26.1 C
Jakarta

Taliban dan Al-Qaeda (III): Pasca JI Bangkit, Eks-Napiter Akan Berbalik Arah Lagi?

Artikel Trending

Milenial IslamTaliban dan Al-Qaeda (III): Pasca JI Bangkit, Eks-Napiter Akan Berbalik Arah Lagi?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Setelah Taliban menguasai Afghanistan, dan alih-alih menumpas Al-Qaeda justru ia semakin mengeratkan hubungan, AS sudah pasti ketir-ketir. AS juga jelas merasa sangat rugi karena, selama dua puluh tahun di Afghanistan, 1 triliun dolar ludes. Dalam konteks Indonesia, sebelumnya sudah dibahas bahwa kebangkitan Al-Qaeda adalah stimulus kebangkitan JI. Selanjutnya, sebagai seri penutup, ada yang perlu diulas: kalau JI bangkit, apakah eks-napiter akan membelot kembali?

Sebelum ke situ, penting dicatat bahwa Hambali, yang juga memiliki nama Encep Nurjaman, dalang Bom Bali 2002, awal tahun lalu telah mengajukan permohonan bebas kepada AS. Permohonan Kepala Operasi Al-Qaeda di Asia Tenggara tersebut dibuat dengan alasan ingin menikah lagi dan memiliki anak. Kendati Hambali belum bebas dari Camp Delta di Guantanamo Naval Base, melihat politik AS hari ini, kekhawatiran menjadi sesuatu yang perlu.

Indonesia memang belum memberi sinyal apakah nanti Hambali akan diterima atau tidak. Yang jelas, sebagai teroris, ia punya segala macam trik buruk untuk menyelinap, sementara pada yang sama, pemerintah adalah ‘pihak yang baik hati’. Sekarang, Ali Imron dan Ali Fauzi yang sama-sama eks-napiter JI membantu Polri untuk menanggulangi terorisme. Itu bisa jadi bukti, bahwa misalkan, sekali lagi misalkan, Hambali kembali ke Indonesia, pemerintah akan bersikap yang sama.

Pemerintah melakukan persuasi kepada para eks-napiter untuk membantu penanggulangan terorisme. Mereka bahkan mendapat akomodasi terukur, sehingga beberapa teroris telah memiliki profesi seperti berdagang dan lainnya. Abu Bakar Ba’asyir, sejawat Hambali, bahkan hari ini bisa menghirup udara bebas tanpa syarat. Banyak teroris JI yang sudah insaf (diinsafkan?). Namun mari bicara jangka panjang setelah rezim berganti: apakah keadaannya akan sama seperti ini?

Deradikalisasi Eks-Napiter

Dengan pengaruh dan karisma kuat seorang Abu Bakar Ba’asyir dan Hambali, jika sudah kembali ke Indonesia, juga potret kegigihan mereka mempertahankan ideologi apa pun risikonya, tentu keadaannya sangat menakutkan. Belum lagi dedengkot JI yang lain, yang masih hidup maupun yang telah tewas, rasanya sulit sekali melupakan kenangan “berjuang melawan thaghut” di masa lalu. Siapa yang menjamin bahwa eks-napiter sudah seratus persen, sekali lagi seratus persen, insaf?

Noorhaidi Hasan (2019) menyoroti pendekatan pemerintah kepada eks-napiter dan mengapresiasinya. Sejauh ini, deradikalisasi napiter oleh pemerintah dengan melibatkan eks-napiter itu sendiri menuai keberhasilan yang memukau. Alasan mengapa kekhawatiran tetap perlu ialah karena pendekatannya sangat temporal dan materialistis. Cara-cara pragmatis sepertinya akan efektif selama akomodasi tersebut masih tersedia, tetapi bagaimana jika nanti tak ada lagi akomodasi?

MIT di Poso tersisa setengah lusin. JAD sudah tidak jelas setelah Aman Abdurrahman dipenjara. Sejumlah militan teror beraksi tetapi sangat sporadis. Jika analisis Stanislaus Riyanta (2021) benar bahwa JI akan bangun ketika kelompok teror lainnya tiarap, deradikalisasi boleh jadi akan semakin punya tugas yang panjang. Semua ini dengan melihat perkembangan terorisme lokal-global pasca-Afgahnistan jadi angin segar bagi Al-Qaeda dan teroris lainnya.

Kesuksesan deradikalisasi, dengan demikian, harus diimabngi dengan upaya tanpa henti menanggulangi terorisme, betatapun sudah banyak misalnya eks-napiter yang kembali setia apada NKRI. Aparat keamanan, yang terdiri dari Polri, TNI, atau BNPT tidak boleh sesumbar dengan pencapaian menaklukkan hati teroris. Operasi intelijen juga mesti terus dilakukan agar pemerintah tidak kecolongan oleh sinyal-sinyal teror tersebut.

BACA JUGA  Persatuan Melampaui Kepentingan: Telaah Rekonsiliasi Politik Kebangsaan

Perihal AS yang terkesan putus asa menanggulangi terorisme di basis para mujahid seperti Afghanistan, rasanya itu sesuatu yang lumrah. Cara AS adalah cara militeristik, bukan persuasif sebagaimana yang ditempuh pemerintah Indonesia. Tetapi jika pasca-penarikan AS, terorisme akan kembali mencuat ke permukaan, apakah setelah rezim sekarang berganti dan eks-napiter tidak lagi dapat akomodasi, apakah deradikalisasi eks-napiter akan sia-sia?

Penyakit Ideologis Bisa Sembuh?

Persoalan utamanya, jujur, bukan karena Afghanistan saja. Lebih dari itu karena penyakit ideologis merupakan patologi yang tidak ada obatnya. AS sudah keluar banyak biaya, tetapi para teroris mati-tumbuh terus menerus, sampai AS tersalip Cina yang fokus ekonomi. Mungkin karena itu, penarikan pasukan dilakukan dan Biden menyeru akan fokus dengan masalah Tiongkok. Keputusasaan semacam itu apakah juga dialami pemerintah Indonesia?

Teroris, sebagai warga negara, ibarat anak yang nakal dan manja. Sementara itu, pemerintah adalah bapak yang bertugas menjaga bangsa dari kenakalan anaknya. Tetapi kenakalan teroris adalah kenakalan genetik, kenakalan ideologis, yang sampai kapan pun tidak akan pernah berkompromi dengan Indonesia yang dianggap thaghut. Tanpa bermaksud curiga dengan insaf-insaf bersyarat tersebut, pemerintah memang harus menyiapkan obat alternatifnya. Apa pun itu.

Kasus Afghanistan harus menjadi pelajaran betapa terorisme merupakan masalah paling kompleks. Kelompok teror tidak hanya rapi secara struktural dan finansial, tetapi juga memiliki militansi yang tidak ada duanya. Selamanya AS mencengkeram nagara para teroris, selamanya juga para teroris akan mengganggu AS. Di Indonesia, deradikalisasi memang sudah berada di tatanan paling mapan, tetapi apakah itu akan berlangsung selamanya atau tidak, itu perkara lain.

Harap-harap cemas bahwa eks-napiter akan membelot mungkin akan dikata berlebihan, tetapi menegasikan kemungkinan terburuk tersebut adalah cerminan ketidakpahaman terhadap terorisme itu sendiri. Ini bukan dalam rangka menyepelekan upaya deradikalisasi, melainkan untuk menegaskan bahwa penyakit ideologi susah obatnya. Kalau pun obatnya ada, seperti akomodasi yang hari ini mereka dapatkan, itu sifatnya sementara.

Terorisme tidak ubahnya zat adiktif. Sekali terpapar, sembuhnya lama atau bahkan mustahil. Deradikalisasi ibarat rehabilitasi, bisa sukses selama dalam masa pembinaan, tetapi di luar tempat rehab tidak ada yang menjamin. Jaksa Agung AS John Ashcroft menggambarkan ini dengan mengatakan:

Terrorism and drugs go together like rats and the bubonic plague. They thrive in the same conditions, support each other, and feed off each other.

Kendati demikian, satu langkah yang bisa dilakukan sekarang adalah berharap: semoga Taliban tidak berkomplot dengan Al-Qaeda, semoga Afghanistan tidak kembali jadi sarang utama para teroris internasional, semoga teroris JI tidak bangkit dan berlatih ke sana, dan semoga eks-napiter tetap dalam sumpah setianya terhadap negara. Puncak dari segala harap adalah: di tengah semua kerentanan ini, semoga Indonesia baik-baik saja.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru