26.2 C
Jakarta

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 13: Meletakkan Perbedaan Pada Tempatnya

Artikel Trending

Asas-asas IslamTafsirTafsir Surat Al-Hujurat Ayat 13: Meletakkan Perbedaan Pada Tempatnya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

 Harakatuna.com. Mari kita pergi jalan-jalan ke masa lalu, dimana teknologi informasi dicetuskan. Yakni  pertengahan abad 19 lalu. Kala itu, tahun 1969, para peneliti di Universitas California Los Angeles mencoba mengirim data dari satu komputer ke komputer lain. Dan itu berhasil! Upaya pengembanganpun tak bisa dihindari. Hingga, tahun 1971 menjadi tahun pertama kalinya penggunaan surat elektronik. Dunia semenjak itu, menemukan awal dari penamaannya, yang kelak orang-orang menyebutnya dengan global village. Menandakan sekat tak lagi menjadi halangan yang berarti antar manusia dengan manusia yang lain.

Awal abad 20, tepatnya tahun 2003. Merupakan tahun dimana penggunaan jejaring sosial untuk pertama kali. Setahun setelahnya, seorang anak muda yang kuliah di Harvard mencoba menciptakan sebuah jejaring sosial antar mahasiswa-mahasiswa Harvard. Adalah Marx Zuckerberg yang menciptakan thefacebook.com. Pada titik inilah, layaknya bom, thefacebook.com meledak. Ummat manusia mulai terkoneksi tak hanya selingkup kampus Harvard, tetapi seluruh dunia terkoneksi. Pada fase ini, manusia mampu melihat satu sama lain. Lintas lokal dan nasional. Manusia pada akhirnya bisa menyaksikan orang yang berada di belahan dunia lain.

Dalam kaitan itu, secara singkat, ummat manusia telah berada dalam tahap menemukan diri mereka yang ternyata berbeda-beda. Masing-masing kita, kini, sudah melihat perbedaan-perbedaan itu di dunia online atau yang awalnya disebut jejaring sosial. Kita sudah menyaksikan perbedaan dalam budaya, gaya hidup, cara berpikir, kemajuan dan seterusnya. Inilah yang saya sebut dengan kisah dunia. Sebuah kisah keniscayaan rekognisi terhadap realitas perbedaan. Rekognisi ini sebenarnya sudah lama mendesak ummat manusia, sejak 2 abad lalu. Yaitu tahun dimana teknologi komunikasi mulai dikembangkan. Kini, di abad 21, perbedaan itu benar-benar harus diterima.

Keadaan ini global terjadi. Ummat Islam pun tak terkecuali menjadi pengguna dari jejaring ini. Kita kemudian bisa menyaksikan banyak perbedaan-perbedaan pandangan dalam Islam. Perbedaan-perbedaan itu terekspos di media. Dari hal yang prinsip-cabang atau dalam istilah kitab itu furuiyah fittauhid misalnya. Sesuatu yang menurut kelompok lain sebagai akidah yang harus diyakini, bagi kelompok lain bukan bagian dari akidah. Kadang yang terjadi adalah mengkafirkan satu sama lain akibat perbedaan itu. Dalam kaitan itu, sebenarnya Islam sedari dulu bicara perbedaan. Misalnya dalam surat Al Hujurot ayat 13.

Surat Al-Hujurot Ayat 13

ۚ لِتَعَارَفُوْا وَّقَبَاۤىِٕلَ شُعُوْبًا وَجَعَلْنٰكُمْ وَّاُنْثٰى ذَكَرٍ مِّنْ خَلَقْنٰكُمْ اِنَّا لنَّاسُ يٰٓاَيُّهَا

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. (QS. Al-Hujurot: 13)

Menurut ulama’ tafsir, kata lita’arofu memiliki beberapa kandungan makna. Pertama, ia bermakna al’I’tirof, yang dalam bahasa Indonesia berarti rekognisi atau pengakuan, penghormatan kepada orang lain yang sama dengan kita, maupun yang tidak sama. Dalam hal ini, perbedaan keyakinan bukanlah masalah bagi Islam. Bahkan berdasarkan sejarah, Islam merupakan agama yang penghormatannya bukanlah penghormatan pasif. Adalah  sayidina Umar rodiyallahu anhu bersumpah akan melindungi ummat Yahudi dan Nasrani hingga hari kiamat. Kala uskup Sophronius (wafat 11 Maret 638) menyerahkan kunci Yerussalem ke  sayidina Umar rodiyallahu anhu.

Kedua, ia bermakna alma’rifatu wal irfan. Menurut ulama’, li ta’arofu juga mengandung makna semangat dalam mencari ilmu pengetahun dan kebenaran. Ini bisa kita temukan praktiknya, bagaimana ummat Islam belajar kepada peradaban lain. Ummat Islam kala itu belajar dari peradaban Yunani dan belajar dari peradaban Romawi selaku peradaban yang lebih maju ketika itu. Islam secara besar-besaran melakukan penerjemahan karya-karya orang Yunani, Persia, Sangskerta ke dalam bahasa Arab. Yakni pada tahun 750 M, ummat Islam memulai gerakan intektual itu. Penerjemahan ini berlangsung satu abad. Puncaknya ketika dinasti Abbasiyah dipimpin oleh khalifah Al-Ma’mum.

BACA JUGA  Tafsir Ayat Perang: Melihat Konteks Qs. al-Taubah [9]: 29 dalam Tafsir Buya Hamka

Ketiga, ia bermakna al urfu. Menurut ulama’, li ta’arofu mengandung makna menerima tradisi yang baik. Selama ia baik, Islam akan akan menerimanya sepanjang tidak bertentangan dengan perkara prinsipil di dalam Islam. Islam dalam sejarahnya, rata adalah sejarah dialogis antar Islam dan masayarakat. Kini di abad melenium ke-3, kita menyaksikan Islam eksis di berbagai belahan dunia. Islam diterima oleh banyak komunitas manusia yang berbeda-beda latar belakangnya. Islam pada faktanya dinilai sebagai agama yang relevan dengan segala tempat dan zaman. Bahkan ia diterima di tempat yang disebut sebagai tempat yang menjadikan tuhan sebagai kajian ilmu saja. Adalah di Amerika, Islam-pun ada.

Perbedaan Adalah Keniscayaan

Berdasarkan kandungan makna li ta’arofu, maka perbedaan bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Ia adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima oleh manusia. Bahkan hal itu dipertegas oleh Alloh dalam ayat lain. Memang keadaannya ummat manusia tak dikehendaki sama. Seperti dalam terjemahan surat Yunus ayat 99-100. Perbedaan itu hendaknya dinikmati.

Mari kita pergi ke Negara yang semboyannya Bhineka Tunggal Ika, Indonesia. Negara ini sangat indah. Ia kaya akan hutan tropis. Merupakan Negara yang disebut juga sebagai paru-paru dunia. Ia kaya dengan komunitas manusianya. Berbagai suku ada di tempat ini. Sebuah bangsa yang dikenal karena keragamannya. Sejarah menjadi Indonesia-pun dari akar keragaman ini. Keragaman Indonesia kini menjadi modal sosial dalam pergaulan antar Negara.

Sebagai penutup, setiap orang mestinya menerima perbedaan. Tidak menerima, sama artinya tak menerima kehendak Alloh SWT. Tak seharusnya manusia mempermasalah perbedaan-perbedaan yang dimilikinya. Mempermasalahkannya hanya akan menciptakan perkara kontra-produktif. Tugas manusia adalah menerima perbedaan-perbedaan itu untuk dijadikan sebagai potensi, kekuatan dalam menghadirkan kemanfaatan di muka bumi. Inilah yang dimaksud sebagai rahmat Alloh dalam realitas perbedaan. Dalam konteks inilah seharusnya perbedaan diposisikan sebagai modal bagi kita semua, terutama bagi ummat Islam dalam mengarungi dinamika peradaban.

Zulkarnaen

 

 

 

 

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru