh agama serta organisasi keagamaan untuk menyebarkan pesan damai di dunia maya.

Kita tahu internet adalah ruang yang bebas. Ia dapat jadikan jaringan dan wadah indoktrinasi ajaran teror untuk terus menggemakan propaganda yang mereka miliki. Sehingga, paparan terus-menerus menjadikan seseorang terpapar paham radikalisasi dengan frekuensi yang lebih tinggi. Tetapi sebaliknya, internet juga bisa membasmi paham radikalisme dan terorisme apabila internet menjadi ruang sebaran paham moderat. Dan ia juga menjadi alat penangkal dari paham yang membahayakan (Harakatuna.com 8/4/2021).

Akhirnya, saya mengajak pembaca mari kita perangi teroris ini secara bersama-sama. Di realita, kita bersatu padu menyebarkan ajaran yang ramah dan penuh asketisme sebagai cambuk bagi ajaran paham radikal dan teroris. Di ruang digital, atau maya, kita sapu narasi jahat itu dengan menguatkan atau menggencarkan kontranarasi dan wacana sebagai penangkal ajaran untuk generasi kita dan mandatang. Kita perlu menyatukan tekad bahwa tidak ada tempat bagi radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru