31.7 C
Jakarta

Serial Pengakuan Pengamat Kajian Wahabi (CC-I): Keterbukaan Berpikir Pengamat Kajian Wahhabi Agaton Dalam Menimba Ilmu

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Pengamat Kajian Wahabi (CC-I): Keterbukaan Berpikir Pengamat Kajian Wahhabi Agaton...
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Tadi malam saya berjumpa dengan Pimpinan Redaksi Harakatuna.com. Namanya Achmad Khoiri. Katanya, rubrik Inspiratif yang tayang saban hari Jum’at tidak perlu dilanjutkan. Alasannya simpel, jumlah tulisan dengan pelaku teror tidaklah seimbang. Lebih banyak jumlah tulisannya dibandingkan para teroris. Jadi, tulisan inspiratif yang tayang setiap Jum’at belakang ini dituding “repetitif”, mengulang pembayasan yang sudah-sudah.

Padahal, kolom Inspiratif bukan hanya memuat kisah eks napi teroris, tetapi eks radikalis yang meliputi eks returnis ISIS, eks HTI, dan eks Wahhabi. Maka, ruang lingkup kisah eks radikalis masih banyak yang belum dibahas, sehingga tidak benar klaim kolom Inspiratif mengalami pengulangan. Semisal, pada tulisan ini akan dibahas kisah keterlibatan Agaton Kenshanahan (berikutnya disebut Agaton) dengan ustadz Wahhabi.

Agaton adalah seorang mahasiswa yang gemar mengikuti kajian keagamaan. Dia pernah mengikuti kajian kiai NU di kampung saat Maulid, liqa’/mentoring ala teman-teman Tarbiyah, menonton ceramah Ustaz Felix Siauw yang (eks) HTI itu di YouTube, hingga mencatat-catat apa yang disampaikan ustaz di kajian Salafi. Dia mencoba membuka pikirannya dengan terjun langsung sebelum memberikan penilaian: positif atau negatif dari kajian tersebut.

Baru-baru ini Agaton mengaku menghadiri forum kajian ustadz Wahhabi Ustadz Firanda (Andirja). Waktu itu Ustadz Firanda mengisi kajian di Masjid Al Ukhuwah dekat Balaikota Bandung. Dia lebih tertarik menghadiri langsung kajian ustadz Wahhabi ini, meski kajiannya sudah tayang di YouTube. Bahkan, jamaah yang hadir di sana terbilang banyak. Buktinya, area parkiran dipadati dengan kendaraan jamaah dan masjid penuh dengan kurang lebih 3.500 jemaah.

Rata-rata jamaah yang hadir di kajian Ustadz Firanda jelas berbeda dengan jamaah di kajian Kiai NU. Jamaahnya berjanggut, celana cingkrang, berpakaian rapi lengkap dengan peci, dan baunya wangi. Mereka biasanya menenteng tas kecil yang isinya pulpen dan buku untuk mencatat isi kajian. Tak lama kemudian, kajian dimulai tepat setelah shalat Maghrib.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Returnis ISIS (C-LI-XLIII): Cerita Eks ISIS Rifat Tobat dan Kembali ke Indonesia

Ustadz Firanda datang membawa kitab yang diletakkan di atas sebuah meja. Dia lalu membahas mengenai pengantar kitab hadis Shahih Bukhari. Dia menceritakan mengenai biografi Imam Bukhari secara mendalam dan gamblang. Dari soal kepribadian, sebab penulisan kitab hadisnya yang jadi rujukan ulama, hingga kontroversi Imam Bukhari dengan gurunya sendiri, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli.

Ustadz Firanda menukil kisah ulama hadis tersebut dari kitab syarah (penjelasan) Shahih Bukhari yakni Fathul Bari yang dipegangnya hampir sepanjang kajian. Hal ini membuat Agaton yakin kalau kajian yang disampaikannya ustadz Wahhabi ini tak minim referensi.

Selain itu, Ustadz Firanda membahas bagaimana Imam Bukhari mengambil ilmu dari para guru. Disebutkan bahwa Imam Bukhari mencatat hadis dari 1080 guru, tidak seorang pun dari mereka kecuali ahli hadis dan Imam Bukhari juga tidak mencatat kecuali dari guru (kalangan ahlussunnah) yang mengatakan iman itu perkataan dan perbuatan.

Melalui penjelasan yang Agaton tangkap, Ustadz Firanda sedang menekankan keterbukaan berpikir dengan membuang jauh-jauh fanatisme. Sebab, katanya, fanatisme timbul karena keterbatasan dalam berguru. Sehingga, orang yang fanatik melihat kebenaran sebatas dari satu guru saja. Padahal, kebenaran itu terbuka lebar dari guru-guru yang lain. Ini yang membuat Agaton tidak pilih-pilih guru. Dia berguru kepada semua aliran, baik kiai NU maupun ustadz Wahhabi.

Sebagai penutup, langkah Agaton dalam menerima ilmu bisa dikatakan bagus. Karena, dia mampu menyaring mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah. Ilmu, bagi Agaton, tetap ilmu, meski disampaikan oleh orang yang fasiq. Selagi itu ilmu, maka ambillah. Meski disampaikan oleh seorang ulama, jika itu fitnah, maka hindari.[] Shallallahu ala Muhammad.

*Tulisan ini disadur dari cerita pengamat kajian keagamaan Agaton yang dimuat di media online Kumparan.com

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru