29.7 C
Jakarta
Array

Surat Al-Fiil dalam Kitab Tafsir Al-Manar Perspektif Muhammad Abduh

Artikel Trending

Surat Al-Fiil dalam Kitab Tafsir Al-Manar Perspektif Muhammad Abduh
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Al Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantara malaikat Jibril. Kitab suci ini (Al-Quran) apabila dibacakan atau mendengarkan maka mendapatkan pahala begitu juga bagi yang mengamalkannya akan mendapatkan pahala lebih dari itu. Al-Quran merupakan kitab suci bagi ummat Islam sekaligus sebagai pertunjuk menuju kemenangan yang hakiki. 

Wahyu diturunkan senantiasa mengiringi manusia sesuai dengan perkembangan dan kemajuan berfikir manusia. Ia memberikan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh setiap kaum para rasul. Tidak diragukan lagi tentang kebenaran Al-Quran, dengan berbahasa Arab  dengan sastranya yang tinggi, tidak dapat ditiru oleh manusia walaupun hanya satu ayat. 

Pada masa Rasulullah sertalah wahyu diturunkan kepada beliau, Rasulullah langsung menyampaikan ayat tersebut kepada para sahabat dan menjelaskannya kepada mereka. Kemudian para sahabat menghafalkannya dan sebagian dari mereka menuliskan. Setelah itu barulah mereka menuliskan ayat tersebut di atas pelepah kurma, di kulit pohon dan di kulit binatang. 

Walaupun Rasulullah telah menyampaikan ayat Al-Quran kepada para sahabat yang ada dalam kawasan beliau, banyak juga para sahabat mempunyai masalah dalam memahami ayat Al-Quran tersebut, Ketika itu para sahabat langsung menanyakan perkara tersebut ke Baginda Rasulullah SAW, dan Rasulullah menjelaskannya sehingga para sahabat memahaminya.

Namun bagaiman ketika Baginda Rasulullah wafat?, ke manakah para sahabat menanyakan masalah mereka dan dari mana mereka mendapatkan penjelasan tentang wahyu itu?. Dikala itu para sahabat berijtihad sendiri yang terkenal ijtihad pada saat itu adalah ijtihadnya Ibnu Abbas, Umr bin Khatab, Ibnu Masud dll. Dengan ijtihad mereka maka munculah ilmu Tafsir seperti yang kita kenal sekarang ini.

Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il” artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. Kata kerjanya mengikuti wazan “dharaba-yadribu” dan nashara-yanshuru.” Dikatakan: “fasara asy-syi’a-yafsiru, fasran, dan fassarahu,” artinya “abanahu” (menjelaskan). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.

Dalam Lisanul ‘Arab dinyatakan: kata “al-Fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud suatu lafazh yang musykil (abstrak).                     

Muhammad Abduh adalah seorang tokoh mufassir yang hidup di era kontemporer, kitab tafsirnya al-Manar yang dikenal dengan pemikirannya yang condong membebaskan akal pikiran dari taqlid yang menghambat pengatahuan agama. Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Di Mahallat Nashr, kabupaten al-Buhaira, Mesir, adalah kota tempat kelahirannya pada tahun 1849.

Surat Al-Fiil adalah surat yang menghadirkan banyak penafsiran oleh para mufassir. Salah satunya adalah Muhammad Abduh. Dalam menafsirkan surat ini, khususnya pada ayat ke 3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut :

وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْراً أَبَابِيلَ ﴿٣﴾ تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ ﴿٤﴾

Artinya : Dan Dia (Tuhan) mengirim kepada mereka (tentara bergajah) burung Ababil (berbondong-bondong), melempar mereka dengan batu-batu dan sijjil.

Abduh menyatakan bahwa burung-burung tersebut adalah sejenis lalat atau nyamuk yang membawa bakteri-bakteri yang mengakibatkan penyakit cacar dan campak. Dalam hal itu, Muhammad Abduh menafsiri “Thair Ababil” dalam Surat al-Fil berbeda dengan ulama lain yang lebih suprarasional. Bahkan banyak para ulama yang kontroversial terhadap penafsiran Abduh. Seperti Sayyid Quthub, lebih cenderung menafsirkan dalam kawasan “Khawariqul Adah” kejadian yang luar biasa.

Sayyid Qurtubi lebih mendepankan peristiwa tersebut dengan kejadian yang luar biasa, Dengan kejadian itu membuat sebuah kesan sebagai perbuatan dari Tuhan, yang mengesankan perbuatan itu diluar kebiasaan. Hal tersebut sebagai contoh bagaimana ia menjaga dan memelihara tempatnya yang suci. Sayyid tidak mengungkapkan atau tidak ada yang mendukung penafsirannya  peristiwa tersebut sebagai wabah campak atau lepra.

Penafsiran Muhammad Abduh tentang ayat tersebut “thair ababil” sebagai nyamuk yang membawa penyakit campak atau lepra, beliau menggunakan ilmu kedokteran tentang penyakit lepra (mycobacterium leprae). Yang bersumber dari bakteri binatang tertentu. Penafsiran ini lebih dipahami oleh umat sekarang dengan kemajuan berbagai ilmu dan dapat di uji kebenarannya, ini merupakan kelebihan dari penafsiran Abduh.

Walaupun penafsiran Abduh ini sangat berbeda dengan mufassir yang lainnya yang menyebutkan sebagai peristiwa yang “luar biasa”. Penulis disini tetap menganggap penafsiran Muhammad Abduh itu sebagai penyempurnaan tafsir yang sebelumnya. Karena para mufassir sebelumnya belum mengenal dengan penyakit lepra yang bersumber dari binatang tertentu itu.

Seorang mufassir adalah sosok yang meneruskan estafet Baginda Rasulullah dalam perannya menjelaskan Al-Quran kepada seluruh umat manusia, seperti yang pernah dilakukan oleh Ibnu Abbas, Umar bin Khatab Ibnu Mas’ud dll. Dalam perbedaan pendapat antara mufassirin dalam ijtihadnya adalah rahmat. Al-Qur’an sendiri adalah kebenaran yang haqiqi dan tafsir adalah kebenaran bagi penulisnya untuk memahami isi ayat Al-Quran dengan syarat dan ketentuan yang telah ditentukan sebagai mufassir.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru