30.1 C
Jakarta

Pesantren dan Tantangan Narasi Islam-Kebangsaan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuPesantren dan Tantangan Narasi Islam-Kebangsaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul buku: Islam Berkembang Tanpa Genderang Perang, Tanpa Ayunan Pedang (Terorisme, Jihad, dan Dakwah), Penulis: Muhsan Elmuhaimin, Judul Resensi: Tantangan Pesantren Terhadap Narasi Islam dan Kebangsaan, Peresensi: M Nur Faizi, Jumlah Halaman: 261 Halaman, Tahun Terbit: 2021, Penerbit: Bintang Pustaka Madani Yogyakarta, ISBN: 978-623-6786-76-5.

Harakatuna.com. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari al-Bara’ bin Azib r.a., Rasulullah bersabda: “Masuk Islamlah kamu, kemudian berperanglah.” Muhsan Elmuhaimin memberikan jalan terang dalam menyikapi hadis ini. Kemudian, ia juga memberikan kekeliruan-kekeliruan pemahaman yang banyak dilakukan orang, yang berakibat pada tindak terorisme dan radikalisme. Maka buku ini cocok menjadi pelindung stigma seseorang akan bahaya ajaran radikal.

Proses penyelesaian yang dilakukan oleh Muhsan Elmuhaimin di awal buku buku dalam menyikapi Hadis Riwayat Bukhari di atas adalah dengan melihat konteks. Kemudian bisa dilanjutkan dengan telaah Asbabul Wurud dari munculnya hadis tersebut. Dalam hadis tersebut, Rasulullah mengetahui nasib dari seorang pemuda non-Muslim yang akan bergabung dengan pasukan Islam. Maka Rasulullah memerintahkan dirinya untuk masuk Islam terlebih dahulu, yang nantinya bisa mati dalam keadaan syahid [hlm. 6].

Rasulullah berkata “Masuk Islamlah kamu, kemudian berperanglah”. Hadits ini tidak bisa dimaknai secara kontekstual tanpa melihat ilmu lain dalam menerjemahkannya. Tafsir-tafsir radikal bisa saja muncul akibat salah paham menafsirkan maksud hadis. Di sini Muhsan Elmuhaimin memberikan dua contoh dari pemikiran yang keliru.

Pertama, masuk Islamnya seseorang hanya untuk berperang [hlm. 5]. Dengan kata lain, perang merupakan indikator yang mengukur keislaman seseorang. Perang akan menjadi sesuatu yang wajar dalam Islam. Sudah ditebak, agama hanya akan menjadi senjata pembunuh massal.

Kedua, hadis ini akan dimaknai sebagai perintah untuk menyeru perang, bukan hanya untuk orang Islam, melainkan orang non-Muslim juga ikut diseru [hlm.5]. Sehingga bisa diubah redaksinya, “Berperanglah kamu atau saya bunuh”. Mungkin akan menjadi seperti itu perubahan makna dari Hadits yang mengajak kebaikan menuju ajakan perang.

Kondisi ini tidak hanya merugikan umat, namun juga agama dan lembaga pesantren yang menerapkan kajian keislaman secara ketat [hlm. 15].

Banyak yang menganggap bahwa pondok pesantren adalah sarang subur di balik penyebaran paham-paham radikal. Padahal, banyak kader-kader Islam yang lahir dari pesantren justru memperlihatkan kesiapannya menghadapi problem-problem di masyarakat. Bahkan, sebelum menjadi ulama, mereka digembleng dengan luasnya khazanah keilmuan dan penataan dasar-dasar moral.

BACA JUGA  Menelaah Isu Khilafah dari Kacamata Sosial-Politik Indonesia

Oleh karena itu, fenomena ini menjadi tugas berat bagi pondok pesantren. Di mana tugas mereka tidak hanya pada pemecahan masalah saja, namun lebih dari itu mereka juga bertugas dalam pelurusan pemahaman yang disebarkan kelompok radikal.

Sekali lagi, pesantren bisa berjuang dalam membela negara. Bukan dengan senjata, melainkan melalui pemahaman agama moderat dan toleran kepada seluruh umat manusia.
Kata santri, yang identik dengan pelajar pesantren mempunyai 5 acuan.

Kata santri terdiri dari 5 huruf hijaiyah, yaitu Sin, Nun, Ta’, Ra’, Ya’. Huruf Sin kepanjangan dari “Satirul Aurat” yang berarti menutup aurat. Huruf Nun bermakna “Naibul Ulama” yang bermakna pengganti para ulama. Kemudian huruf Ta’ kepanjangan dari “Taaibun” yang berarti taubat atau kembali kepada Allah. Huruf Ra’ kepanjangan dari “Raghibun fil Khairat” artinya senang kepada kebaikan. Dan huruf Ya’ kepanjangan dari “Yanfa’ Lighairihi” yang artinya bermanfaat bagi orang lain.

Kelima landasan tersebut akan selalu menjadi pegangan para santri, baik ketika masih belajar maupun sudah lulus dari lembaga pengajaran. Dan ini menjadi angin sejuk pada pemahaman nilai-nilai Islam yang toleran. Pemahaman yang ditularkan santri bersifat inklusif, yang berarti bersifat terbuka dan moderat terhadap suatu permasalahan.

Mereka selalu mengambil jalan tengah dari suatu masalah untuk mendamaikan kedua belah masalah yang menjadi pertentangan.

Santri tidak boleh mendiamkan pemahaman radikal yang terus menjalar. Konter-radikal harus tegas dilakukan, agar perkembangan kelompok radikal tidak terus menyebar [hlm. 16].

Kesalahan yang selama ini dilakukan adalah membiarkan pergerakan mereka tanpa adanya langkah perlindungan atau pencegahan. Kemudian pemahaman mereka yang keliru terus menerus berkembang dan dibiarkan.

Melalui pondok pesantren, bisa digalakkan pemahaman yang bernapas toleran. Pemahaman yang mengajak pada rasa persatuan, bukan peperangan. Pada akhirnya, santri adalah garda terdepan dalam mengatasi sulitnya pemahaman oleh kelompok radikal. Dan dengan santri juga, wawasan keislaman Indonesia akan semakin berkembang.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru