33.2 C
Jakarta

Taliban dan Al-Qaeda (I): Akankah Terorisme Internasional Bangkit Lagi?

Artikel Trending

Milenial IslamTaliban dan Al-Qaeda (I): Akankah Terorisme Internasional Bangkit Lagi?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sudah satu dasawarsa Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaeda, tewas. Artinya, sudah dua dasawarsa Amerika Serikat berperang melawan terorisme global—sejak AS dan sekutu-sekutunya mengampanyekan war on terror pasca tragedi WTC 9/11. Sejak saat itu, presiden AS George Bush, dan selanjutnya Barack Obama, menancapkan cakarnya di negara basis Taliban dan Al-Qaeda, yakni Afghanistan. AS bahkan menggunakan pesawat nirawak (unmanned aerial vehicle/UAV) untuk memburu para teroris.

Di Afghanistan, untuk diketahui, kelompok islamisme bersarang. Taliban merupakan milisi yang dibentuk pada September 1994 dengan dukungan AS. Gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun tersebut bahkan secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan pada 1996-2001, dan mendapat pengakuan diplomatik dari Uni Emirat Arab, Pakistan, dan Arab Saudi. Namun, hari ini, Taliban adalah pemberontak. Namun AS malu-malu menyebut mereka teroris.

AS menggulingkan Taliban karena dianggap melindungi Al-Qaeda, musuh bebuyutan AS, terutama selama operasi Osama bin Laden, dan dianggap terlibat tragedi 9/11. Langkah Taliban merupakan sesuatu yang lumrah, karena ia dan Al-Qaeda sama-sama kaum islamis-teroris. Selama satu dekade, meski tidak menyebut teroris, AS bahkan bisa melihat setiap langkah Taliban secara real time dan mengambil tindakan. Tetapi tetap, musuh utama AS adalah Al-Qaeda.

Sekarang, Taliban kembali memberontak pemerintahan. Hal itu menguat, terutama, setelah AS memutuskan menarik pasukan dari Afghanistan. Sejumlah pihak, bukan saja khawatir pemerintah Afghanistan kewalahan menghadapi Taliban, melainkan khawatir jika terorisme internasional akan bangkit kembali. Apakah Taliban, misalnya, akan satu haluan dengan Al-Qaeda yang sudah AS anggap lemah, untuk kemudian menyerang AS itu sendiri?

Jadi, inilah berita buruknya. Pekan lalu, Presiden AS Joe Biden mengumumkan bahwa AS akan menarik semua pasukan dari negara itu sebelum peringatan 20 tahun serangan 11 September. Kendati Menlu AS Antony Blinken setuju, Kepala CIA William Burns dan eks-Panglima Angkatan Bersenjata David Petraeus justru berpendapat bahwa pemulangan pasukan AS dapat menjerumuskan negara itu dan membuat AS lebih rentan terhadap ancaman teror.

Penarikan Pasukan AS

Penarikan pasukan AS yang diputuskan Biden boleh jadi bukan akhir dari kampanye war on terror. Namun demikian, spekulasi paling memungkinkan adalah, geopolitik AS berubah: tidak lagi fokus memerangi terorisme, dan menanggap Tiongkok sebagai ancaman lebih besar daripada teroris. Bagaimanapun, Taliban bukan hal penting bagi AS. Al-Qaeda itu dianggap musuh karena ia sangat benci AS dan merugikannya melalui serangkaian teror.

Pentagon memiliki sekitar 2.500 pasukan di Afghanistan dari jumlah tertinggi lebih dari 100.000. Ribuan lagi bertugas sebagai bagian dari pasukan NATO yang berkekuatan 9.600 orang, yang akan ditarik pada saat bersamaan. Pekan lalu, juga, Blinken bertemu Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani serta pejabat senior AS di Kabul, menjelaskan tentang pengumuman Biden untuk mengakhiri ‘perang selamanya’. Mengapa ditarik dan bagaimana konsekuensinya? Ini yang menarik.

BACA JUGA  Mega Korupsi: Penghalang Indonesia Maju, Pemantik Terorisme

Mari amati keterangan Menlu AS Antony Blinken berikut:

“Ancaman terorisme telah berpindah ke tempat lain. Dan kami memiliki hal lain yang sangat penting dalam agenda kami, termasuk hubungan dengan Tiongkok, termasuk menangani segala hal mulai dari perubahan iklim hingga Covid-19. Dan di situlah kami harus memfokuskan energi dan sumber daya kami. Al-Qaeda telah terdegradasi secara signifikan. Kapasitasnya untuk melakukan serangan terhadap AS sekarang dari Afghanistan tidak ada,” katanya seperti dilansir dari ABC’s This Week.

Taliban bisa jadi teroris, dipersilakan juga bergabung dengan Al-Qaeda. Bagi AS, selama tidak merugikan negaranya, itu bukan masalah. AS akan fokus bersaing dengan Tiongkok, yang lebih dianggapnya sebagai ancaman. Namun AS mengabaikan satu kemungkinan besar, yakni konsolidasi aktor terorisme internasional. Negara-negara demokrasi, terutama AS yang dianggap salibi-kafir, akan diserang. Terorisme akan marak lagi. Bagaimana dengan Indonesia, apakah Taliban jadi ancaman terorisme?

Taliban dan Ancaman Terorisme

Mungkin kekhawatiran terhadap bangkitnya terorisme internasional, oleh sebagian pihak, akan dianggap berlebihan dan pesimistis. Tetapi mengabaikan potensi lahirnya terorisme baru, di tengah Covid-19 dan kembalinya gerilyawan Taliban menguasai sejumlah kawasan adalah bagian dari teror itu sendiri. Yang paling dikhawatirkan adalah, Indonesia akan terkena getahnya juga. AS fokus hadapi Tiongkok, sementara bagaimana dengan negara lain yang ikut terancam teror?

Melihat fakta bahwa Taliban sebagai Muslim garis keras sudah jadi pemberontak di satu sisi, dan melihat kesamaan ideologi islamis antara ia dengan Al-Qaeda di sisi lainnya, jelas akan melahirkan dua kekhawatiran. Pertama, Taliban akan kembali berkuasa dalam beberapa bentuk. Pemerintahan Islam (imarah al-islam) yang mereka cita-citakan segera teralisasi. Taliban sudah mendominasi kekuatan pemerintah, maka Kabul akan segera mereka rebut paksa sebagai pusat teritorialnya.

Kedua, Al-Qaeda dan saingannya, Negara Islam di Provinsi Khurasan (IS-KP, atau ISIS), akan mencari keuntungan dari penarikan pasukan AS guna memperluas operasi mereka di Afghanistan. Al-Qaeda dan ISIS sudah berada di Afghanistan, meski hari ini masih tiarap. Negara tersebut terlalu bergunung-gunung, medannya terlalu berat, sehingga banyak tempat terpencil bagi para teroris untuk bersembunyi, sebelum akhirnya mereka berani beraksi.

Apakah Taliban baru menjadi ancaman apabila bersekutu dengan Al-Qaeda dan ISIS? Tidak demikian. Jika pun Taliban akan menentang militan Al-Qaeda dan ISIS, medan Afghanistan cukup aman bagi para teroris. Pendeknya, mungkin Taliban akan kalah juga. Dan masalah besarnya adalah, jika kelompok teroris tersebut memiliki basis teritori yang kuat di Afghanistan, bukankah sesuatu yang pasti bahwa itu menjadi titik tolak kebangkitan terorisme internasional? Sejarah dua dekade lalu mungkin akan terulang.

Bersambung…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru