26.2 C
Jakarta

Terorisme, Budaya, dan Nilai Luhur Bangsa

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuTerorisme, Budaya, dan Nilai Luhur Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul buku: Buku Pengantar Dasar Kajian Terorisme Abad 21: Menjaga Stabilisasi Keamanan Negara, Penulis: Syarifurohmat Pratama Santoso, S.IP., ISBN: 978-623-02-0951-2, Tahun Terbit: Mei 2020, Penerbit: Deepublish. Peresensi: M Nur Faizi.

Banyak pihak yang menyangkutpautkan terorisme dan agama. Banyak yang menganggap terorisme adalah bagian ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Munculnya salah penafsiran ini, kemudian disebarluaskan hingga membentuk organisasi keagamaan berwajah radikal. Salah satu contoh organisasi yang tumbuh dengan nalar tersebut adalah ISIS.

Organisasi ini merayap hampir di seluruh negara. Tidak terkecuali Indonesia yang merupakan negara multikultural. Dengan politik minoritas-mayoritas, kelompok Islam radikal mulai mempengaruhi umat Islam di Indonesia. Mereka berupaya meyakinkan bahwa pembentukan negara Islam adalah solusi atas segala ketertinggalan yang dialami negara.

Faktor tersebut bertambah kuat dengan urusan politik keagamaan yang semakin menguat di era tersebut. Kalau pra-reformasi Indonesia hanya mengenal dua organisasi besar yaitu NU dan Muhammadiyah, namun setelah adanya reformasi kelompok-kelompok keagamaan radikal mulai bermunculan untuk membela kepentingan politik mereka. Dalam gerakannya, kelompok ini mempunyai misi terwujudnya formalisasi syariat, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan perda anti maksiat, dan lain sebagainya.

Pada saat ini, agama dijadikan babak belur oleh kelompok radikal. Agama diekploitasi habis-habisan, sehingga wajah agama yang toleran berubah menjadi garang. Nama agama kian terprosok, seiring terungkapnya banyak kasus terorisme yang mengatasnamakan Islam. Akibatnya, kerap kali seorang muslim harus menanggung malu di beberapa negara karena dianggap teroris akibat ulah saudara seimannya.

Terkait dengan ini, kita perlu melakoni agama yang baik dengan citra yang baik pula. Agama harus dikembalikan kepada posisi semula sebagai payung teduh kemanusiaan, keadilan, ketertindasan, dan berbagai problematika sosial [hlm. 43]. Tidak ada cara lain untuk mengembalikan nama baik agama di mata dunia, selain mempresentasikan nilai-nilai Al-Qur’an dan As-Sunnah yang penuh toleran dan kasih sayang. Hal ini ditujukan guna mengeliminasi tuduhan-tuduhan terorisme atas nama Islam.

Selain itu, peran masyarakat juga sangat urgen dibutuhkan. Masyarakat harus membangun komunitas yang mendorong terciptanya kehidupan yang damai, demokratis, dan egaliter [hlm. 57]. Menyadarkan pemuka agama yang berkutat pada tudingan-tudingan sesat dan kafir yang ditujukan kaum mayoritas.  Retorika agama yang fatalistik hanya akan membawa kedangkalan, sedangkan lingkungan masyarakat yang toleran akan membawa penyadaran bagi mereka.

BACA JUGA  Dinamika Zaman dan Sisi Lain Gerakan Radikal

Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah kultural yang bersifat proaktif guna melahirkan citra baik bagi agama-agama. Gerakan Moral Nasional yang diprakarsai tokoh-tokoh agama dari pelbagai organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Hindu, dan Konghucu, dapat dijadikan langkah kultural guna mengkapanyekan wajah agama yang humanis, inklusif, dan pluralis.

Hal ini dapat dilakukan dengan mengangkat estetika budaya yang disusupi nilai agama [hlm. 24]. Pada dasarnya seseorang akan merasa jenuh ketika melakukan kegiatan keagamaan yang sama setiap harinya. Disinilah fungsi budaya sangat ditekankan sebagai obat kejenuhan. Harapannya, justifikasi jelek terhadap perbedaan budaya, dapat dihilangkan dengan kegembiraan yang mereka dapatkan dari budaya itu sendiri. Dengan modal kegembiraan inilah, secara perlahan kita dapat menyadarkan mereka tentang pentingnya sikap toleransi dan kasih sayang dalam beragama.

Pun moral yang dianut masyarakat sebelumnya bersumber dari budaya yang mengakar kuat dari nenek moyangnya. Secara alamiah, nalar kebajikan akan lebih mudah diterima karena sikap tersebut pernah tumbuh dan menjadi laku kebajikan di zaman dulu [hlm. 30]. Nenek moyang terdahulu hanya menganut sistem kebajikan kuat, yang terus dipertahankan oleh keyakinan dan diwariskan ke generasi selanjutnya.

Maka, tradisi yang berkembang sebenarnya adalah prinsip-prinsip luhur sebelum datangnya agama Islam. Oleh Walisongo, prinsip tersebut diakulturasi dan menjadi kebudayaan yang membuat kegembiraan. Modal kegembiraan dimanfaatkan oleh Walisongo sebagai pemikat masyarakat menuju agama rahmat. Dan strategi tersebut berjalan secara sempurna, sehingga banyak masyarakat Indonesia yang memeluk Islam hingga sekarang.

Pada akhirnya, terorisme bisa dirubuhkan dengan pelekatan nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia. Fitnah yang terus diluncurkan oleh kelompok eksklusif bahwa budaya adalah sumber kesesatan, bisa dijadikan titik balik yang dahsyat. Masyarakat bisa membuktikan bahwa tradisi yang mereka lestraikan hingga sekarang adalah sumber kebahagiaan. Dan karena tradisi itulah, agama terus berkembang dan mengambil peran di tengah masyarakat. Semoga tugas berat itu bisa dilaksanakan secara sempurna.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru