26.9 C
Jakarta
Array

Tengku Zul, Haikal Hassan, dan Jurnalisme Absolut

Artikel Trending

Tengku Zul, Haikal Hassan, dan Jurnalisme Absolut
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Jamaah medsos yang berbahagia, kalian sudah menyimak drama (bukan) Korea soal pemilihan pimpinan KPK? sinetron azab kabut asap? Ribut-ribut KPAI vs PB Djarum ngikutin? Geger pemindahan ibukota? Anda juga menyimak banjir hujatan dan cacian terhadap disertasi dari gerombolan ustadz tuna pustaka (buta etika jurnalisme) dan terutama netizen defisit otak, padahal mereka belum baca itu karya?

Mundur sedikit, Kisanak, mengapa orang-orang macam–meski saya agak malas nyebut mereka–Tengku Zul dan Haikal Hassan yang gak ngerti blas soal gramatika Arab (nahwu) dan morfologi (sharf) tiba-tiba jadi ulama dan mendadak ngustadz? Bayangkan, bayangkan sekali lagi kalau perlu, mereka yang tidak bisa membedakan apa itu kafir-kuffar dan tasfrif dari kata “kaffara” serta kerap tebar hoaks dijadikan rujukan agama oleh banyak orang, pimpinan Majlis Ulama pula?

Nah, sekarang agak ilmiah, Kisanak. Pernahkah kalian bertanya, kalau belum ya kali ini silakan coba: kapan kepakaran mengalami kematian? Bilakah ilmu-ilmu dan reputasi akademik terjun bebas dan membusuk? Bisakah ilmu(wan) mendapati kebuntuan, bukan karena benar-salah karya ilmiah mereka, tapi karena industri “like, share, retwit, dan subscribe” telah menjadi acuan kebenaran? Bilakah kiranya benda-benda teknologi abad 21 yang disembah 7 milyar manusia ini mengalami malfungsi? Kapan kepandaian, gelar, pengaruh, kekuasaan dan bahkan umat sekalipun menghadapi cul-de-sac? Pernahkah Anda merasakan mati sebelum mati, menjadi penertawa diri sendiri, menjadi primitif justru di tengah gelegak kemajuan? Apabila sudut-sudut dunia sudah terhubung oleh internet, mengapa kita malah semakin jauh dari kemanusian, kewarasan dan kedirian kita sendiri?

Tengku Zul, Haikal Hassan, Hoaks dan Jurnalis

Untuk menjawab kecamuk tanya itu, ada baiknya kita mampir ke warung jurnalistik. Di dapur jurnalistik terdapat aturan tak tertulis: “man makes news”, bahasa Maduranya, “siapa” yang bikin berita, bukan “apa”. Anda boleh selingkuh dengan pasangan LGBT Anda di perut bumi, monggo ternak reptil di Neptunus, dan bahkan liburan ke galaksi Andromeda, tapi Anda “bukan siapa-siapa”, maka yang Anda lakukan “bukan apa-apa”, mungkin dianggap “sesuatu” oleh sebagian orang, tapi “tidak banget” sehebat apapun itu!

Sebaliknya, Anda hanya terserang flu ringan, atau mungkin bisul manja tepat di atas silikon bibir Anda, tapi Anda seorang figur publik, seorang sosialita, pesohor, selebgram, pemeran sinetron azab, seorang yang marketable, yang layak-pasar, maka bisul Anda akan viral di media sosial dan menjadi isu nasional. Misal, ada hoaks bahwa Tengku Zul dan Haikal Hassan (ustadz non jurnalisme absolut) ganti kelamin dengan kelamin kambing dan kelinci, jelas akan ada kehebohan nasional berbulan-bulan di media cetak dan elektronik.

Teranglah kini bahwa yang menjadi kredit penting dalam dunia penyiaran dan pemberitaan bukan obyektivitas nilai, melainkan subyektifitas industrial. Selera pasar tak jauh dari sentimen-sentimen subyektif serta kepentingan-kepentingan terhadap satu altar kekuasaan yang diiris tipis-tipis menjadi opini publik, plus diviralkan sedemikian gila oleh buzzer-buzzer tengik. Hegemoni macam ini lazim disebut jurnalisme absolut. Yakni sebuah keadaan di mana dunia jurnalistik menjadi penentu gerak zaman dan alur sejarah, mesin propaganda serta pennggiring opini publik paling ampuh. Inilah yang pada tahun-tahun politik kamarin membangkitkan sentimentalis, amuk massa dan gerakan populisme kanan. Apa kalimat ini sulit dikunyah oleh milenial?

Mengobati Penyakit Hoaks di Madia Sosial

Praktis, jika di langit terdapat lauh mahfuzh, di bumi ada media massa. Media cetak dan elektronik adalah decision maker. Hal ini benderang sekali di era Internet of Thing. Pers adalah arsitek sejarah. Media-media sosial adalah mesin social engineering. Dan, kabar buruknya, 150 juta pengguna internet tiba-tiba menjadi bagian dari itu semua, tersubordinasi ke dalam itu semua, terkooptasi ke pinggiran itu semua. Pertanyaannya: di manakah akal sehat?

Baik, ketika mewabah intelectual cul-de-sac, manakala merebak kebuntuan nalar, kita butuh kopi pahit, bahkan jika perlu: jamu. Tidak enak dan pahit, memang! Tapi efektif membangunkan kesadaran dan kewarasan. Namun demikian, kopi bukan sembarang kopi, jamu bukan jamu serampangan. Baristanya adalah para begawan dan resi.  Tukang raciknya adalah para sufi dan ilmuwan, dan bahan-bahan dasarnya warisan para filosof dan bijak bestari.

Jangan sampai kabar-kabar yang terus beterbangan di jagad maya ini malah membawa kabur kesadaran dan nalar jernih kita, sebagai manusia dan sebagai Indonesia. Kubur saja berita-berita buruk itu dalam-dalam, sebelum kaum cuti nalar permanen dan para pandir menyebarkannya bak ayat suci dan sabda Nabi.

Jangan lupa, nalar bisa mati karena terlalu lama cuti, pikiran jernih bisa terkubur jika kelamaan libur, hanya penyakit dan kebebalan yang menular dengan cepat, sementara kewarasan pola pikir dan pola sikap, Anda harus sering ngopi bersama meraka yang jernih nalar dan bening budi, bersama orang-orang saleh yang tulus mencintai manusia dan Tanah Airnya. Di sanalah Tuhan bersemayam. Pendek kata, jika batang besi ingin menjadi magnet, Anda harus sesering mungkin menggosokkan kedua ujung besi itu ke masing-masing kutub magnet.

Setidaknya, jurnalisme absolut itu bisa kita lawan dengan nalar yang jernih, agar kita selalu punya second opinion dalam bermedos. Lalu, kopi pahitnya mana?

Ach Dhofir Zuhry

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru