26.9 C
Jakarta

Teror-teror di Tengah Virus Corona

Artikel Trending

Milenial IslamTeror-teror di Tengah Virus Corona
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Baru 19 hari, kira-kira, Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) masuk ke negeri ini. Awal Maret Menteri Kesehatan Terawan bersama Presiden Jokowi melakukan konferensi pers bahwa ada dua kasus virus Corona di Indonesia. Per hari ini, Kamis (19/3), dilansir Tirto.id, korban meninggal karena virus Corona mencapai 19 orang, 227 dinyatakan positif terinfeksi, dan 11 orang berhasil sembuh.

“Simpulan sampai dengan posisi saat ini, jumlah akumulatif kasus positif 227,” kata Juru Bicara Pemerintah dalam kasus COVID-19 Achmad Yurianto, di kantor BNPB, Jakarta, Rabu (18/3) kemarin.

Pemerintah pun mengambil beberapa kebijakan penanganan kasus ini, di antaranya ialah penambahan rumah sakit rujukan dan laboratorium pemeriksaan. Ada 15 laboratorium yang digunakan untuk COVID-19 ini, dan total 372 rumah sakit di 34 provinsi digunakan sebagai rujukan.

Masyarakat diimbau untuk mengikuti kebijakan pemerintah, anjuran medis, dan bahkan ada yang mengikuti amalan-amalan dari ulama. Antara kebijakan pemerintah, medis, dan ulama mestinya tidak ada yang perlu dipertentangkan, justru harus saling mendukung.

Lockdown dan social distancing misalnya dari pemerintah, tidak boleh dibenturkan dengan doktrin kegamaan. Misalnya dengan menuduh kebijakan tersebut sebagai upaya membuat umat Islam tak lagi berjemaah di masjid, dan lain sebagainya. Teror-teror tersebut tidak boleh terjadi. Corona tidak akan bisa teratasi melalui ujaran-ujaran provokatif.

Corona dan Ujaran Provokatif

Merebaknya virus Corona tentu menjadi kegelisahan tersendiri. Kekhawatiran masyarakat di negeri ini, di antaranya, ialah, apakah Indonesia dalam dua minggu ke depan akan menjadi seperti Iran: berceceran ribuan korban disebabkan COVID-19. Namun demikian, kekhawatiran tersebut adalah kekhawatiran medis. Artinya, tidak masalah. Lumrah saja.

Tetapi ada kekhawatiran lain yang sengaja dibentuk oleh oknum tertentu. Biasanya yang dibangun adalah kegelisahan kolektif, tentang bagaimana pemerintah saat ini dinilai gagal mengatasi Corona, umpamanya. Lebih dari itu, setiap hari yang dinarasikan adalah bagaimana masyarakat tidak lagi percaya kinerja pemerintah.

Apa imbasnya jika masyarakat berhasil diprovokasi menjadi tidak percaya dengan pemerintah, dalam hal ini presiden?

Jawabannya jelas, yaitu membangun citra buruk pemerintah. Memang, hari in, narasi ini tidak terlampau kuat. Pergerakan mereka rata-rata senyap, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa hari ini kepercayaan masyarakat terhadap presiden berhasil diminimalisir. Pada saat yang sama, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dianggap telah mengambil tindakan yang tepat.

Bagaimana pemerintah pusat belum memutuskan lockdown, dan pemerintah daerah DKI yang telah membatasi muatan transportasi umum demi mencegah risiko penularan, justru menjadi perseteruan pendukung di bawah, juga tidak adanya langkah kooperatif pemerintah dalam mengatasi virus Corona. Di bawah, rakyat adu mulut tentang siapa yang laik menjadi presiden.

Ironi. Indonesia memang ironi. Bagaimana mungkin di tengah musibah Corona, agenda politik melalui ujaran provokatif masih belum reda juga. Upaya mendelegitimasi pemerintah masih kuat. Lalu kita bertanya, ini ulah siapa? Jelas, ini adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Semua sudah mengetahui para pelakunya.

Sejatinya, teror model ini tak terjadi. Rakyat adu mulut masalah pemerintah itu buruk sekali kesannya. Pemerintah mengambil keputusan tidak kooperatif itu tidak mencerminkan tanggung jawabnya. Virus Corona sudah dilengserkan dari posisinya sebagi musibah, menjadi momentum untuk saling menjatuhkan antarpendukung pemerintah.

BACA JUGA  Mengakhiri Propaganda Ajaran Radikal di Medsos

Apakah semua orang sudah kehilangan kewarasan untuk memikirkan nasib kita sebulan ke depan di tengah virus Corona ini? Tentu, saya tidak bertanya kepada politikus.

Corona di Tangan Pemerintah

Jika kira runut pada makna konotatifnya, selama ini radikalisme dimaknai sebagai upaya mengganti sistem pemerintah, atau kalau tidak bisa, mengganti pemerintahnya itu sendiri. Upaya yang terakhir ini dilakukan dengan cara mencitra-burukkan pemerintah yang tengah berkuasa, yakni petahana. Petahana dibuat kehilangan kepercayaan oleh masyarakat.

Ini yang dialami bangsa Indonesia di tengah merebaknya virus Corona ini. Upaya memudarkan kepercayaan masyarakat, karena itu, bisa kita istilahkan sebagai radikalisasi. Radikalisasi di tengah mewabahnya Corona tergolong sebagai teror di tengah musibah. Oleh karena itu, narasi tersebut harus kita bendung karena memiliki risiko dualitas.

Pertama, ia merugikan Indonesia karena pemerintah hanya akan fokus mempertahankan kekuasaannya, menjaga citranya. Bisa kita lihat misalnya bagaimana presiden berusaha tampil percaya diri dan merasa telah mengambil keputusan yang tepat dengan tidak menerapkan lockdown. Sebagai perlawanan terhadap pendukung Anies. Sedangkan Anies di-bully. Hashtag #GubernurTerbodoh menjadi treding di Twitter.

Akhirnya, ini risiko kedua, pemerintah menjadi tidak fokus kepada musibah Corona itu sendiri, dan justru fokus terhadap kepentingan politiknya. Bisa dibayangkan bagaimana nasib rakyat? Padahal, COVID-19 sudah dikategorikan sebagai pandemi global. Berapa rakyat harus mati jika tanpa penanganan yang tepat dan kompak dari semua pihak: pemerintah dan rakyat itu sendiri.

Membendung Radikalisasi

Membendung agenda radikalisasi ini adalah dengan memberikan kepercayaan kepada pemerintah pusat, dan mendukung mereka dalam setiap kebijakan serta penerapannya. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, kita harus terlibat di dalam setiap kebijakan yang diambil. Selanjutnya ialah menjauhi provokasi, baik di sosial media, ceramah, dan yang lainnya.

Mendudukan penceramah sebagai penceramah, yang pesan-pesannya tentang virus ini harus diletakkan dalam ruang doktrin keagamaan. Lalu mendudukan ahli medis dalam kapasitasnya sebagai pejuang kesehatan masyarakat. Yang mau percaya penceramah, misalkan menangkal virus Corona dengan istighfar dan shalawat, silakan saja, dan baik adanya.

Tetapi yang mau percaya medis, dengan melakukan pencegahan yang dianjurkan, seperti memakai masker, menjauhi perkumpulan, tidak bersalaman, dan lainnya, silakan saja, dan juga tidak salah. Yang salah—bahkan terkesan bodoh—adalah membenturkan keduanya. Misalkan, dengan menganggap ahli medis berusaha menghapus shalat Jum’at dan shalat berjemaah.

Narasi provokatif adalah teror yang dibuat oleh oknum yang ingin negeri ini kacau. Sementara, virus Corona dapat juga disebut teror karena keberadaannya yang tak kasatmata. Masyarakat Indonesia harus bertarung dengan mausuh yang sama-sama tidak terlihat ini. Memebendung radikalisasi ini artinya semua pihak harus bertarung melawan teror di dalam teror.

Tentu tidak ada yang menginginkan kemusnahan massal terjadi di negeri ini, disebabkan kebijakan keliru dan agenda-agenda politik tertentu di dalamnya. Indonesia adalah bangsa yang besar, tetapi masih negera berkembang. Menangani pandemi global COVID-19 tidak bisa disepelekan. Kita bukan Iran yang wilayahnya kecil, tetapi juga bukan Cina yang peradabannya maju.

Lalu kita hendak membuat teror di tengah mewabahnya Corona? Keterlaluan.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru