26.3 C
Jakarta
Array

Tantangan Radikalisme di Kalangan Mahasiswa Baru

Artikel Trending

Tantangan Radikalisme di Kalangan Mahasiswa Baru
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tahun ajaran baru telah dimulai. Sejumlah Perguruan Tinggi, baik negeri atau swasta, Islam atau non-Islam, telah menerima mahasiswa baru (MABA). Jumlah mahasiswa di peruguran tinggi pun semakin naik. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya berpendidikan tinggi semakin besar, sehingga potensi untuk mewujudkan anak muda yang berjiwa ilmu pengetahuan tinggi dan menjadi generasi emas tidaklah sulit.

Meski demikian, potensi penyebaran radikalisme juga semakin besar. Hal ini merupakan tantangan bagi Perguruan Tinggi untuk selalu terus mengawasi pergerakan dari paham-paham radikal yang telah menyebar luas. Semakin besar jumlah mahasiswa, semakin besar pula kesempatan mahasiswa untuk terlibat dalam gerakan-gerakan atau paham-paham radikal.

Penelitian yang dilakukan oleh kementerian dan sejumlah lembaga survei telah menunjukkan bahwa peruguran tinggi umum telah dimasuki oleh faham-faham radikal. Kampus-kampus ternama pun juga menjadi tempat bersemainya paham-paham radikal.

Tentu ini merupakan sebuah rapot yang harus dituntaskan oleh segenap civitas akademik untuk terbebas dari paham radikal. Bahkan salah satu kampus Islam di Solo telah terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia.

Fenomena tersebut sungguh-sungguh memprihatinkan bagi dunia pendidikan di Tanah Air. Para MABA yang sebelumnya tidak begitu kuat akar tradisi dan paham keagamaannya menjadi sasaran bagi kalangan radikalis. Mereka akan dengan mudah dipengaruhi oleh kelompok-kelompok atau partisan-partisan radikalis atau pun jihadis. Maka dari itu, perlu adanya sebuah gerakan bersama untuk membantu para MABA untuk mengetahui tantangan radikalisme. Bersamaan dengan itu, juga perlu digencarkan penanaman dan penguatan paham kebangsaan di peruguran tinggi.

Radikalisme Menyusup ke Perguruan Tinggi

Tantangan radikalisme di perguruan tinggi bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Perlu diketahui bahwa dalam sejarah terbentuknya Masjid Salman Institute Teknologi Bandung (ITB) tidak lepas dari peran alumni Ikhawnul Muslimin (IM) dari Mesir. Gerakan halaqah yang diagendakan masjid Salman telah mencetak kader-kader untuk berdakwah dan menyebar di beberapa perguruan tinggi lainnya.

Keberadaan IM di Indonesia kemudian dikenal dengan gerakan Tarbiyah. Para alumni Tarbiyah pada periode berikutnya mendirikan Partai Keadilan (Saat ini dikenal dengan PKS). Gerakan Tarbiyah di perguruan tinggi juga diakomodir oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).  Pada awal terbentuknya gerakan Tarbiyah mereka berpandangan bahwa Islam harus menyatu dalam negara. Berbagai upaya yang pernah dilakukan oleh para alumninya dengan mendirikan partai keadilan merupakan sebuah pengejawantahan atas ide dan cita-cita syariatisasi Indonesia.

Gerakan KAMMI di perguruan tinggi umum berperan dalam posisi sentral. Mereka menguasai jajaran elit mahasiswa seperti Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa KAMMI telah memiliki suara banyak di perguruan tinggi umum. Di antara dari mereka juga menguasai masjid-masjid kampus untuk dijadikan sebagai tempat berdakwah.

Tentu ini menjadi problem besar bagi perguruan tinggi dan sungguh sangat disayangkan apabila para MABA telah didoktrin sejak awal perkuliahan untuk memusuhi negara, didoktrin dengan paham-paham Islamis seperti mendirikan negara Islam, menegakkan khilafah di Indonesia, dan sebagainya.

Upaya yang bisa dilakukan oleh perguruan tinggi untuk meminimalisir gerakan-gerakan radikal di kampus bisa mengambil beragam bentuk.  Seperti yang dilakukan oleh sejumlah perguruan tinggi yang telah mengeluarkan anggota atau partisan kelompok radikal bagi dosen atau karyawan; memberikan arahan bagi para mahasiswa yang terbukti terlibat dalam organisasi radikal.

Peran Mahasiswa Lama

Namun perlawanan tersebut tidak cukup jika perannya hanya diambil oleh pihak kampus. Dalam hal ini peran mahasiswa juga penting untuk mengetahui bagaimana gerakan para aktor radikalis di kampus, upaya dan strategi mereka dalam merekrut anggota. Dengan begitu, langkah strategis pun bisa dilakukan.

Setidaknya apa yang dilakukan oleh para mahasiswa lama ialah membaca massa yang mengambang. Massa mengambang ialah mereka yang tidak ikut ke kiri ataupun ke kanan. Gerakan mahasiswa moderat bisa diperluas lagi dengan merekrut para mahasiswa yang mengambang. Bahkan bisa jadi dalam konteks ini seluruh MABA adalah masa yang mengambang. Mereka belum tahu tentang seluk beluk kampus, ideologi-ideologi di kampus, dan sebagainya.

Dengan menyebarkan pengaruh kepada MABA sebagai massa yang mengambang, peran mahasiswa lama dan jajaran birokrat kampus telah berperan untuk mencegah terjadinya radikalisme di kalangan MABA. Jangan sampai MABA dijadikan sebagai alat dan objek atas tindakan intoleran, radikalisme, dan bahkan menjadi terorisme. Perguruan tinggi harus bergerak bersama-sama untuk menolak radikalisme di kampus.

M. Mujibuddin SM
M. Mujibuddin SM
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru