29.5 C
Jakarta

Syekh Ali Jaber, Raffi Ahmad, dan Bagaimana Kita

Artikel Trending

Milenial IslamSyekh Ali Jaber, Raffi Ahmad, dan Bagaimana Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Derasnya kabar meninggalnya ulama-ulama di dunia mengingatkan kita bahwa tak ada manusia yang kuasa mempertahankan eksistensi hidupnya. Manusia dengan segala keterciptaan nan keagungannya tak mungkin pernah selesai selama nyawa dikandung badan dan tak bisa menerawang celah-celah hidup seperti kematian. Adidaya manusia begitu rapuh bila berhadapan dengan takdir Tuhan.

Syekh Ali Jaber dan Teladannya

Garis titah Tuhan bernama takdir itu telah ditancapkan kepada semua makhluknya. Seperti juga kepada Ustaz Ali Saleh Mohammed Ali Jaber atau lebih dikenal Syekh Ali Jaber. Wafatnya Syekh Ali Jaber menandakan bahwa kita tak bisa mempertahankan kuasa dan adidaya hidup yang tak terduga. Interaksi hidup dan demikian jaringan relasinya sering dan sudah pasti diputuskan oleh Maha Takdir.

Masa, dan asa hidup sebagaimana penciptaan dan kelahiran adalah kepulangan dan kepergian. Panggilan dan seruan manis “Irji’i…” menandaskan bahwa manusia dalam segala lingkup kehidupannya akan selalu bertemu dengan pamlet besar berulis: “Selamat Datang Kematian”. Ya, manusia hakikatnya berjalan dalam kematian di atas kehidupan. Manusia hidup berjelajah di atas takdir-takdir yang baru yang bergerak dinamis.

Syekh Ali Jaber ada di sana. Di kematian yang indah. Bukti keindahan itu, ia gembira menghadap takdir dengan senyum “basah” keikhlasan. Ia lepas dari ketakutan dan kekalutan. Ia mudah melepaskan segala dan semua atribusi dunia, dan benda material yang menempel pada dirinya, juga pada lingkungannya, dan orang-orang terdekatnya. Kematian adalah jalan menuju kebahagian nan kegembiraan hidup abadi.

Lintasan masa hidup Syekh Ali Jaber hanya mencintai. Dan karena itu ia juga dicintai sesama. Tak hanya orang Muslim yang mencintainya, tetapi juga non-Muslim. Syekh Ali Jaber berbakti kepada semua dan menginginkan semua sesama manusia hidup rukun dan damai sentosa.

Segala cobaan yang menimpanya, tak menyurutkan untuk berbagi pengalaman lewat jalan dakwah. Baginya, kemandekan berdakwah adalah kehidupan yang mati, dan kerena itu hidup menjadi sia-sia. Kita ingat saat Syekh Ali Jaber diberi cobaan Tuhan lewat perantara penusukan terhadapnya di Masjid Falahuddin, Sukajawa, Bandar Lampung, 13 September 2020. Tapi ia besoknya, tetap menjalani misi berdakwah ke Malang dan sekitarnya.

Di lengan yang tertancap pisau, dan darah yang mangairi badannya, dan busana hitamnya, Syekh Ali Jaber tetap tersenyum dan memaafkan anak muda si penusuk itu. Seribu mata masyarakat memelotinya, dan seratus tangan ingin menghajar pemuda itu. Tapi dihalangi oleh Syekh Ali Jaber. Menurut Syekh Ali Jaber, tak elok dan tak pantas sesama manusia saling amuk dan saling hajar hanya seberkas kesilapan.  Sesama manusia tak patut saling mendendam. Yang patut adalah saling memaafkan dan bebuat kebajikan.

Syekh Ali Jaber tak gentar. Karena ia percaya jalan takdir. Di tiap-tiap tausiahnya, Syekh Ali Jaber selalu mengungkapkan bahwa kunci sukses dan selamat dunia dan akhirat, adalah percaya takdir Tuhan. Tapi di samping itu, ikhtiar tetap harus dikerjakan dan dilakukan karena itu adalah ajaran Islam dan Tuhan.

Sikap bersikokoh percaya takdir, Syekh Ali Jaber bisa menjadi Warga Negara Indonesia. Dengan perjalanan yang panjang dan rumit, akhirnya pada 2008 Syekh Ali Jaber dapat panggilan jadi Imam salat di Masjid Sunda Kelapa. Rutinitas ia kerjakan secara istikamah. Sepanjang di Indonesia, dari tahun 2008, berlanjut tahun 2009, 2010, Syekh Ali Jaber bertemu dengan orang-orang baik, untuk menceritakan apa itu Indonesia dan mengajari berbahasa Indonesia.

Tepat di tahun 2008, Syekh Ali Jaber dipercaya mengisi acara tausiah di televisi bersama Ustaz Yusuf Mansur. Bertema “Nikmatnya Sedakah”. Kala itu Ustaz Yusuf Mansur menjadi translaternya. Dengan berbahasa Indonesia yang tertatih, tapi pemilihan bahasa yang halus dan bagus, tausiah Syekh Ali Jaber membekas di hati umat. Menyenangkan. Umat merasa telah diberikan ilmu dan pencerahan dari orang yang tepat: Syekh Ali Jaber.

Bahkan pada 2011, Syekh Ali Jaber diundang acara buka puasa bersama Presiden SBY dan Kedubes Negara Arab. Tak terduga, tiba-tiba ia disuruh berceramah untuk menggantikan penceramah tak bisa hadir. Pada hari dan kesempatan itu, Syekh Ali Jaber disuruh berceramah dua kali, satu kali acara. Saat ceramah, Presiden memakai alat terjemahan, dengan anggapan bahwa orang Arab pasti tidak mungkin pakai bahasa Indonesia. Tapi apa hendak dikata, Syekh Ali Jaber begitu fasih berbahasa Indonesia, saat mengucapkan, “Saya muliakan, saya cintai, ayah kami Bapak Presiden RI”. Dan saat itu juga, Presiden SBY kaget dan menurunkan alat penerjemahannya.

BACA JUGA  Aplikasi Prinsip Wasatiah dalam Menyikapi Hisab-Rukyat Ramadan

Takdir telah mempertemukan Syekh Ali Jaber dengan orang-orang “penting” di Indonesia. Takdir memudahkan Syekh Ali Jaber menapaki jalan lempang dunia, untuk misi dakwahnya dan kemanusiaannya. Dan pada tahun 2011 juga, takdir dan karunia Tuhan memberikan Syekh Ali Jaber dengan kejutan, tawaran dari orang nomer satu di Indonesia, untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Padahal, sebelumnya, ia untuk menjadi WNI, Syekh Ali Jaber harus membayar duit Rp 150 juta. Tapi, dengan jalan ikhtiar dan percaya takdir, arus balik pembalasan kebaikan menyertainya: dulunya diminta Rp 150, kini gratis.

Syekh Ali Jaber dalam pencarian Tuhan terarah. Berkah pesutan dakwah-dakwah lembutnya, umat Indonesia seperti menikmati cahaya dari Islam. Bahkan dunia dan Indonesia begitu merasakan bagaimana cara menikmati hidup, sedakah, dan damainya Indonesia. Kita beruntung pernah bertemu atau sekadar mendengar ceramah-ceramahnya di media sosial. Di ceramahnya, Syekh Ali Jaber bisa menjembentani dan memoderasi tendensi “demosasi agama”.

Syekh Ali Jaber memiliki pandangan yang sangat jernih tentang ajaran Islam, Nabi, Tuhan, dan kemanusiaan. Dan dari situ ia memantulkan pandangan jernih pula bagaimana berhidup dan menghormati hak asasi sesama hidup manusia. Di dirinya, hidup dan kebaikan adalah mutlak milik seseorang dan Tuhan.

Tapi hari ini, Syekh Ali Jaber telah tiada, 14 Januari 2021. Al-Fatikha untuknya. Kita kehilangan mata air keteladan. Seabrek kesedihan membara. Tapi kiranya nilai-nilai teladan atau keteladan harus tetap hidupkan, dikobarkan. Meski tak mudah dicari gantinya, tapi bekas teladannya harus ditancapkan untuk menjadi kekuatan dalam generasi umat selanjutnya. Kita kehilangan panutan saat sayang-sayangnya. Saat dunia membutuhkan sosok bijak. Saat Indonesia diterpa devisit keteladan. Ketiadaan Syekh Ali Jaber memecah tangis umat Indonesia dan dunia.

Tapi di tengah seduh sedan itu, di belahan dunia lain, kita dihadapkan pada dunia yang membingungkan. Memperlihatkan perilaku disorentasi dan kontra dinamistik. Seorang figur dipilih menjadi teladan dan mengatasnamakan generasi milenial, Raffi Ahmad memperlihatkan perilaku yang suram. Sejak “ulah” itulah, langit Indonesia membalah, tapi surplus kegaduhan. Kegaduhan akibat “kecerobohan” Raffi Ahmad, setelah mendapatkan atau dipilih/diberi jatah awal untuk vaksinasi tapi malah keluyuran bersama Ahok dan temannya, tanpa menerapkan 3M. Meski ada klarifikasi dan permintaan maaf, ebagian masyarakat tidak menerimanya. Raffi Ahmad dan Ahok tetap menjadi kobaran amok.

Raffi Ahmad dan Bagaimana Kita?

Jutaan manusia Indonesia lebur pada perdebatan itu. Kematian dai teladan itu sirna dan tenggelam pada perdebatan perilaku sosok Raffi Ahmad yang ingin dijadikan teladan vaksinasi oleh Negara Indonesia bagi rakyatnya. Raffi Ahmad adalah sosok publik figure, yang diharapkan punya misi dan visi kepublikan. Raffi Ahmad dijadikan figure vaksinasi untuk memberi rangsangan pada masyarakat Indonesia agar berani dan mencontoh untuk vaksinasi. Tapi ia hanya sekadar menjalankan perintah, tapi tidak otentik mematuhinya.

Di atas dua kejadian itu, apa yang hendak kita bisa lihat–kalau tidak bisa kita tiru? Daya sintas suatu pesohor, dan tentunya kita, harus komitmen menjalankan misi kebijakan pada kebajikan, atau kebajikan pada kebijakan. Kita perlu menghindari kecerobohan yang bersifat umum, dan atau bahkan tidak berlaku adil kepada diri dan orang lian. Karena dalam sejarahnya, setiap tindakan ketidakadilan akan melahirkan timbal balik, atau karma ketidakadilan yang lain. Ini bukan cuma pada perilaku, tetapi juga pada penagak hukum, dan sebangsanya. Dari kasus Raffi Ahmad ini, kita pasti menunggu jalannya hukum berlaku padanya, sebagaimana pada Rizieq Shihab.

Tapi boleh jadi di dunia ini memang tidak ada keadilan. Setiap diri manusia menginginkan keadilan untuk di dalam, dirinya, dan kelompoknya. Tapi keadilan bukan untuk yang di luar, dan kelompok yang lain. Itulah sebabnya, sebagian orang menginginkan keadilan, keadilan yang fana. Yang melucuti definisi dan arti keadilan itu sendiri.

Kita sering bicara indahnya keadilan, bukan? Tapi sebagian orang lebih suka keadilan di atas ketakadilan. Itulah ambiguitas manusia. Kita bicara indahnya keadilan, hanya muncul saat kesulitan menghajar kita. Mendapuk kita. Mendera kita. Dan pandangan itu yang membentuk perilaku kita, masyarakat Indonesia, termasuk dalam menghadapi dunia dan ancaman virus. Kematian datang karena takdir yang baik untuk menemukan kebaikan. Tapi sebaliknya, kematian beruntun datang, sebab kesilapan dan ketakadilan syakwangsa mencerna suryakanta dunia.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru