25.4 C
Jakarta

Terorisme, Covid 19 dan Tragedi Kemanusiaan

Artikel Trending

Milenial IslamTerorisme, Covid 19 dan Tragedi Kemanusiaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebentar lagi umat muslim telah siap-siap melaksanakan rukun Islam ketiga, ialah Puasa. Puasa itu diagendakan pada bulan Ramadhan, di mana bulan ini penuh berkah, melatih kesabaran, dan keteguhan hati. Karena itu, umat Islam dituntut sabar dalam menghadapi tragedi kemanusiaan (humanity).

Musim tragedi kemanusiaan di Indonesia ditandai munculnya dua fenomena. Pertama, korban Covid 19 yang makin positif meningkat. Kedua, munculnya jaringan kelompok radikalisme baru yang berafiliasi dengan penyebaran paham terorisme. Efek sampingnya, korban akan semakin bertambah.

Jaringan terorisme kembali mencuat di tengah sibuknya aparat kepolisian dalam menangani penyebaran Covid 19, Detasemen Khusus 88 Kepolisian Negara Republik Indonesia kian menangkap empat terduga teroris di Muna, Sulawesi Tenggara, kemarin. Mereka diduga memanfaatkan momen saat polisi sibuk tangani Covid-19.(sumber: kompas.id 14/04/20)

Teroris tampak ingin menghalalkan seribu cara untuk melakukan aksi kekerasan maupun pengeboman. Covid 19 belum reda, tetapi terorisme baru-baru ini kembali menyelimuti seluruh masyarakat Indonesia. Fenomena penangkapan itu pasti mengganggu ketenangan dan keamanan umat beragama.

Peran semua pihak telah berupaya dilibatkan oleh pemerintah demi menjaga situasi darurat ini, terutama institusi Polri. Momen lagi darurat, sehingga hal itu menjadi peluang besar dan instrumen politik kekerasan tanpa sadar toleransi dan kemanusiaan (morality). Itulah pikiran emosi dan aksi teroris.

Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang kerapkali menggunakan agama sebagai dalil untuk menghalalkan kekerasan dan pembunuhan. Balas dendam pun telah ikhtiar dilampiaskan, sungguh mereka hanya ingin doktrin agama itu dipahami secara intoleran, ekstrem, dan radikal.

Teladan Kemanusiaan

Salah satu parameter terorisme karena dukungan ideologi agama yang mempengaruhi pola pikir dan pemahamannya. Padahal, aksi teroris merupakan larangan keras dalam doktrin agama apapun. Utamanya, Islam itu sendiri. Jika tafsir mereka itu agama sama saja berani melawan perintah Tuhan.

Agama substansinya bukan malah membuat kekerasan, tetapi bagaimana kita sebagai umat beragama. Baik itu, umat mayoritas maupun minoritas melawan kekerasan yang menggunakan agama. Sejatinya, agama itu mengajak untuk bersikap lemah lembut, sopan-santun, toleran, dan ber-prikemanusiaan.

Pun Islam telah menempatkan persoalan kemanusiaan ke dalam kitab suci al-Quran, bahkan Nabi Muhammad diturunkan ke muka bumi tujuannya adalah untuk menyempurnakan akhlak. Di mana akhlak itu menampilkan suatu prilaku manusia yang baik, bermoral, beretika, dan beradab.

Dalam konteks historis, agama esensinya mengangkat harkat dan martabat manusia untuk meraih kehidupan yang lebih baik, menghargai, serta menghormati perbedaan. Inilah teori hubungan persaudaraan kemanusiaan (ukhwah basyariyah) menolak doktri kekerasan atau paham terorisme agama.

Pandangan teori ini mendorong umat beragama untuk bertabayun (tabayyanu), dan berpikir (tafakkaru) secara kontekstual. Apa makna di balik musibah atau tragedi kemanusiaan ini? Apakah fenomena ini yang disebut-sebut sebagai tanda-tanda kiamat bahwa ajaran sesat tentang keagamaan membuat persaudaraan terpecah belah, dan tidak menghargai sesama manusia?

BACA JUGA  Menangani Radikal-Terorisme: Spirit Nasionalisme yang Tak Banyak Diminati

Meminjam perjalanan Haris Amir Falah yang ditulis dalam buku (Hijrah dari Radikal kepada Moderat: 2019), mengatakan “Lembaga Dakwah Thoriquna di samping melaksanakan kajian keagamaan juga bergerak dalam aksi kemanusiaan. Hal ini penting agar kami bisa lebih menghargai semua manusia.”

Jaringan kaum ekstremis, radikalis, dan teroris, serta umat beragama sudah tiba saatnya berhijrah demi keniscayaan manusia. Kita perlu menginspirasi sosok Haris Amir Falah yang juga pernah menjalani kehidupan radikalisme agama. Namun, ia berhijrah untuk kepentingan humanisme agama.

Pentingnya pendidikan hijrah bagi kaum jihadis, ekstremis, radikalis, dan teroris yang belum sadar paham keagamaan, dan aksi kemanusiaan. Hikmah di balik kekerasan tentu ada hati nurani yang muncul dan memotivasi hidup kita untuk saling menghormati dengan prilaku yang manusiawi.

Pintu Taubat

Peran milenial menebar paham keagamaan yang toleran di media sosial penting untuk mengatasi penyebaran berita palsu (hoax), ujaran kebencian (hate speech), dan wacana radikalisme. Milenial itu harus bertindak cepat membangun wacan-wacana konstruktif terkait kajian keagamaan dan aksi kemanusiaan.

Paling tidak, gagasan ini mengambil dari pengalaman mantan teroris yang telah hijrah untuk membela Islam Indonesia dan aksi kemanusiaan itu sendiri. Pemikiran-pemikiran itu mampu membuat mereka sadar dan bangkit dari tindakan-tindakan yang jahat, keras, dan mudah menghakimi keyakinan orang.

Di antaranya, mantan teroris telah hijrah Nasir Abbas, Umar Patek, dan napiter lainnya. Ditambah lagi, kita dikejutkan oleh mantan narapidana terorisme (napiter) memberikan bantuan 1.350 masker untuk masyarakat. Masker tersebut merupakan hasil produksi dari para napiter yang tergabung dalam Yayasan Gema Salam. Bantuan tersebut diberikan langsung oleh perwakilan eks napiter kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo didampingi Wakil Gubernur Taj Yasin Maimoen di Gedung Gradhika Bhakti Praja. (sumber: ayosemarang.com 13/4/2020)

Hijrahnya dan kelompok itu menjadi mimpi nyata berkontribusi dalam aksi kemanusiaan (membantu pencegahan korban Covid 19). Artinya, simbol teroris yang ada di benak masyarakat kala itu. Kini, telah hilang karena faktor kesadarannya atas paham kebenaran dan jihad kemanusiaan.

Pada akhirnya, hidup di Indonesia dengan keberagaman itu meluapkan benih-benih sikap kemanusiaan yang jauh dari kekerasan. Dan kekerasan hanyalah nilai-nilai dekstruktif yang wajib kita redam. Sehingga kita bisa terhindar dari kesalahan-kesalahan dengan mengadakan agenda pertaubatan.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru