26.1 C
Jakarta

Serial Pengakuan Mantan Teroris (XL-IV): Kurnia Widodo Terjebak Paham Radikal sejak SMA

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Mantan Teroris (XL-IV): Kurnia Widodo Terjebak Paham Radikal sejak SMA
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Seorang kelahiran Bandarlampung pernah terjebak propaganda terorisme semenjak masih sekolah SMA. Dialah, mungkin juga banyak orang menyebutnya, Kurnia Widodo. Widodo menceritakan kisah masa lalunya di berbagai forum, tak terkecuali pada acara Dialog Pelibatan Civitas Academica dalam Pencegahan Terorisme di kampus Universitas Lampung.

Widodo terpapar paham radikal itu, karena ketidakhati-hatian dalam mengonsumsi informasi, terlebih dalam belajar agama. Widodo menjadi teroris dilatarbelakangi spirit jihad yang keliru. Widodo memahami jihad sebatas perang melawan musuh-musuh Allah. Musuh yang dimaksud di sini adalah orang kafir (al-kuffar). Darah orang kafir, baginya, halal dibunuh.

Paham dan tindakan Widodo jelas bertentangan dengan ajaran semua agama, termasuk agama Islam. Semua agama tidak mengajarkan pemeluknya menjadi pembunuh. Agama memerintahkan manusia melakukan perbuatan yang positif (amilu ash-shalihat) di muka bumi. Salah satunya, menghormati perbedaan, baik pemikiran maupun keyakinan, dari orang lain.

Pengaruh paham radikal ini mendorong Widodo melakukan aksi-aksi terorisme. Widodo mengaku pernah mengikuti pertemuan pelaku bom Ritz Carlton. Widodo pernah melihat korban ledakan bom itu. Korbannya bernama Febri. Tubuh Febri luka karena terbakar. Widodo merasakan sakitnya saat melihat Febri membuka perban yang menutupi luka itu.

Tidak hanya itu. Widodo pernah mendengarkan cerita korban ledakan bom Kedutaan Besar Australia. Banyak korban yang menceritakan kehilangan istrinya, sehingga mereka membesarkan anaknya seorang diri. Seorang anak dari beberapa korban itu mengatakan dengan tegas kepada bapaknya, bahwa ia pengin menjadi polisi untuk membunuh para teroris yang melakukan tindakan biadab itu. Tapi, bapak anak itu meluruskan niat anaknya, bahwa memaafkan jauh lebih baik daripada membalas.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXXVII): Aksi dan Dukungan terhadap Eks Napiter Salsa Bangkit dari Stigma Teroris

Mendengar korban masih memaafkan perbuatan bejat para pelaku teroris, hati Widodo menangis. Tidak menduga sebegitu besar hati orang-orang yang pernah ia sakiti. Widodo merasa sudah zalim dengan melakukan perbuatan yang merugikan banyak orang yang tidak berdosa. Widodo menyesal melakukan sesuatu yang tidak membawa manfaat kepada orang lain. Bukankah disebutkan dalam sebuah hadis: Paling baiknya manusia yang dapat memberi manfaat kepada orang lain?

Widodo masih mengingat masa lalunya yang sangat memalukan. Pada waktu masih bergabung dengan kelompok teroris, Widodo sering dipanggil ustaz karena ia diketahui alim dalam persoalan agama oleh teman-temannya. Sekarang Widodo merasa tidak pantas menyandang panggilan itu, karena panggilan “ustaz” itu hanya pantas disandang oleh orang yang dapat mengamalkan ajaran agama dengan baik dan benar.

Orang yang pantas menyandang sebutan “ustaz” jika mampu melakukan perbuatan yang baik kepada orang lain. Orang ini dapat menyampaikan pesan agama yang membela kaum tertindas dan memerintahkan manusia menegakkan perdamaian. Ustaz yang baik tidak pernah mengkafirkan, apalagi melakukan aksi-aksi kekerasan berwajah terorisme.

Widodo sekarang mengabdikan dirinya untuk negara tercinta, Indonesia. Widodo menebus dosa sosialnya dengan mengajak masyarakat untuk memerangi paham radikal. Widodo menghimbau masyarakat lebih selektif dalam mengonsumsi informasi, baik yang didapatkan di media sosial maupun yang diterima di majlim ilmu. Belajarlah kepada orang yang mampu mengantarkan kepada kebaikan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru