32.9 C
Jakarta

Suasana Kampus Jakarta (Bagian XLIX)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSuasana Kampus Jakarta (Bagian XLIX)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Deru suara transportasi menyesaki kendang telinga. Kebisingan yang sulit dihindari pada akhirnya mencipta ritme yang kadang menyenangkan saat kesunyian bukan teman yang dibutuhkan.

Suasana kampus UIN Jakarta yang berdekatan dengan jalan raya tak kalah bising begitu ribuan mahasiswa bertebaran di lingkungan kampus. Bangunan yang berdiri meninggi selalu mengingatkan pentingnya bercita-cita setinggi mungkin.

Pagi itu Diva melangkahkan kaki menuju bangunan tinggi lantai enam Perpustakaan Umum (PU) UIN Syarif Hidayatullah. Sampai di meja resipsionis, ditanya Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) masing-masing pengunjung, termasuk Diva.

Masuk perpustakaan harus memiliki kartu mahasiwa aktif. Pengunjung di luar mahasiwa UIN Syarif Hidayatullah dikenahi biaya jika bermaksud berkunjung ke perpustakaan. Silahkan, desis resipsionis saat melihat kartu mahasiswa yang disodorkan Diva.

Perpustakaan Umum (PU) UIN Syarif Hidayatullah terdiri dari tujuh lantai. Lantai satu ruang resipsionis. Lantai dua tempat penitipan tas di lemari yang tersedia serta disediakannya tas khusus perpustakaan. Lantai tiga dan lantai tujuh sepertinya tempat karyawan ngantor. Sedang, perpustakaan ada di lantai empat, lima, dan enam.

Perpustakaan ini menyediakan lift atau tangga untuk mengunjungi lantai demi lantai. Naik lift tentu lebih nyaman karena tidak bikin capek dan gerah, tiba-tiba udah sampai di lantai tujuan. Sedang, naik tangga memang buat badan gerah dan capek, tapi bisa jadi olahraga yang dapat menyehatkan.

Menuju lantai dua Diva naik lewat tangga, karena jarak tempuhnya tidak jauh dari lantai satu. Di lantai dua ransel yang dari tadi digendong dititipkan di lemari yang tersedia. Dirogohlah tas khusus perpustakaan dan dimasukkan laptop, ponsel, dan dompet. Beberapa mahasiswa ada yang mendahuluinya naik lewat lift. Beberapa mahasiswa yang lain masih sibuk dengan ransel dan barang bawaannya.

Di perpustakaan ini pengunjung dilarang bawa makanan dan minuman. Diva menyisipkan permen untuk menemaninya beraktivitas. Diva belum paham bawa permen itu boleh atau terlarang. Dengan sikap nekat, akhirnya lolos dari geledahan resipsionis yang berjaga di lantai dua.

Sampai di lantai enam pengunjung belum terlalu banyak, sehingga suasana perpustakaan pagi itu begitu bersahabat untuk menumpahkan gagasan dalam bentuk tulisan. Dihadirkanlah sebuah tulisan tentang Hermeneutika yang kemarin baru mengupas tentang definisi dan hakikatnya. Kini tulisannya merambah pada tokoh Hermeneutika yang pertama, yakni Friedrich Schleiermacher.

Hermeneutika ditinjau dari sisi periode-periode sejarahnya dapat dipilah menjadi tiga: Hermeneutika Klasik, Hermeneutika Romansis, dan Hermeneutika Filosofis. Pada tiga bagian ini Friedrich Schleiermacher temasuk tokoh Hermeneutika Romansis.

Schleiermacher melihat penafsiran berbeda dibandingkan dengan tokoh Hermeneutika yang lain. Menurutnya, penafsiran adalah memahami teks sebagaimana yang dipahami oleh pengarang teks, sebab hanya pengarang yang mengetahui maksud teks.

Untuk menggapai maksud pengarang di balik teks, penafsir hendaknya memperhatikan dua sisi penting: Sisi kebahasaan yang menuntut adanya pengetahuan tatabahasa dan susastranya. Sisi ini berkaitan dengan pengarang dan penafsir. Sedang, sisi selanjutnya adalah sisi pengarang teks. Bagian ini berkaitan langsung dengan makna pikiran dan tujuan yang dimaksudkan oleh pengarang saat menulis teks.

Melalui dua sisi tersebut dihasilkan penafsiran yang dapat dijangkau melalui kaidah-kaidah yang digunakan dan dapat pula dilalui dengan membangun kesamaan dari sisi kemanusiaan antara pengarang dan penafsir, karena dengan persamaan ini penafsir akan terbantu mengetahui maksud pengarang.

Menghidangkan penafsiran menggunakan gagasan Schleiermacher selalu mengantarkan pada penafsiran yang final yang merupakan maksud pengarang teks dan kemungkinan dapat diketahui oleh penafsir atau kemungkinan tidak dapat diketahui. Tentunya, untuk mengetahui maksud pengarang, penafsir hendaknya mempelajari riwayat hidup pengarang, kondisi sosial, politik ekonomi, dan budaya masyarakatnya.

Sekian pragraf sudah dilalui, sebuah laptop tetap nyala di depannya. Sepuluh jari tiba-tiba berhenti, seakan ada sesuatu yang mengganjal pikiran. Sebuah pertanyaan seketika bertandang dalam pikirannya: Mungkinkah penafsir mengetahui riwayat hidup Tuhan yang mengarang teks Al-Qur’an? Bahkan, menjelajahi kondisi sosial, politik ekonomi, dan budaya masyarakat-Nya? Mungkinkah gagasan Schleiermacher digunakan dalam menafsirkan teks Al-Qur’an yang eksistensi Pengarangnya tidak dapat dijangkau langsung?

Pertanyaan demi pertanyaan menggumpal dalam pikirannya. Sembari bersandar di kursi yang menemani dari tadi menulis, sebuah gagasan belum kunjung bertandang membawa jawaban. Tak sabar menutup tulisan yang finish.

Pandangan Schleiermacher tidak selamanya dapat diterima, sehingga butuh diperdebatkan. Karena, gagasan tentang penafsiran yang final dengan mengetahui maksud Pengarang teks adalah sesuatu yang sangat mustahil jika Pengarangnya adalah Tuhan yang abstrak. Sampai di sini gagasan Schleiermacher sesungguhnya lebih tepat digunakan untuk menganalisis teks yang ditulis oleh manusia, bukan Tuhan.

Sebuah tulisan sudah selesai di-save di dalam folder yang tersedia. Tak lama layar laptop terlihat gelap sesaat dimatikan dengan klik ikon Shut down. Menyenangkan rasanya menumpahkan gagasan dalam bentuk tulisan serasa gagasan itu terjaga, karena tulisan adalah pengikat makna.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Menyelamatkan Demokrasi dari Ancaman Radikalisme

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru