33.2 C
Jakarta

Semburat Senja (Bagian XXXVII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSemburat Senja (Bagian XXXVII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Semburat senja berbinar indah di pelataran ibu kota. Memandangi senja seakan mengenangmu, Fai. Mengingat masa indah yang sudah sirna bak semburat senja yang tertelan gelap malam. Hanya tersisa bias yang meninggalkan kenangan. Kenangan yang sulit terlupakan, walau jarak yang membentang jauh.

Di sebuah kampus Diva tiba-tiba menghindar dari keramaian mahasiswa. Di sebuah musala kecil ia duduk seorang diri hanya ditemani buku Kaidah Tafsir yang ditulis pakar tafsir M. Quraish Shihab. Ia coba bertanya pada dirinya: Kenapa aku tiba-tiba mengingatmu, Fai? Sudah lama aku menjauh dan tak saling berkabar. Terlalu lama aku terjebak dalam cinta yang menyakitkan. Aku mulai sadar kalau kau bukan takdir yang Tuhan titipkan buat aku.

Di sini saja, Kak. Terdengar secercah suara tak jauh dari tempat Diva duduk. Ternyata dua mahasiswi yang masuk ke dalam musalla.

“Sorry, Kak, lihat buku Kaidah Tafsir?” Seorang mahasiswi terlihat kebingungan mencari buku yang ada di samping Diva tadi.

“Ini, kan?” Jawab Diva sembari menunjukkan buku yang bercover putih. Buku karya Quraish Shihab itu tidak asing lagi di benak Diva. Buku itu banyak membantu Diva memahami Al-Qur’an, karena di dalamnya terhidang beragam kaidah penafsiran yang dilengkapi dengan penjelasan kritis tentang hermeneutika.

“Bener, Kak.”

Buku yang ditunjukkan Diva dirogohnya dengan muka berseri-seri sembari mengucapkan terima kasih. Diva membatin: Sesuatu akan terasa berharga begitu ia tiada. Seperti buku yang saat itu kugenggam, saat itu pula ia pergi.

Diva kembali dalam lamunannya. Jarak ini rasanya menjadi jawaban bila hati tidak akan kembali berharap. Cinta itu omong kosong. Aku mulai tidak percaya cinta. Bukankah cinta yang sejati bersemi setelah pernikahan? Karena, aku yakin cinta yang semacam ini yang akan membawaku mengarungi samudera kebahagiaan. Cinta sebelum nikah hanyalah ilusi.

Div. Terdengar suara yang memanggilnya. Sepertinya suara itu tidak asing.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Stop Sikap Ekstremisme di Ruang Digital!

Div. Suara itu makin mendekat.

Diva terdiam. Menoleh sana-sani tanpa mengubah posisi duduknya.

Div. Suara itu seakan sangat mencarinya.

“Siapa ya?” Diva jawab dengan suara keras sampai terdengar ke balik tembok yang memagari musalla kampus.

“Kak Diva, aku mencarimu.” Seorang yang bermuka asing bersikap akrab.

“Maaf, dengan siapa ya?” Diva terlihat pening.

“Aku pembaca setia tulisanmu, Kak. Kak Diva nggak bakal kenal aku, tapi aku kenal Kak Diva. Sering aku lihat Kak Diva kuliah di kampus ini.”

Lipatan kertas yang terselip di ranselnya dirogohnya dan disodorkan ke Diva.

“Kak, makasih.” Seorang yang Diva belum sempat tanya namanya sudah beranjak dan tak terlihat lagi batang hidungnya. Ia menghilang di balik pagar yang membatasi area kampus dan musala.

Sebuah surat yang diterima Diva diselipkan ke dalam tas. Belum sempat dibacanya. Seakan belum saatnya membaca isi surat itu.

Diva tetap duduk di musala. Hari itu menjadi cerita yang mengajak Diva flashback, mengingat momen indah yang telah hilang bersamaan dengan hilangnya senja dan telah jauh beriring dengan jauhnya jarak.

Diva kadang tidak mengerti kenapa sakit itu semakin menggores hati saat ingatan tentang senja tiba-tiba terngiang. Diva merasa hidup ini tidak adil bila sakit menggores luka sulit terobati dan mencipta masa lalu terasa pahit untuk ia telan.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru