25.3 C
Jakarta

Taliban Tidak Libatkan Perempuan Afghanistan dalam Pembicaraan dengan PBB: Yakin Masih Dukung Khilafah?

Artikel Trending

KhazanahTelaahTaliban Tidak Libatkan Perempuan Afghanistan dalam Pembicaraan dengan PBB: Yakin Masih Dukung...
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kabar soal Taliban yang sempat dihujat karena tidak melibatkan perempuan dalam ranah pemerintahan, kini kembali membuat kehebohan karena masalah serupa. Pasalnya ketika pihak yang berwenang Taliban di Afghanistan akan bertemu dengan utusan-utusan internasional, pada Minggu (30/6) di Qatar untuk melakukan pembicaraan yang digagas PBB, mereka mengesampaikan perempuan Afghanistan.

Banyak sekali kecaman kepada Taliban terutama dari kelompok-kelompok HAM. Sejak kembali berkuasa pada tahun 2021 silam, mereka menerapkan aturan hukum Islam dengan sangat ketat, di mana perempuan adalah kelompok yang paling terdampak terhadap kebijakan tersebut. Para perempuan di Afghanistan, karena mendapat peminggiran dari pihak Taliban dalam melakukan aktivitas publik, oleh PBB disebut “apartheid gender”.

Pihak PBB mendefinisikan “apartheid gender” sebagai upaya diskriminasi seksual, ekonomi dan sosial terhadap individu karena gender atau jenis kelamin mereka. Para perempuan di Afghanistan, pasca Taliban berkuasa melalui penerapan hukum Islam yang sangat ketat tersebut, tentu mendapatkan diskriminasi yang sangat pahit. Pemiskinan terhadap perempuan melalui pelarangan bekerja dan beraktivitas di publik, merupakan kebijakan yang tidak ramah terhadap perempuan. Melihat fakta tersebut, jika hari ini masih banyak orang yang berkoar-koar menegakkan khilafah di Indonesia, maukah perempuan Indonesia seperti perempuan Afghanistan?

Khilafah Memenjarakan Perempuan

Hari ini, kalau kita melihat fakta bahwa, kesempatan berkarir dan tumbuh bagi perempuan di Indonesia sangat besar. Perempuan sudah bisa memilih fokus di bidang masing-masing. Mulai dari politik, pendidikan, ekonomi, hingga bidang profesionalitas lainnya, bisa dilakukan oleh perempuan. Keterlibatan perempuan dalam ranah politik, khususnya dalam ranah parlemen selalu didorong oleh masyarakat sipil, khususnya para aktivis perempuan untuk mendorong kebijakan yang ramah terhadap perempuan.

Pada tahun 2024, Komisi Pemilihan Umum mencatat bakal calon legislatif dari 18 partai politik peserta sebanyak 10.323. Dari total tersebut,  37,7% atau 3.896 bakal calon legislatif perempuan, sedangkan sisanya adalah laki-laki. Dari persentase tersebut, lebih dari 30% perempuan berpartisipasi dalam ranah politik. Ini berarti pula bahwa, upaya mendorong perempuan dalam ranah politik menunjukkan keberhasilan cukup signifikan, sekalipun pasca pemilihan, rakyat adalah faktor penentu utama terpilihnya perempuan dalam ranah politik.

BACA JUGA  Dakwah di TikTok: Pertarungan Ideologi Salafi-Wahabi yang Berpotensi Merusak Persatuan

Seperti yang kita ketahui bahwa, kemerdekaan perempuan yang dirasakan oleh para perempuan di Indonesia masih memiliki banyak tantangan, seperti: budaya, kekerasan, diskriminasi, bahkan kebijakan yang tidak memihak dan tidak ramah terhadap perempuan. Akan tetapi, setidaknya kita memahami bahwa Indonesia adalah negara yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengembangkan potensinya.

Selain itu, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia mengalami penurunan yang signifikan menjadi 0,447, menunjukkan perbaikan yang stabil dalam kesetaraan gender. Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia 2023 sebesar 0,447, turun 0,012 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Kampanye kesetaraan gender yang dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat sipil, aktivis HAM ataupun aktivis perempuan dalam berbagai forum, berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat tentang kemerdekaan perempuan itu sendiri.

Masa Depan Perempuan Indonesia

Jika membaca pengalaman perempuan Afghanistan, setidaknya kita mampu memahami bahwa apabila hari ini kita terus mendukung penegakan khilafah di Indonesia, maka nasib buruk akan menimpa perempuan Indonesia di masa yang akan datang. Upaya-upaya baik yang sudah dilakukan bersama oleh semua pihak, mulai dari masyarakat sipil, para aktivis HAM hingga aktivis perempuan, akan dipatahkan oleh kebijakan penerapan Islam yang ketat dari para aktivis khilafah.

Artinya, mustahil jika hari ini para aktivis khilafah menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia, sedangkan contoh nyata dari Taliban melakukan peminggiran terhadap perempuan. Jika hari ini saja mereka sudah mengkritik para perempuan yang bekerja, berkarir dalam ranah politik, serta para aktivis perempuan, dan terus menganggap perempuan sebagai makhluk domestik melalui konsepsi hukum Islam menurut versi mereka, maka bisa dipastikan jika khilafah tegak di Indonesia, tidak ada lagi kemerdekaan bagi perempuan Indonesia. Maukah kita bernasib sama seperti perempuan Afghanistan? Na’udzubillah. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru