29.7 C
Jakarta

Seruling Setan, Nasionalis, dan Kewalahan Kontra Narasi

Artikel Trending

KhazanahOpiniSeruling Setan, Nasionalis, dan Kewalahan Kontra Narasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Penciptaan musik punya tujuan tersendiri. Maksud dan energi dari suatu musik, lagu, maupun instrumen yang dimainkan juga dapat dinikmati dengan beragam porsi dan tendensi si pendengar. Tidak heran, ragam genre musik bertebaran dalam keseharian kita, hingga tidak jarang bagi sejumlah orang menyebut bahwa musik sudah menjadi kebutuhan primer.

Setiap kita tentunya memiliki karakteristik playlist musik tersendiri. Ada yang menyukai jenis rock yang bertempo cepat, dengan tujuan agar dirinya tidak berkubang dalam keluh sambat, melainkan tetap semangat. Ada pula yang menggandrungi musik religi, dengan harapan hati tenang, damai, dan tentram, tidak diburu sana-sini.

Dan, yang menggemari genre musik platonis pun tidak ketinggalan, sebab genre musik yang satu ini hampir pula menjadi mayoritas musik yang ’dipuja-dipuja’ khususnya oleh kaula muda. Di sisi lain, ada pula beberapa dari kita yang menyukai musik bertempo cenderung lambat ke normal, sarat akan makna kehidupan, perenungan, dan perjuangan, misalnya dapat ditemui dalam karya-karya Ebiet G. Ade dan Iwan Fals.

Di meja para ulama, perdebatan mengenai musik itu dilarang atau diperbolehkan, juga sering diperdebatkan. Banyak yang mengutip pemikiran Imam Ghazali, dimana beliau menganjurkan untuk meyakini sesuatu tidak langsung dengan akal, melainkan juga merunut dan mempelajari tindakan Rasul terdahulu.

Lebih lanjut dikenal dengan sebutan nash dan qiyas. Intinya, sesuatu tidak dapat langsung dikatakan haram, namun baiknya melihat penjelasan dan maksud dari lanjutan ayat atau hadist yang mengatur hal tersebut.

Menyoal hukum menyanyi atau bermain musik, tentu kurang lengkap jika tidak menggubris isu hangat tempo lalu. Yaitu ketika tersebarnya video Ustad Khalid Basalamah, yang menyebutkan: ”Saran saya, nggak usah ikut! Nggak usah ikut (menyanyikan Indonesia Raya),” ungkap beliau dalam sebuah video yang tersebar.

Terlepas video itu tidak sengaja atau benar dipotong, hal ini membuat pro di sebagian kelompok masyarakat kita menguat. Mereka yang pro bahwa bermain musik dan termasuk pula bernyanyi itu adalah haram kian berpedoman dari kisah Abu Bakar, yaitu meyakini pernah menyebut terma ”seruling setan” terhadap musik dan bernyanyi.

Berkelindan dengan hal ini, saya pernah menerima curhatan unik dari seorang teman. Ia bercerita tentang dua adiknya. Berikut percakapan kedua adiknya,

Adik II (Bungsu): (Menyanyi) Teman saya tidak menyebutkan lagu apa yang adiknya nyanyikan.

Adik I: ”Kamu itu nyanyi terus. Gak boleh nyanyi gitu lhoo, Dik. sebenarnya.”

Adik Bungsu: ”Lhoo, kenapa Mbak?”

Adik I: ”Kamu tau gak, kalau menyanyi itu haram, itu seruling setan. Ada tu ustadz di IG bilang, Mbak lupa.”

Adik Bungsu: ”Kalau nyanyi tu haram, kenapa ada Sulis, Mbak? Terus terus Nissa Sabyan tu juga. Opick juga nyanyi haa, kenapa?”

Adik I: ”Pokoknya nyanyi tu seruling setan. Gak boleh, Dek.”

Ya, teman saya ini bercerita dengan cukup sambat. Sebenarnya dia ingin sekali melegak-legak mengomeli Adik I, lalu menjelaskan panjang lebar ke kedua adiknya untuk tidak menimba ilmu agama instan lewat media sosial. Kalaupun dari medsos ya usahakan dari ulama moderat yang tidak cenderung teriak-teriak. Tapi katanya, karena banyak tugas dan dia lelah dengan hal seperti itu di beberapa tahun terakhir dalam hidupnya ia jadi memilih diam, dan kembali ke tugas yang dia kerjakan saat itu.

Saya yang mendengar curhatannya turut prihatin. I can feel you, to be honest. Bagaimanapun juga, ini benar. Kontra narasi individu kadang terbatas. Semakin hari kita semakin sering dihadapi dengan ragam pemikiran agama instan di aneka lini masa. Belum dirapikan cendawan yang kemarin, sudah tumbuh hifa yang lain lagi.

BACA JUGA  Isra Mi’raj: Antara Etika dan Spiritualitas

Sedang yang mengetahui dan cukup bertoleransi (dalam artian tidak ekstrem kanan-kiri dan tentunya berdasar pada ajaran moderat) justru keletihan dalam menjawab jutaan QnA dalam satu waktu sekaligus. Termasuk memilih bungkam.

Sejatinya, kita bukan lagi hanya butuh bergerak bersama, namun juga bergerak lebih universal, bertarget, dan terukur. Dan menyangkut kasus Ustadz Basalamah sendiri, sebenarnya video itu merupakan video di tahun 2017. Namun video tersebut naik kembali dan menjadi kontroversial.

Hingga ketika tiba di podcast Om Deddy Corbuzier #CloseTheDoor beliau menjawab tuduhan-tuduhan tersebut. Lebih lanjut beliau menegaskan, bahwa menyanyikan lagu Indonesia Raya sudah menjadi kewajiban untuk menghargai jasa para pahlawan yang gugur di medan perang.

Klarifikasi ini tentu menjadi kelegaan tersendiri. Namun bagaimanapun, di sejumlah pihak yang tidak sempat mengikuti berita klarifikasinya, pengecapan terhadap musik dan bernyanyi itu haram, termasuk frasa ’seruling setan’, dan apalagi tentang Indonesia Raya yang tidak perlu dinyanyikan adalah realitas yang semakin memperparah insecurity kaum intoleran, yang mau tidak mau masih abadi di sekeliling kita, dan harus dihadapi bersama-sama.

Hal ini tentu bukan sebuah kekhawatiran impulsif menyangkut bahwa kelompok ini dikhawatirkan akan berevolusi menjadi kelompok yang semakin intoleran, kemudian menjelma lagi menjadi kelompok ekstrem lainnya.

Sungguh, jika memang pun ada yang sedemikian memikirkan begitu, saya yakin, tidak lain mereka hanya mengharapkan keutuhan negeri ini, dan berharap baik bahwa seyogyanya kita semua tidak menggeneralisis apapun itu sesederhana apa yang disajikan dari permukaan. Tidak menelan apapun literasi dan teks keagamaan secara mentah-mentah. Semoga saja.

Masih pada sisi yang berdampingan, tidak sedikit juga komentar sinis muncul di jagad media sosial, terutama dari pihak pro kelompok intoleran, atau sekaligus mereka yang menyerang kelompok lain yang menganggap bahwa menyanyikan Indonesia Raya dan menghapal lagu kebangsaan itu perlu.

Mereka yang intoleran ini lucunya menyerang dengan pemakaian wacana ’duh, sok nasionalis banget sih kamu.”, dsb. Padahal, sekali lagi, ini bukan tentang siapa yang nasionalis dan siapa yang kurang nasionalis.

Dan, tunggu. Mengapa sedemikian simpelnya hari ini label seperti nasionalis, agamis, religius, disematkan kepada seseorang hanya karena simbol yang mereka pasang atau ucapan yang mereka lontarkan? Kenapa kita tidak ’bermain’ dalam tindakan, atau pemaknaan atas kesesuaian tindakan tersebut dengan ajaran kebaikan agama saja?

Baik. Baik. Menyangkut persoalan musik ini, mungkin ada baiknya kita lebih adem mendengar quote Habib Husein Ja’far Al-Hadar: ”musik yang haram adalah suara sendok dan garpu yang terdengar oleh tetangga kita yang sedang kelaparan.”

Ada baiknya terkadang kita luwes merenungi dan meyakini, bahwa Islam bukan sebuah agama yang ribet, riweh, bin menjelimet. Saya percaya, bahwa Islam melimpahkan kebaikan dan kemudahan, bukan kerumitan. Islam itu juga mencintai dan mendukung seni. Mohon maaf, misalnya sekilas pandang saja dalam hal membaca Al-Qur’an.

Para qari dan qariah tentu memakai nada, tempo, ketukan atau sering disebut tartil dan tajwid. Jadi hakikatnya, tinggal dikondisikan saja tujuan dan kandungan suatu produk seni itu, apakah banyak mengandung mudarat atau justru tabungan manfaat. Jika banyak yang kedua, pasti bisa digunakan untuk menyemai biji maupun memanen buah kebajikan yang lebih banyak. Setuju?

Dyah Purbo Arum Larasati
Dyah Purbo Arum Larasati
Sarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Pendiri @noheroescape, sebuah ruang berbagi di Instagram yang berfokus pada isu terorisme, radikalisme, ekstremisme dan studi demokrasi.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru