25.3 C
Jakarta

Sinergisitas Ulama dan Umara untuk Mencegah Infiltrasi Kelompok Radikal-Teror

Artikel Trending

KhazanahOpiniSinergisitas Ulama dan Umara untuk Mencegah Infiltrasi Kelompok Radikal-Teror
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Fenomena infiltrasi paham dan gerakan radikal ke institusi pemerintahan bukan merupakan barang baru di negeri ini. Banyak survei dan jajak pendapat mengonfirmasi bahwa paham radikal telah menyebar di kalangan pegawai pemerintahan, karyawan BUMN, bahkan aparat keamanan seperti TNI dan Polri. Fenomena ini tentu menjadi semacam alarm warning untuk kita semua.

Hal itu terjadi tentu bukan karena kebetulan, melainkan sudah menjadi skenario kelompok radikal. Mereka sengaja menyusup ke lembaga pemerintahan dan membangun jaringan di dalamnya untuk tujuan tertentu. Antara lain, mempengaruhi pengambilan kebijakan dan juga mengakses sumber pendanaan. Bisa dibayangkan bagaimana dampak buruknya manakala instansi pemerintahan justru dikuasai oleh kaum radikal.

Infiltrasi paham radikal di lingkungan pemerintah menandai adanya kecolongan di kalangan pemangku kepentingan itu sendiri. Di banyak instansi pemerintahan, infiltrasi radikalisme masuk melalui kajian keagamaan rutin yang mengundang penceramah atau tokoh agama beraliran konservatif. Harus diakui bahwa masih banyak instansi pemerintahan yang belum memiliki pemahaman atau sensitivitas tentang ulama konservatif dan moderat.

Alhasil, banyak instansi pemerintahan mengundang penceramah hanya berdasar pada popularitasnya. Tanpa melihat latar belakang pemikiran sang penceramah. Hal ini tentu ironis. Maka, salah satu upaya mencegah infiltrasi paham atau gerakan radikal di institusi pemerintahan adalah dengan membangun relasi yang harmonis antara ulama dan umara.

Sinergisitas ulama dan umara ini harus diwujudkan dalam tindakan yang konkret. Misalnya, setiap instansi pemerintahan perlu bekerja sama dengan organisasi keislaman moderat seperti Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama dalam kegiatan-kegiatan keagamaan seperti pengajian rutin dan sebagainya. Di saat yang sama, instansi pemerintahan juga perlu menggandeng para ulama berwawasan moderat untuk mengedukasi para pegawainya tentang pentingnya beragama secara inklusif dan toleran.

Sering kali, banyak instansi pemerintahan merasa kecolongan ketika pegawainya kedapatan terlibat gerakan radikal. Hal ini terjadi karena lemahnya mekanisme kontrol dan deteksi dini radikalisme di lembaga pemerintahan. Padahal, idealnya sistem deteksi dini anti-radikalisme di lembaga pemerintahan itu sudah diterapkan sejak fase seleksi atau perekrutan.

Maka, penting kiranya melibatkan ormas keagamaan moderat dalam proses rekrutmen atau seleksi calon pegawai pemerintah. Tes wawasan kebangsaan saja kiranya tidak cukup menjadi screening awal apakah individu terpapar radikalisme atau tidak. Tersebab, semua orang tentu bisa mengakali jawaban agar lolos seleksi.

BACA JUGA  Santri Milenial: Merawat Islam Rahmatan Lil Alamin Melalui Tulisan

Diperlukan kajian yang lebih komprehensif untuk menilai pandangan keagamaan seorang calon pegawai pemerintahan. Di sinilah kiranya urgensi melibatkan ulama moderat dalam membangun sistem deteksi dini radikalisme di lingkungan instansi pemerintahan.

Selain itu, relasi harmonis antara ulama dan umara juga penting untuk memastikan tidak ada instansi pemerintahan yang memberikan ruang bagi tumbuhnya paham radikal. Sekaligus juga memastikan tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa dijadikan celah masuknya infiltrasi radikalisme di lembaga pemerintahan.

Secara umum, relasi harmonis antara ulama dan umara ini penting bagi terwujudnya agenda pengarusutamaan moderasi beragama yang saat ini digencarkan pemerintah. Wajib dipahami bahwa agenda moderasi beragama tentu bukan tanggung jawab Kementerian Agama saja, namun juga seluruh kementerian, lembaga, badan, dan instansi pemerintahan lainnya.

Sinergi ulama dan umara adalah kunci keberhasilan moderasi beragama. Sekaligus menjadi kekuatan yang akan meredam kebangkitan kelompok radikal. Oleh sebab itu, bisa dipastikan bahwa kaum radikal tidak akan pernah suka melihat relasi harmonis antara ulama dan umara. Itulah mengapa mereka selalu berusaha mengadu-domba antara ulama dan umara.

Seperti yang belakangan ini mengemuka dengan munculnya narasi ulama su’ yang dialamatkan pada tokoh agama moderat yang harmonis dengan pemerintah. Tudingan ulama su’ pada ulama moderat yang dekat dengan pemerintah adalah upaya menggembosi agenda moderasi beragama. Kelompok radikal paham ketika ulama moderat dan umara bersatu, maka tidak akan lagi ada celah bagi mereka untuk bangkit.

Tudingan ulama su’ yang dialamatkan pada ulama moderat yang bersinergi dengan pemerintah itu jelas mengada-ada. Dalam konteks Indonesia sebagai negara religius, sinergi ulama dan umara itu sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Ulama dan umara adalah dua entitas pokok sejak era revolusi kemerdekaan, formulasi kenegaraan, hingga era demokratisasi seperti sekarang.

Di era sekarang, definsi ulama su’ sebagai ulama yang dekat dengan penguasa itu justru tidak relevan. Yang pantas disebut ulama su’ justru mereka, para oknum yang mengaku-aku ulama namun setiap hari menebar provokasi dan kebencian pada pemerintahan yang sah. Ulama su’ dalam konteks negara bangsa adalah mereka yang menjadikan agama sebagai alat pemecah-belah dan adu domba.

Nurrochman
Nurrochman
Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru