33.2 C
Jakarta

Sore ini Aku Masih di Perjalanan (Bagian XLVI)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSore ini Aku Masih di Perjalanan (Bagian XLVI)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sore ini aku masih di perjalanan sambil menunggu transportasi Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta. Kereta ini menggunakan listrik dengan laju tercepat dan tanpa macet.

Kereta yang ditunggu tak lama datang. Para penumpang berdesakan masuk ke dalam gerbong kereta sambil mencari seat, tempat duduk sela-sela yang masih kosong. Ada yang duduk di kursi prioritas dan ada yang berdiri sambil memegang gantungan pengaman yang tersedia di dalam kereta.

Menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI) harus melewati beberapa stasiun MRT. Karena naiknya dari daerah Ciputat dekat kampus UIN Jakarta, stasiun terdekat di sana adalah Stasiun Lebak Bulus. Beberapa stasiun yang dilewati meliputi Fatmawati, Cipete Raya, Haji Ngawi, Blok A, Blok M, ASEAN, Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, baru sampai di Stasiun Bundaran HI. Bundaran HI itu stasiun terakhir.

Kereta melaju dengan cepat. Gesekan roda kereta terdengar samar-samar di dalam kereta. Pemandangan Jakarta terlihat padat dengan bangunan hotel, perumahan, dan bangunan-bangunan mal. Hijau pepohonan Jakarta berganti dengan bangunan pencakar langit.

“Mbak, silahkan duduk!” Seorang pemuda yang belum dikenal berbaik hati berdiri dari kursi prioritas di dalam kereta dan mempersilahkan Diva menggantikan tempat duduknya.

“Terima kasih, Mas.” Ucap Diva menolak. Diva pura-pura kuat berdiri bermenit-menit di dalam kereta.

Diva membatin: Fairuz?

Wajah pemuda itu persis dengan wajah Fairuz, sosok lelaki yang pernah mengisi hari-hari Diva di pesantren dahulu dan sekarang sudah tidak ada kabar lagi. Entah, Fairuz masih ingat tentang kisah itu atau tidak.

Diva menatap pemuda itu dengan tajam. Sambil ngucek-ngucek bola matanya, seakan tidak percaya. Diva meyakinkan dirinya: Dia bukan Fairuz. Pasti bukan Fairuz.

“Mbak, silahkan duduk!” Dia menawarkan kembali, tapi Diva menggeleng sambil berdesis, “Tidak usah, Mas. Terima kasih.”

BACA JUGA  Agama Kita Itu Islam, Bukan Ormas!

Diva semakin penasaran: Kalo dia benar Fairuz, pasti dia tidak bakal panggil aku “Mbak”. Pasti panggil “Div”. Tapi, aneh pemuda ini seakan dia berhati mulia semulia budi pekertinya.

Bundaran HI Station. Suara pemberitahun dari arah yang tak jauh terdengar jelas di telinga para penumpang. Kereta sudah sampai di tujuan. Habis itu, pintu kereta terbuka secara otomatis dan para penumpang berdesakan keluar dari dalam kereta. Saat berdiri tak jauh dari Bundaran HI, Diva mencari pemuda tadi. Sayang, dia sudah tak terlihat jejaknya. Secepat itu dia menghilang seakan senja yang hilang tertelan gelap malam.

Tempat seminar yang dituju tidak jauh dari Bundaran HI. Sekitar lima menit jalan kaki sudah sampai di tujuan. Selama di perantauan Diva sengaja tidak membeli motor untuk jalan-jalan. Dia lebih suka menggunakan gojek online dan membudayakan jalan kaki jika jarak tempuhnya tidak terlalu jauh. Budaya jalan kaki dapat menyehatkan tubuh karena terhitung olahraga.

“Div, di mana? Aku di kosanmu.” Sebuah chat Shaila baru dibaca.

“Aku lagi di Jakarta Pusat. Mau ngisi seminar. Kok baru ngabarin.”

“Aku tunggu di kosmu aja, Div.”

“Okey, kunci kos ada di atas pintu.”

Percakapan sore itu datar sekali, seakan tiada sesuatu yang berbeda seperti yang dirasakan kemarin.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru