31.4 C
Jakarta

Sumbangsih Hari Santri dan Eskalasi Politik

Artikel Trending

KhazanahOpiniSumbangsih Hari Santri dan Eskalasi Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Lima tahun yang lalu setelah disahkannya Hari Santri Nasional (HSN) oleh Jokowi, para santri menemukan sumbu momentumnya; para santri mulai dilirik hingga ke pentas yang lebih besar, para santri mendapatkan pengakuan-pengakuan publik hingga ke dunia internasional. Santri hari ini “harus” mengatakan dengan nyaring bahwa dirinya sebagai jati diri “santri” yang banyak memberikan sumbangsih terwujudnya kemerdekaan Indonesia.

Sumbangsih kaum santri sudah lama menggaung meski lama juga disimpan dengan rapat. Bukan lagi perbincangan yang baru muncul ke permukaan, bukan pula hasil karya ilmiah apalagi dibuat-buat untuk suatu kepentingan komersil. Kenapa baru lima tahun yang lalu barisan santri ini mendapatkan pengakuan dari pemerintah? Memang tidak gampang untuk memperoleh pengakuan bahwa, tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Banyak oknum yang mengaku berjasa, baik dari partai politik maupun secara personal. Namun, secara politis masih ada yang menolak lahirnya 22 Oktober menjadi hari santri. Penolakan ini datang dari berbagai macam kalangan; seperti omas, partai politik, dan sebagian masyarakat yang tidak suka kepada kaum santri. Nuansa politisnya akan terasa lebih kental jika dibahas lebih mendalam lagi.

Perlu Dibumingkan

Tapi ingat, ada 13 ormas yang menyetujui ditandatanganinya Hari Santri pada tanggal 22 Oktober melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2015. Sebelumnya, prof. Sai Aqil Siroj, MA., dengan getol memimpin tokoh-tokoh penting dari berbagai ormas Islam untuk bersama-sama memperjuangkan lahirnya Hari Santri. NU merupakan ormas terbesar di Indonesai sedang Muhammadiyah adalah ormas kedua yang mewakili mayoritas masyarakat muslim di tanah air. Kenapa Muhammadiyah menolak lahirnya Hari Santri hanya dengan alasan adanya sekat historikal sosial antara santri dan non-santri. Diawal telah ditegaskan adanya nuasa politis yang tidak begitu tampak tapi membingungkan masyarakat.

Wacana ini butuh untuk dikenalkan ke publik; khususnya bagi generasi millenial yang belum pernah membaca sejarah perjuangan para ulama. Melalui pemaparan sejarah sedikit banyak masyarakat akan paham bahwa, momentum Hari Santri meretas dari perjuangan atau jihad, bukan karena politik. Hari Santri adalah hari bersejarah bagi ummat muslim Indonesia, hari perjuangan bangsa yang dikenang.

Bayangkan jika KH. Hasyim Asy’ari tidak menyerukan jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 kepada tentara Sekutu yang ingin menjatuhkan Indonesia pasca-Proklamasi kemerdekaan. Mungkin tidak akan ada momentum sejarah kemerdekaan dan Hari Santri. Resolusi Jihad bukan pengkaplingan historis demi kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu. Resolusi Jihad sebagai kepanjangan tangan dari Hari Santri, sejarah bangsa yang bisa dipetik hikmahnya untuk semua masyarakat Republik Indonesia.

BACA JUGA  Bahaya Besar Jika Gen Z Defisit Religiositas

Setelah ditetapkannya Hari Santri tidak berselang lama para santri mendapatkan kabar gembira dengan disahkannya UU Pesantren. Memang UU Pesantren tidak lebih sebagai afirmasi pemerintah, apresiasi dan legitimasi serta dorongan kepada para kaum santri. Kini, santri seyogyanya mengisi ruang-ruang seperti; menjadi menteri, wakil presiden, bahkan presiden sekalipun untuk memajukan dan mensejahterakan Indonesia.

Santri, Kebangsaan, dan Nasionalisme

Lukman Hakim, sosok santri yang saat ini menjabat sebagai Menteri Agama mengatakan bahwa; kegiatan HSN 2019 akan dikemas dengan rangkaian acara kebudayaan. Tidak melupakan kebudayaan memang bagian dari ciri khas pesantren, bukan menentang apalagi mencemooh sebagai bid’ah.

Memaknai kebangsaan dan nasionalisme tidak harus kaku. Artinya, imajinasi dan kreativitas para santri harus bergerak dinamis, bergerak sesuai dengan laju perkembangan zaman. Buktinya pada penggelaran acara Hari Santri Nasional 2019, sudah mampu mendesain kegiatan yang menarik seperti; Santri Millennial Competitions, Kopdar Akbar Santrinet Nusantara, Muktamar Pemikiran Santri Nusantara, Malam Kebudayaan Pesantren, Roan Akbar, Parade Santri Cinta Damai, Malam Puncak Santriversary 21 Oktober, dan Upacara Bendera saat Hari Santri pada 22 Oktober 2019.

Itu sebabnya, issu-issu kebangsaan mulai berkembang dan dikaji di pesantren-pesantren. Sebab pesantren adalah lembaga dakwah yang menularkan semangat nasionalisme.  Hal ini senada dengan perkataan Gus Dur (2007), bahwa pesantren lahir dari subkultur masyarakat.

Sosok kesantrian Gus Dur membumikan nilai-nilai kemanusiaan, keindonesaia, dan transformasi kebudayaan, sampai detik ini masih berdetak sebagai ruh atau falsafah negara. Tidak salah Menag untuk kesempatan HSN 2019 ini meluncurkan tema yang senada dengan Bapak Bangsa, “Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia”.  Karena Islam, menurut Azyumardi Azra (2005) pertama kali datang tak bisa dilepaskan dari elan vital nilai-nilai humanisme yang diusung pondok pesantren yaitu menghargai perbedaan dan cinta perdamaian. Sejarah menyebutnya pesantren sebagai satu-satunya lembaga yang sanggup mengkomunikasikan kemajemukan kultur masyarakat dengan cara-cara kompromi membentuk masyarakat rukun dan akur serta cinta perdamaian.

Yogyakarata, 2019  M.

Jamalul Muttaqin
Jamalul Muttaqin
Penulis Lepas

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru