27.6 C
Jakarta

Teroris (me) Atas Nama Agama

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanTeroris (me) Atas Nama Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tidak ada satu agamapun yang membenarkan tentang pembunuhan, menyakiti sesama umat manusia serta mengajak menjauhi perbuatan buruk dengan cara mengobankan nyawa. Kehadiran agama bagi manusia bukan sekedar sebagai sistem kontrol terhadap perilaku serta tatanan kehidupan manusia. Secara kompleks, agama menjadi pendobrak serta sistem nilai yang dibutuhkan oleh manusia untuk melanjutkan roda kehidupan antar generasi.

Peran agama yang begitu besar, menjadikan agama sebagai salah satu alasan para oknum kejahatan sebagai alasan dari berbagai konflik. Tidak heran, berbagai masalah yang terjadi ketika bersinggungan masalah agama akan mengancam tatanan sosial serta kerukunan masyarakat. Salah satu konflik sosial yang masih membekas di tatanan sosial kemasyarakatan yakni konflik masyarakat Rohingya di Myanmar. Secara sekilas, kita memaknai bahwa konflik tersebut hanya berasal dari perbedaaan agama, akan tetapi kalau kita cermati lebih dalam. Konflik di daerah tersebut begitu banyak.

Penting untuk memetakan permasalahan konflik yang terjadi pada etnis Rohingya dengan memahami tiga faktor pemicu konflik: Pertama, faktor budaya. Pengaruh budaya suatu negara sangat menentukan karakter dan ideologi bangsanya. Dalam konteks budaya Myanmar, ada anggapan bahwa mereka sangat menjujung tinggi budaya Burmanization (baca; Moh D. Faizal). Burmanization ini menganut pola satu bahasa dan satu bangsa, layaknya pola budaya yang berkembang di Indonesia.

Namun penerapan budaya Myanmar dewasa ini terkesan bersifat fundamental dan anarkis. artinya, Myanmar tidak mengiginkan adanya budaya lain selain budaya mereka, sehingga Myanmar tidak mengakui bahwa etnis Rohingya sebagai warga negara mereka (tribun.news.com, 2/1/2020).

Penyebab permasalahan yang begitu banyal, ketika bersinggungan dengan agama maka sebuah permasalahan hanya akan terlihat penyebab utamanya adalah agama, tidak heran ketika agama selalu disebut sebagai akar dari permasalahan. Utamanya agama Islam yang selalu disebut sebagai agama teroris oleh beberapa para orientalis barat yang mencoba menggali ajaran Islam untuk melihat berbagai kekurangannya serta memberikan stigma buruk terhadap ajaran Islam.

Sejarah term teroris sendiri lahir bukan dari rahim agama Islam. Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), mengatakan bahwa manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak abad ke-19. Dalam kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror. Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur ketika Le Gouverenement de la Terreur (Kerajaaan teror) berkuasa antara tahum 1973-1794. (Kompas.com, 2/01/2020).

Istilah itu dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah dari hasil revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia (Mustofa Muhammad, 2002:45). Dengan demikian term terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa term terorisme berlaku universal untuk semua golongan yang melakukan tindak teror kekerasan.

Tindakan teror juga tidak dilakukan oleh penganut agama Islam saja. Juergensmeyer dalam bukunya Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious mengatakan bahwa semua agama memiliki potensi untuk menggerakan kekerasan bagi para pemeluknya. Ia nenyodorkan beberapa contoh kekerasan yang dilakukan oleh umat Kristen di Amerika Serikat yang mendukung pemboman klinik aborsi dan aksi-aksi milisi seperti pemboman bangunan federal Oklahoma City, perseteruan panjang antara kaum Katholik dan Protestan yang membenarkan aksi-aksi terorisme di Irlandia Utara (Mark Juergensmeyer, 2002:24-57).

BACA JUGA  Mengulik Model Lebaran Ketupat di Madura

Lambat laun, perkembangan terorisme semakin gencar dengan simbol ajaran Islam yang melekat dengan berbagai peristiwa yang terjadi. Konflik antar negara yang masih belum diselesaikan oleh PBB yakni Palestina dan Israel. Para orientalis beranggapan bahwa kejadian tersebut berakar dari ajaran Agama Islam yang membenarkan aksi teror yang terjadi. Belum lagi kasus internasional yang masih melekat. Serangan 11 September 2001 masih menjadi misterius bagi para pembaca, sebab simpang siur informasi yang diberitakan oleh berbagai media belum bisa mengungkapkan kejadian sebenarnya.

Pelaku serangan berawal saat 19 pembajak dari kelompok militan Al Qaeda membajak 4 pesawat jet penumpang pertama Boeing-767. (Kompas.com, s/12/2019). Berdasarkan kejadian tersebut, ajaran Islam diyakini sebagai ajaran yang mewajibkan teror sebagai hal mutlak bagi pemeluk agama Islam. Akan tetapi, stigma tersebut berdasarkan ketidak benaran semata.

Ajaran Islam yang disalah artikan sebagai ajaran mewajibkan membunuh orang lain apabila berbeda keyakinan, berbeda agama serta memiliki perbedaan yang lainnya. Penganut paham radikal yang mengatasnamakan Islam untuk mempraktekan seperti itu berdasarkan pada dalil Al-Quran yang diterjemahkan secara telanjang. Terlihat pada istiah jihad, sebabperjuangan mereka dalam melawan kemungkaran dan musuh-musuh agama dengan caranya sendiri diyakini sebagai jihad.

Hal yang sama juga ditemukan dalam penggunaan istilah musafir untuk mereka yang harus menjalani buron ddalam menegakkan dan menghancurkan musuh-musuh agama, serta menghindar dari bahaya dalam menegakkan “Kalimah Allah”. Jika seseorang harus dipenjara dalam berjuang menegakkan agama, mereka meyakini bahwa pada saat itu, sedang menjalani iktikaf. Sementara orang yang beriktikaf berada dalam posisi dekat dengan Tuhan.

Perjuangan kaum radikal yang berakibat pada aksi teroris, didasari pada kecintaan masa lalu sebab kekaguman mereka terhadap keberhasilan kesatuan politik yang bersifat internasional di masa lalu. Dalam Islam, kesan keberhasilan dan kejayaan sistem kekhilafahan dikagumi sebagai sitem yang sudah mempersatukan umat dan memajukan peradaban dibawah panji-panji agama karena berdasarkan petunjuk Tuhan.

Hal yang menjadi catatan penting kepada kita semua yakni dengan memperbanyak literatur yang bisa kita jadikan pedoman untuk bisa menjawab segala tuduhan serta tudingan tentang Islam. Apalagi yang berasal dari kalangan Islam sendiri. Generasi saat ini cenderung lebih memilih konten yang singkat disertai berbagai ajakan hijrah untuk menolak sistem pemerintahan Indonesia yang bukan atas dasar ajaran Islam.

Dalam konteks yang lebih luas, mereka akan melakukan berbagai hal untuk memperjuangkan ajaran Islam agar negaranya bisa menerapkan aturan Islam tanpa melihat local wisdom-nya. Maka dari itu, kita harus memperbanyak literatur keislaman untuk melihat ajaran Islam lebih luas, serta menerima perbedaan dengan perdamaian, bukan dasar kekerasan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru