34.1 C
Jakarta
Array

Teologi Pancasila

Artikel Trending

Teologi Pancasila
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejak menguatnya penolakan terhadap nilai-nilai kebangsaan atas dasar paham keagamaan, bangsa ini membutuhkan kesatuan pandangan antara agama dan negara. Ini berarti, segenap upaya penguatan wawasan kebangsaan tidak bisa lepas dari dalil agama. Menjelaskan Pancasila pun, harus melalui bahasa agama.

Ada dua alasan mendasar untuk hal ini. Pertama, tumbuhnya “dendam ideologis” akibat dilarangnya organisasi pengusung khilafah. Organisasi ini telah dibubarkan melalui Perppu Ormas No. 2/2017. Tetapi ideologinya tak bisa padam, karena telah menyebar kuat di akar rumput terpelajar, terutama mahasiswa sejak dekade 1980. Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2016 menunjukkan, terdapat 25% siswa dan mahasiswa yang menganggap Pancasila tidak lagi relevan. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2017 juga demikian: 9% rakyat kita menginginkan khilafah. 9% memang sedikit, tetapi berisi 15 juta jiwa.

Ketertarikan mereka terhadap khilafah dan syariah disebabkan oleh satu hal: iman. Khilafah dipahami sebagai pengamalan iman pada level kenegaraan. Sehingga memperjuangkan khilafah, sama dengan melaksanakan perintah Tuhan. Pemahaman seperti ini didapatkan dari provokasi pendiri Hizbut Tahrir, Taqiyudin al-Nabhani, dalam Al-Shakhsiyyah al-Islamiyyah (1953) yang menyebut Muslim anti-khilafah sebagai Muslim yang mengalami “kepribadian terbelah”. Mengapa? Karena sebagai orang berakidah Islam, ia tidak bersistem politik Islam. Orang seperti ini dianggap murtad: keluar dari Islam.

Oleh karenanya, khilafah telah masuk ke dalam “pori-pori” keyakinan penganutnya sebagai ideologi politik berbasis iman. Tidak ada yang lebih kuat dari ini, yang menunjukkan kegagalan ideologi lain, termasuk Pancasila.

Kedua, sejak maraknya penggunaan sentimen agama dalam praktik elektoral, ke depan agama akan selalu dijadikan modal politik. Kesuksesan modus ini terjadi pada Pilkada DKI Jakarta kemarin. Dan ketika rezim Joko Widodo (Jokowi) membubarkan Ormas Islamis, sudah telak ia dinobatkan sebagai rezim anti-Islam. Massa yang tidak memahami duduk persoalan, akan mudah terprovokasi sebagaimana terjadi pada kasus penodaan agama yang telah memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama.

Dengan demikian, Pancasila kita kini tengah ditantang dari dua sisi. Sisi pertama terarah pada sila pertama, dengan menguatnya ide Negara Islam atau khilafah, bertentangan dengan negara nasional. Sisi kedua tertuju pada sila ketiga, Persatuan Indonesia, di mana sebagian kelompok merobek kemajemukan bangsa, dengan memaksakan paham monolitik. Tantangan atas sila ketiga ini terjadi hingga level politik praktis, sehingga calon pemimpin tak seagama, akan ditolak atas nama agama.

Agama Publik

Problem seperti di atas tidak akan terjadi jika sejak awal, Pancasila dikenalkan sebagai pancaran nilai-nilai agama. Memang secara formal, Pancasila bukan agama. Ia adalah pandangan hidup, dasar negara dan ideologi nasional bangsa. Namun justru sebagai pandangan hidup inilah, Pancasila sebenarnya mewakili nilai-nilai substansial agama.

Sayangnya masyarakat dan aparat negara belum memahami hal ini. Penerimaan Nahdlatul Ulama (NU) atas Pancasila misalnya, masih memisahkan keduanya secara dikotomik. “Pancasila bukan agama dan tidak akan mengganti agama”. Demikian bunyi kalimat pembuka piagam penerimaan NU terhadap Pancasila, pada Munas Alim Ulama 1983. Kalimat ini tentu ingin menunjukkan bahwa Pancasila bukan agama sehingga tidak ada alasan untuk menolaknya. Hal ini sengaja ditekankan, karena umat Islam dan agama lain, khawatir jika melalui kebijakan Asas Tunggal Orde Baru, Pancasila hendak diagamakan.

Pemilahan ini sudah tepat di dalam kondisi ketika umat beragama hendak diarahkan untuk mendukung negara. Namun tidak tepat lagi, ketika agama dijadikan argumen perlawanan terhadap negara. Perlu ada pemahaman baru terhadap hubungan agama dan Pancasila, sehingga umat beragama tidak lagi menolak Pancasila atas nama agama.

Benyamin F. Intan dalam Public Religion and the Pancasila Based-State of Indonesia (2006) menyatakan, bahwa Pancasila merupakan “agama publik” di Indonesia. Di sebut “agama publik”, karena ia mewakili nilai-nilai kepublikan (kebaikan publik) dari agama. Sejak ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan merupakan perintah agama. Persoalannya terletak di dalam definisi agama di dalam “agama publik” tersebut.

Dalam kaitan ini perlu dipahami dua macam definisi agama. Pertama, definisi eksistensial. Kedua, definisi fungsional. Dalam definisi pertama, agama merupakan nilai yang memiliki prasyarat eksistensialnya sendiri. Prasyarat ini berisi teologi, kitab suci, rasul, ritus dan umat. Sedangkan dalam definisi kedua, agama dilihat dari sisi kemanfaatannya, baik personal maupun sosial. Setiap agama memiliki eksistensi dan fungsi. Dan istilah “agama publik” merujuk pada fungsi sosial (publik) dari agama. Artinya, setiap agama memiliki nilai-nilai tentang kehidupan masyarakat yang baik, yang berguna untuk membuat masyarakat menjadi baik. Dalam konteks ini, Pancasila memang bukan agama dalam arti agama personal, namun ia merupakan “agama publik” karena mewakili nilai-nilai sosial agama-agama.

Teologi Politik

Dalam kerangka inilah, sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan teologis bagi “agama publik” Pancasila, karena ia mewakili nilai-nilai teologis. Menariknya, dalam bahasa Yudi Latif (2014), ketuhanan dalam Pancasila merupakan “ketuhanan yang welas asih dan lapang dada”. Ini merupakan pengamalan nilai-nilai ketuhanan melalui sifat welas asih (kemanusiaan) dan lapang dada (toleransi persatuan bangsa). Mengembangkan sifat welas asih ini, ketuhanan Pancasila diamalkan melalui keterlibatan umat beragama dalam proses demokratisasi demi tercipatnya keadilan sosial bagi kehidupan bersama.

Dengan demikian, Pancasila tidak hanya mengajarkan teologi inklusif, tetapi praksis dan transformatif. Inklusif karena ia hadir dengan penghormatan kepada ragam konsep teologi antar-agama. Praksis karena mengandaikan umat, tidak hanya sibuk dalam seremoni ibadah individual, melainkan terlibat dalam praksis politik demi terwujudnya masyarakat demokratis. Dengan demikian, teologi Pancasila ialah teologi politik, yang menggeser identitas individu dari sebatas umat beragama yang saling berbeda, menjadi rakyat yang bersatu demi terwujudnya cita-cita kerakyatan. Inilah yang dimaksud Koentowijoyo sebagai teo-demokrasi. Kita mempraktikkan demokrasi karena perintah Tuhan.

Oleh karena itu, alih-alih bertentangan dengan agama, Pancasila justru merupakan rumusan teologis yang menjadi pancaran nilai-nilai agama. Ia menggambarkan rumusan teologi yang memadukan transendentalisme dan antropomorfisme. Di dalamnya terdapat “rukun iman” yang menandaskan iman kepada Tuhan. Sekaligus “rukun Islam” yang berisi amal ibadah kemanusiaan sebagaimana diperintahkan oleh ibadah semisal zakat, puasa dan haji. Pancasila secara teologis mengamini perintah Allah dalam al-Baqarah:177, di mana keimanan kepada Allah harus diamalkan melalui sifat welas asih kepada sesama dan fakir miskin. Ia juga selaras misalnya dengan “teologi salib” yang mengamalkan kasih kepada Tuhan, melalui kasih kepada manusia.

Oleh karena itu, berbagai kesangsian terhadapnya atas nama Tuhan, merupakan tanda bagi “rabun ruhani” karena Pancasila merupakan nilai-nilai ketuhanan. Kesangsian terhadapnya atas nama syariah Islam juga mencerminkan “defisit pengetahuan”, karena ia mencerminkan nilai-nilai maqashid al-syar’i. Inilah mengapa Indonesia disebut bukan negara agama namun juga bukan negara sekular. Ini pula yang membuat Soepomo dalam Sidang BPUKPI 1945 menyatakan bahwa, “Negara nasional bukan negara a-religius, tetapi negara berdasarkan nilai-nilai agama”.

Sosialisasi Pancasila berdasarkan teologi Pancasila inilah yang ke depan perlu dikembangkan. Pemerintah Orde Baru pernah melakukan ini melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berbasis nilai-nilai Islam. Namun karena sifat keislamannya sebatas legitimasi ayat suci tanpa pemahaman Pancasila yang holistik; Islam hanya dijadikan legitimasi. Ke depan sosialisasi ini perlu dihidupkan dengan pemahaman baru, yakni Pancasila sebagai nilai-nilai teologis, sehingga tidak ada lagi alasan penolakan terhadapnya berdasarkan akidah dan syariah Islam. []

*Tenaga Ahli pada Deputi Pengkajian dan Materi UKP Pancasila

Sumber: Suara Pembaruan, 19 Agustus 2017

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru