29.1 C
Jakarta

Seorang Kesatria (Bagian XV)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSeorang Kesatria (Bagian XV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kereta bergerak meninggalkan stasiun Pasar Turi Surabaya. Perjalanan masih panjang sekitar dua belas jam baru sampai di Pasar Senen Jakarta, stasiun akhir perjalanan.

Pekan ini Diva berangkat ke Jakarta untuk mempresentasikan tulisannya yang lolos seleksi pada beberapa hari yang lalu. Bayang-bayang Jakarta tiada henti terbersit dalam pikiran. Seperti apa keindahan Ibu Kota? Rasanya tidak sabar menginjakkan kaki di tengah-tengah keramaian dan melihat gedung menjulang mencakar langit, lebih-lebih tugu Monas yang tinggi.

Baru kali ini Diva berani berjalan seorang diri tanpa Abah dan Ummi. Diva membatin: Diva harus berani. Diva sudah remaja. Diva bukan anak yang cengeng dan penakut. Keberanian ini makin kuat setelah mendapat support dari Abah dan Ummi, bahkan dari pengasuh dan guru di pesantren.

“Perempuan masa kini bukan perempuan masa dulu,” ucap Abah sembari menyeduh kopi beserta rokok kreteknya. “Perempuan harus berani menaklukkan masa depan. Buktinya, Najwa Shihab, putri Quraish Shihab. Abah kagum bener atas keberaniannya mewawancari politikus.”

Kekaguman kepada Quraish Shihab kerap membuat Abah mengaitkan segalanya dengan kehidupan keluarga penafsir hebat ini.

“Diva harus berani. Abah dan Ummi akan selalu mendoakan Diva.” Ummi menambahkan sambil memeluk Diva tadi pagi sebelum berangkat meninggalkan pesantren.

Pesan Abah dan Ummi begitu kuat membesarkan hati Diva. Mereka sosok yang kuat dan inspirator. Kata-katanya bersahaja dan santun. Mereka tidak hanya berperan sebagai orangtua, tetapi juga sebagai sahabat dalam keadaan duka.

Tiba-tiba kereta yang dinaiki Diva berhenti, tepatnya berhenti di tengah persawahan. Begitulah kereta, berhenti pada saat yang ditentukan. Tampak dari balik jendela kereta bapak-ibu yang berdiri kepanasan di tengah sawah. Mencari sesuap rezeki untuk menanggulangi hidup. Tiba-tiba air mata Diva menetes, teringat perjuangan Abah dan Umminya dulu sejak Diva masih kecil. Abah dan Ummi pernah bekerja seperti para petani itu, rela kepanasan demi sekolah Diva.

Abah berpesan saat Diva mulai lulus Sekolah Dasar, “Diva tidak boleh iri melihat tetangga yang kaya raya. Merasa cukup dengan nikmat yang didapat hari ini adalah bentuk rasa syukur.”

Ummi pun mengajari Diva hidup sederhana dan mandiri. Selain itu, Ummi berpesan untuk selalu gemar menabung. Bila Diva diberi uang saku lima ribu, dua ribunya untuk jajan dan sisanya tiga ribu untuk disimpan. “Agar menjadi orang yang kaya kelak, tidak meminta-minta, karena Islam tidak menyukai orang yang meminta-minta,” pesan Ummi.

Diva tertegun. Beberapa menit kereta itu melaju pelan dan semakin lama, semakin kencang.

Diva baru ingat perkembangan ekonomi Abah dan Ummi. Diva bersyukur Allah membukakan rezeki orangtuanya semakin baik ke depan. Baru lulus SMP, Abah dan Ummi bisa membeli mobil dan memperbaiki rumah, di samping itu memperluas area pesantren.

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Diva merasa belum bisa membalas jasa orangtuanya yang begitu besar, mulai melahirkan sampai mengasuhnya. “Diva belum bisa ngasih uang buat Ummi,” teringat ucapannya tempo dulu.

“Abah dan Ummi tidak minta balasan uang,” kata Ummi datar.

Diva menangis sambil mengingat masa itu.

“Diva cukup jadi anak yang shalihah, tidak mempermalukan orangtua. Abah dan Ummi sudah bahagia,” ujar Ummi kemudian.

Mata ini bercucuran air mata, padahal perjalanan ini seharusnya membahagiakan, tapi mengharukan.

Diva malah bersikeras membahagiakan kedua orangtuanya dengan prestasi Diva, sehingga jika ditanya: Siapakah yang paling berjasa dalam kesuksesanmu?, Diva akan menjawab, “Abah dan Ummi.” Abah dan Ummi mencintai tanpa mengharap memiliki. Memberi tanpa mengharap balasan. Begitulah cinta kedua orangtua, cinta di atas cinta seseorang kepada kekasihnya.

Sekitar berjam-jam di kereta, mata mulai mengantuk. Tak dapat ditepis. Akhirnya, Diva terlelap dalam tidur. Mimpi indah bertandang, bertemu seorang kesatria yang duduk seorang diri di tepi danau. Ada seorang kakek tua lewat dan menyapa, “Apa  yang kau lakukan, hai anak muda?”

Kesatria itu menjawab, “Menunggu cinta.”

“Cinta bukan hujan yang turun tiba-tiba. Cinta harus diperjuangkan.” Kakek itu berucap dengan suara terserak-serak.

Kesatria itu membalikkan badan, menatap muka sang kakek yang keriput, tapi raut wajahnya penuh kedamaian.

“Apa yang harus aku lakukan, Kek?”

“Perjuangkan, Nak.”

Tiba-tiba Diva terbangun. “Pop Mie, Pop Mie, sepuluh ribu, Pak-Buk.” Suara seroang mbak menawarkan mie instan.

“Mahal banget,” desis Diva.

Bila dibandingkan harga Pop Mie di kafe pesantren tentu jauh lebih mahal dua kali lipat. Tidak perlu membeli makanan di kereta, karena sudah tersedia snack dan buah anggur merah yang dibeli sebelum naik kereta.

Diva ingin tidur lagi. Ingin meneruskan mimpinya tentang kesatria dan kakek tua yang memperbincangkan cinta. Namun, ia tak jua kunjung tidur, apalagi meneruskan mimpi. Begitulah mimpi kadang datang tanpa diundang.

Masih lima jam lagi kereta sampai di stasiun Pasar Senen. Penat juga rasanya duduk kelamaan di atas kereta. Pilihan terbaik ya menikmati. Apapun, kalo dinikmati, suka maupun duka, akan terkesan indah. Begitulah cinta dan benci. Kadang perjalanan cinta kurang menyenangkan ditambah perasaan benci yang datang silih berganti, tapi jika dinikmati akan terkesan menyenangkan juga.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru