31.4 C
Jakarta

Terorisme, dan Balas Dendam ISIS

Artikel Trending

Milenial IslamTerorisme, dan Balas Dendam ISIS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Konfirmasi Donald Trump soal kematian pimpinan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Abu Bakar al-Baghdadi pada 2019 lalu telah mengejutkan seluruh masyarakat di pelbagai belahan dunia. Terbunuhnya khalifah nomor satu di lingkaran kelompok mereka seakan ada perang besar (the big war).

Meski kematiannya menjadi dramatis dan penuh teka-teki, kita harus yakin tidak akan ada lagi aksi balas dendam/terorisme di negeri ini. Namun, juga radikalisme ala ISIS. Bagaimana pun paham, dan tindakan, serta gerakan kelompok ideologi takfiri adalah bahaya laten sendi-sendi kehidupan bernegara.

ISIS muncul bukan sebagai kelompok baru yang kerap kali melakukan aksi terorisme di sejumlah negara. Tetapi, kekhilafahannya merajalela di negeri-negeri Islam hingga mewabah ke wilayah Asia Tenggara. Salah satu kekerasan, dan pengeboman hampir sering terjadi di Indonesia. Dan pelakunya adalah tergolong jamaah kelompok ekstrem-radikal.

Seperti yang baru-baru ini aksi teror menyerang anggota kepolisian, di Markas Polsek Daha Selatan, Kalimantan Selatan. Dalam insiden teror tersebut, korbannya adalah aparatur kepolisian mengalami luka parah. Dan terorisnya, didentifikasi pentolan ISIS yaitu JAD, dan MIT.(01/06/2020)

Tampaknya, tragedi terorisme yang belakangan mulai masif memberi sinyal baru. Bahwa, potensi balas dendam alias terorisme susulan oleh kelompok teroris akan melakukan propaganda, manuver, dan konfrontasi. Baik secara berlangsung maupun di dunia maya berjenis media sosial.

Faktanya, pada (05/06/2020) teroris gabungan kelompok ISIS yang terang-terangan mengakui melalui status facebooknya. Artinya, paham radikal dan terorisme masih saja disebar oleh relawan, aktivis khilafah, dan militan ISIS. Apalagi mereka meminjam baju Islam sembari memarket produk khilafah.

Rentetan fenomena tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Poltak Partogi Nainggolan (2018), “Internet dan fasilitas media sosial (medsos) telah berperan hebat dalam menciptakan tidak hanya para simpatisan baru dalam jumlah besar dan cepat (seketika), tetapi juga para pelaku aksi-aksi terorisme di lapangan. Dalam konteks ini, website ‘al-Fatihah,’ buatan para pengikut, pendukung dan simpatisan ISIS di Indonesia.”

Kelompok terorisme yang sering muncul dalam bentuk apa saja dapat dipastikan adalah ISIS dan jaringan kelompok radikal lain. Seperti halnya, JAD, MIT, dan JI. Dan produk yang paling rajin mereka pasarkan ideologi takfiri, khilafah Islamiyah, jihad, dakwah, hijrah, doktrin hakimiyah, dan ide-ide lain yang tersurat dalam teks-teks hadits maupun al-Qur’an.

Terorisme ISIS

Simbol ISIS dan jaringan kelompok radikal, JAD, MIT, dan Jamaah Islamiyah adalah radikalisme, serta terorisme berkedok agama. Islam telah mereka jadikan identitas simbolik dalam setiap melakukan kekerasan/aksi teror/pengeboman. Sehingga, kebenaran Islam tertutup dalam-dalam.

ISIS memiliki jaringan kompleks, dan cara tersendiri dalam menarik simpatisan di kalangan masyarakat awam. Ditambah lagi, teror yang mereka ciptakan selalu berkedok agama. ISIS sangat pandai mempolitisasi agama, dan melakukan penistaan terhadap hadits-hadits, serta ayat-ayat al-Qur’an.

BACA JUGA  Memaknai Hijrah dalam Kebaikan Kemanusiaan

Meminjam pendapat Poltak Partogi Nainggolan (2018). Mengatakan, setelah simbol-simbol Islam dibawa dalam arus gerakan revolusi politik, dan implikasi sistem keberagamaan. Alhasil, terjadilah aksi-aksi radikal-teroristik. Hal itu diakibatkan, gelombang aspirasi dan aksi ISIS senapas dengan perjuangan pembentukan khilafah, dan penegakan syariat Islam.

Padahal, dalam konteks apapun, meski demi kepentingan Islam. Selama kelompok ISIS melegalkan ekstremisme kekerasan, maka tidak dapat dibenarkan secara substantif maupun literal. Oleh sebab itu, kekerasan tersebut adalah tindakan keji, dan melanggar hukum negara, serta syariat-syariat Allah.

Dasar hukumnya, bersumber kepada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 3 Tahun 2004 tentang Melarang Terorisme, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Secara yuridis regulasi ini dapat memperjelas terkait larangan bagi kelompok ekstrem, dan yang berideologi transnasional (ISIS/JAD/MIT/JI).

Terbukti banyak kasus-kasus penangkapan teroris yang berafiliasi dengan jamaah ISIS, pola rekrutmen teroris ISIS telah mengalami transformasi dari menual menuju digital/virtual. Sehingga, kelompok mereka meyakini doktrin al-wala wal bara adalah jihad yang shahih, meskipun dalam Islam sendiri dilarang.

Dan di tengah kemajuan internet, kelompok ISIS semakin rajin melakukan propaganda dan membangun narasi khilafah, dan negara Islam. Maka dari itu, memudahkan seseorang terpapar paham radikal, dan terorisme. Hal ini dapat semakin rentan jikalau sempit wawasan keberagamaan.

Keberadaan terorisme yang dilakukan oleh jaringan ISIS atau aktor non-negara, tampak ingin konfirmasi balik bahwa gerakan mereka masih tersisa, dan akan ada konfrontasi atau perlawanan dari militan ISIS. Kepentingan ideologi di Timur-Tengah seperti ini, seharusnya tidak dibawa-bawa ke Indonesia.

Strategi Efektif

Strategi untuk memutus mata rantai aksi terorisme dan jaringan kelompok ISIS dapat melalui beberapa langkah. Pertama, pemerintah harus bekerjasama dengan institusi penegak hukum untuk mensosialisasikan literasi kebangsaan, dan penyuluhan hukum di lingkungan masyarakat.

Kedua, pembinaan nara pidana terorisme sangat penting dalam mendorong program deideologisasi, dan deradikalisasi Pancasila, serta radikalisme-terorisme. Paling tidak, melalui penguatan mental inilah mantan teroris mampu membangun diplomasi perdamaian dengan kelompok transnasional.

Ketiga, membekali literasi media sosial bagi da’i muda baik kalangan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan MUI. Kemampuan ini dapat menjadi alat bantu kedepannya supaya tidak ada lagi aksi-aksi radikal-politis ataupun aksi terorisme yang ditunggangi oleh para ulama-ulama ekstrem. Seperti adanya, Aksi 212, alumni PA 212, dan lain sebagainya.

Keempat, kurikulum moderasi beragama harus lebih efektif dipakek di perguruan tinggi/universitas, SLTA, SLTP, dan SD/MI. Wawasan modern inilah setidaknya menjadi barometer kekuatan generasi Islam Indonesia dalam melawan narasi-narasi agama yang cenderung intoleran, dan radikal.

Semua strategi tersebut, harus menjadi keyakinan umat Islam dan non-muslim untuk menangkal propaganda ISIS, dan melindungi ideologi Pancasila dari dedengkot khilafah yang menghendaki negara khilafah/negara Islam. Langkah taktis ini, perlu kita pakek dalam meredam potensi teror.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru