33 C
Jakarta

Telaah Efektivitas Kontra-Terorisme: Antara Deradikalisasi dan Kontra-Propaganda

Artikel Trending

Milenial IslamTelaah Efektivitas Kontra-Terorisme: Antara Deradikalisasi dan Kontra-Propaganda
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “BNPT: 984 Eks-Napi Teroris Telah Dideradikalisasi, 10 Orang Kembali Radikal”, “Sepuluh Eks-Napi Teroris Kembali Radikal, BNPT: Perlu Penguatan Deradikalisasi”, dan “Deradikalisasi Eks-Napi Teroris Dinilai Masih Lemah, Perlu Libatkan Banyak Pihak”. Tiga judul berita di Kompas itu tidak terlalu mengejutkan. Namun, ada pertanyaan besar yang muncul di benak sebagian masyarakat: kontra-terorisme sudah berhasil atau tidak? Apakah tidak pernah ada evaluasi?

Berita terkini tentang terorisme semakin mengejutkan. Densus 88 kembali menangkap teroris berinisial AAR di Karawang, Sabtu (15/6) kemarin. Beberapa fakta yang menyesakkan ialah bahwa AAR adalah seorang residivis kasus terorisme di tahun 2011 dan 2018 lalu. Ia juga terafiliasi dengan ISIS. Sehari-hari, AAR berprofesi sebagai tukang bubur sumsum, namun Densus 88 menemukan fakta bahwa ia tengah menyusun rencana aksi teror—diciduk bersama bahan peledak di rumahnya.

Artinya, kontra-terorisme di Indonesia—meski telah berjalan selama bertahun-tahun—masih menghadapi tantangan signifikan. Berita tentang AAR menambah deretan panjang bukti bahwa upaya kontra-terorisme di tanah air masih belum sepenuhnya sukses. Kasus-kasus dalam berita di atas kemudian memunculkan pertanyaan besar mengenai efektivitas program deradikalisasi dan kontra-terorisme serta evaluasi terkait yang diperlukannya.

Bagaimana tidak, BNPT mengklaim bahwa 984 eks-napiter telah menjalani deradikalisasi. Namun, fakta bahwa beberapa dari mereka kembali ke jalan radikal-ekstrem menggambarkan adanya celah besar dalam sistem. Berita-berita seperti “BNPT: 984 Eks-Napi Teroris Telah Dideradikalisasi, 10 Orang Kembali Radikal” tidak hanya menunjukkan proses kompleks deradikalisasi, tetapi juga urgensinya untuk tidak dilakukan secara formalitas belaka.

Program deradikalisasi bertujuan untuk mendestruksi pandangan ideologis radikal-ekstrem menjadi moderat dalam konteks berbangsa dan bernegara. Tetapi, hingga kini, tingkat keberhasilan kontra-terorisme belum dapat dikatakan sepenuhnya memadai. Boleh jadi, faktornya adalah pendekatan deradikalisasi yang terlalu normatif dan tidak cukup adaptif terhadap kebutuhan individu dan dinamika psikologis eks-napiter. Itulah tantangan abadi deradikalisasi.

Tantangan Abadi Deradikalisasi

Kasus AAR cukup untuk menjadi sampel bahwa deradikalisasi harus lebih dari sekadar program formal. Diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan komunitas swadaya, keluarga napiter, dan lingkungan sosial eks-napiter. Dukungan dari masyarakat adalah elemen krusial dalam proses reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Tanpa dukungan yang memadai, mereka dapat kembali merasa teralienasi dan potensi residivismenya tinggi.

Pemberdayaan ekonomi juga harus menjadi bagian integral dari proses deradikalisasi. Eks-napiter yang punya keterampilan dan peluang ekonomi cenderung lebih kecil peluangnya untuk kembali ke jurang terorisme. Karena itu, program-program deradikalisasi harus melibatkan pelatihan keterampilan dan kesempatan kerja yang nyata, membantu mereka membangun kehidupan yang stabil dan produktif pasca-bebas dari penjara.

Sungguh pun demikian, tolok ukur efektivitas kontra-terorisme tidak hanya pada suksesnya deradikalisasi personal napiter, tetapi juga pada tertutupnya celah-celah terkait kemungkinannya mereka kembali jadi teroris. Artinya, penegakan hukum secara tegas dan merata, pengawasan yang cermat terhadap aktivitas mereka baik di Lapas maupun luar Lapas, serta terealisasinya good governance merupakan kunci penting yang tidak bisa diabaikan.

BACA JUGA  Kemajuan Bangsa-Negara Tidak Lahir dari Sistem Khilafah

Dengan kata lain, perlu ada upaya serius dalam memahami dan mengatasi akar penyebab terorisme, seperti ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, dan marginalisasi masyarakat. Program-program yang dirancang untuk meningkatkan inklusi sosial dan meminimalisir ketidaksetaraan dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pencegahan radikalisasi. Tetapi pertanyaan besar muncul, mengapa deradikalisasi memakan waktu yang panjang dan cost yang mahal?

Itulah tantangan abadi deradikalisasi. Harga yang harus dibayar tidak sedikit, namun keberhasilannya juga tergantung keseriusan program deradikalisasi itu sendiri. Tantangan tersebut yang kemudian menjadi ruang bagi ‘napiter’ untuk memancing di air keruh, atau mencari keuntungan melalui pembinaan atas mereka. Tetapi, bagaimana pun, deradikalisasi dengan cost tinggi yang harus dibayar ibarat investasi, yakni bahwa keutungannya akan kembali kepada NKRI itu sendiri.

Menakar Kontra-Propaganda Terorisme

Di Indonesia, berbagai strategi dan jenis kontra-propaganda telah diterapkan untuk melawan narasi radikal yang disebarkan kelompok teroris. Misalnya, pengarusutamaan narasi “damai” oleh BNPT. Mereka membuat web dengan nama ‘damai’, podcast juga begitu, dan lainnya. Semua menggunakan kata ‘damai’ untuk satu tujuan, yaitu menggerakkan masyarakat ke arah persatuan dan membenci radikal-terorisme. Narasi pun berlanjut ke kontra-narasi.

Website menjadi sarana kontra-narasi yakni sebagai upaya melawan narasi radikalis-teroris. Di samping itu, stakeholder kontra-propaganda juga melibatkan masyarakat umum untuk membuat dan menyebarkan konten video, gambar meme, bahkan artikel yang menyoroti dampak negatif terorisme serta mempromosikan nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Influencer, aktivis, dan tokoh agama moderat pun dilibatkan dengan satu tujuan: melawan propaganda terorisme.

BNPT sebagai koordinator penanganan terorisme juga telah melibatkan tokoh agama dan mendorong kurikulum pendidikan Islam moderat, misalnya melalui pelatihan dan sertifikasi dai atau program pesantren moderat. Tidak hanya itu, untuk melakukan kontra-propaganda terorisme, BNPT menyediakan program pelatihan keterampilan dan bantuan usaha bagi eks-napiter, misalnya melalui Komunitas Desa Tangguh dan Kawasan Terpadu Nusantara.

Mereka juga kerap berpartisipasi dalam berbagai kerja sama regional dengan negara-negara ASEAN, atau dengan negara seperti AS dan Australia, untuk pelatihan dan dukungan teknis dalam menangani terorisme dan mengonter propagandanya. Di daerah, Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) milik BNPT mengajak masyarakat berpartisipasi melalui forum diskusi kontra-terorisme. Platform media sosial pun juga dikerahkan dalam upaya melawan propaganda teroris.

Baik deradikalisasi maupun kontra-propaganda terorisme, secara regulasi, sudah mumpuni. Para stakeholder telah on the track, meskipun dalam beberapa aspek ego sektoral masih kencang dan mendegradasi efektivitas kontra-terorisme itu sendiri. Ke depan, boleh jadi tidak lagi perlu penambahan regulasi dan cukup mengoptimalisasi yang ada. Sejauh ini, kontra-terorisme sudah berhasil namun evaluasi tetap menjadi keniscayaan secara berkala.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru