30.1 C
Jakarta

SKB Tiga Menteri, KH Cholil Nafis, dan Pencegahan Diskriminasi-Radikalisme di NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamSKB Tiga Menteri, KH Cholil Nafis, dan Pencegahan Diskriminasi-Radikalisme di NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri mengalami banyak penolakan. Pro-kontra SKB itu mengakar di akar rumput. Bahkan mereka yang ada di dekat pemerintah. Banyak tidak setuju dengan alasan teologis. Begitu juga sebaliknya.

KH Cholil Nafis selaku Ketua MUI juga merasa keberatan. Menurutnya, penggunaan seragam sekolah memang perlu. “Mewajibkan yang wajib menurut agama Islam kepada pemeluknya saja tidak boleh. Lalu pendidikannya itu di mana? Kata Cholil Nafis (KumparanNeWS, 05/02/2021).

KH Cholil Nafis juga mengusulkan SKB itu disempurnakan dengan menambah 1 pasal: “Guru dan Sekolah dapat mewajibkan kepada siswa/siswi memakai atribut keagamaan sesuai keyakinannya masing-masing dengan persetujuan orang tua/komite sekolah dan tak boleh mewajibkan kepada yang berbeda keyakinan” ungkapnya di akun Twitternya (05/02/2021).

Sebenarnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri itu, apa yang terpikirkan KH Cholil Nafis sudah masuk di dalamnya. Bahkan, saya kira, SKB itu lebih jauh memandang kedepan. SKB mengarah jelas untuk menghilangkan praktik pemaksaan dan diskriminatif terhadap siswa dan lingkungan lainnya di sekolah.

SKB Tiga Menteri dan Varian Pertimbangannya

Langkah tegas ini, tentu mendapat sorotan. Tapi yang paling penting pemerintah paham akan apa yang terjadi selama ini. Dengan itu, pemerintah ingin memberikan garis penerang kenyamanan, keadilan, dan kemoderatan. Sungguh celaka besar bila aturan bahkan privasi seseorang yang terdalam diatur oleh pemerintah tanpa bertanya apakah seseorang itu suka dan tak memberi kelonggaran.

Pemerintah ingin penggunaan aturan seragam di lingkungan sekolah agar tidak semenanya, apalagi hanya karena berdasarkan prefensi agama mayoritas tertentu. Di sini, tentu bagi siapa pun sebagai pejuang kemoderatan (moderasi) patut mendukung terselenggaranya SKB ini.

Tak menampik, selama ini, terjadi diskriminasi terhadap siswa di sekolah akibat peraturan yang dibuat pihak sekolah. Seperti kejadian pemaksaan siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang, harus menggunakan jilbab saat ke sekolah. Peraturan itu teranggap diskriminatif dan merugikan banyak pihak: murid, guru, dan orang tua. Juga hal lainnya, seperti pemilihan Ketua Kelas, OSIS, Kepala Sekolah, dan sebangsanya.

SKB yang diterbitkan Mendikbud, Mendagri, dan Kementerian Agama, dikutip dari website Kemendikbud, SKB 3 Menteri dengan Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021 dan Nomor 219 Tahun 2021 itu, untuk menjembatani jalannya kemaslahatan di sekolah.

SKB tersebut, terdapat enam keputusan utama. Di antaranya, Keputusan Bersama tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang terselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Tertulis, jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan SKB ini, maka menurut SKB tersebut, sanksi akan dijatuhkan kepada pihak yang melanggar: Pemda memberikan sanksi kepada sekolah; pendidik, dan/atau tenaga kependidikan; Gubernur memberikan sanksi kepada bupati/walikota; Kemendagri memberikan sanksi kepada gubernur; Kemendikbud memberikan sanksi kepada sekolah terkait BOS dan bantuan pemerintah lainnya (Tirto, 4/2/2021).

BACA JUGA  Propaganda Jihad sebagai Jalan Manipulasi Umat Islam

Arah Jelas SKB Tiga Menteri

Atas dasar SKB Tiga Menteri itu, dapat kepastian bahwa diskriminasi dan ketidakasilan dapat terhapuskan. Sekolah-sekolah yang memperlakukan siswa dan guru yang tidak sesuai dengan Keputusan Tiga Menteri di atas, maka perlu/harus diberantas.

Sebab, sekolah adalah wadah menjaga eksistensi negara. Seperti perkatakan Mendikbud, sekolah memiliki peran penting dan tanggung jawab dalam menjaga nilai-nilai dan konsensus dasar Negara: seperti Pancasila, UUD 1945, Kebhinnekaan, dan membangun serta memperkuat peserta didik, dalam moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama yang teranut peserta didik, pendidik, dan tenaga pendidikan.

Seperti kata Menteri Agama, pemaksaan atribut agama tertentu kepada yang berbeda agama, adalah bagian dari pemahaman agama yang dangkal dan hanya simbolik. Pemaknaan agama yang simbolik, biasanya hanya berpijak kepada apa yang Menteri Agama sebut, “beragama yang tidak subtantif”.

Beragama yang tidak subtantif, seperti yang kita lihat hari-hari ini, mengarah pada perilaku dan sikap-sikap radikalisme dan teroristik. Lihatlah sikap cara beragama ISIS, FPI dan Taliban dan kelompok radikalis lainnya. Bahkan hal ini tertemukan dalam berbagai aturan dan tingkah laku di sekolah.

Pencegahan Diskriminasi-Radikalisme di Sekolah

Secara mendasar SKB menyasar kepada, bukan hanya menghilangkan diskriminasi terhadap lingkungan sekolah. Tetapi, SKB, secara umum, berporos kepada bagaimana kehidupan negara-bangsa Indonesia merdeka dari persoalan-ideologi intoleran, radikalisme, dan terorisme. SKB berporos bagaimana negara-bangsa Indonesia menjadi damai, arif, berkemajuan, dan bijaksana, kepada keragaman suku, agama, ras dan sebangsanya.

Untuk menuju ke sana, keberhasilan harus terperoleh dari dari hal yang paling dasar: sekolah. Kunci untuk menjadi warga-bangsa-negara yang damai dan berkemajuan, adalah memberantas hal-hal yang tidak produktif dan hal-hal yang menyebabkan kebobrokan. Seperti pemaksaan atributas di sekolah dan sikap-sikap intoleran serta ekstrem lainnya.

Sekolah sebagai jangkar pendaratan segala ideologi dan pengajaran karakter-etika, pantas terhindar dari persoalan tata aturan keekstreman. Sekolah dan juga agama, harus terbangun dari sikap-sikap yang bersifat ramah, berkarakter luhur dan berakal budi yang mencerminkan keindonesiaan dan kenusantaraan.

Sudah saatnya, saya rasa, sikap-sikap menjunjung tinggi kepada pluralisme layak tegak. Sudah waktunya, nilai-nilai toleransi dan moderasi tertancapkan di/ke/dalam/seluruh aktivitas kesaharian. Tapi di atas itu, bukan termonopoli oleh para buzzerRp yang matanya dan tindakannya merah dan bergerak hanya atas nama duitan.

Oleh sebab itu, SKB, sikap pluralisme, toleransi, dan moderasi harus bergerak dari atau oleh oknum/organisasi yang pantas. Juga sudah saatnya, aturan-aturan di sekolah dan seluruh institusi pendidikan, yang mengarah kepada diskriminasi, intoleransi, redikalisme, dan terorisme. Apalagi kepada oknum dan organisasi yang melakukan radikalisme-teroristik, sudah saatnya tidak dikasih ruang dan tempat di tanah NKRI ini. Setuju?

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru